JAKARTA | duta.co – Setelah Capres Jokowi menyebut (dalam Debat II) tidak ada konflik pertanahan dalam kepemimpinannya, KontraS melalui kicauan di akun Twitter @KontraS langsung menuliskan bantahannya.

“(Tidak ada konflik sosial yhaa). Pantauan KontraS: 702 konflik agraria, 1.6665.457 hektare lahan dikorbankan, 455 petani dikriminalisasi, 229 petani mengalami kekerasan, dan 18 orang tewas,” tulis KontraS, Minggu (17/2/2019) malam.

KontraS menguatkan kicauan Greenpeace Indonesia yang juga membantah pernyataan Jokowi. Greenpeace Indonesia menyebut pernyataan Jokowi tidak sesuai fakta. Begitu juga menurut Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi sebanyak 41 orang tewas karena masalah tersebut.

Karuan, Tim Kampanye Nasional (TKN) sibuk membantah. Wakil Ketua TKN Moeldoko membantah tudingan kubu Prabowo-Sandi yang menyebut Jokowi menyebar fitnah atau berita bohong. Menurut Moeldoko, pernyataan tersebut dusta.

“Saya tidak setuju dengan pernyataan yang mengatakan capres saya berbohong. Jangan bicara seperti itu, seolah-olah Pak Jokowi menyebarkan kebohongan. Ini sebuah dusta, saya harus berani mengatakan ini,” tegas Moeldoko di Hotel Sultan, Jakarta Selatan, Minggu 17 Februari 2019.

Muhammad Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang (TGB) tak kalah semangat, ia berpendapat yang sama dengan Moeldoko. Menurutnya, apa yang disampaikan Jokowi sudah jelas.

“Kalau kalian cermati, apa yang disampaikan Pak Jokowi soal konflik agraria itu respon terhadap ungkapan ganti rugi (yang ditanyakan Prabowo)” ucap TGB.

Ia menyampaikan, masalah agraria yang dijalankan pemerintah tidak ada namanya ganti rugi. Sebaliknya, pemerintah melakukan ganti untung. Nah! Benarkah ganti untung? Benarkah tak ada yang terampas hak-haknya?

Ini salah satu contoh saja. Protes warga Desa Watudakon, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang. Mereka menolak eksekusi rumah dan tanah yang akan dijadikan tol ruas Kertosono-Mojokerto, Rabu, 31 Agustus 2016. Bahkan warga menyebarkan kotoran manusia di jalan desa setempat. Selain itu, warga juga mengancam akan meledakkan tabung gas elpiji.

“Tidak ada sosialisasi dan terjadi kesalahan administrasi,” kata salah satu warga, Dentok. Ia pun menuding tidak ada surat peringatan atau pemberitahuan dari pengadilan sebelum dilakukan eksekusi. “Tidak ada surat perintah pengosongan rumah,” demikian diwartakan tempo.co.

Warga menolak besaran uang ganti rugi bidang tanah yang dipatok Rp 170-300 ribu per meter persegi. Warga meminta besaran Rp700-900 ribu per meter persegi.

Ratusan aparat Kepolisian Resor Jombang disiagakan dengan bantuan aparat Komando Distrik Militer 0814 Jombang. Warga sempat menghadang akses jalan di lokasi eksekusi. Aksi saling dorong tak terhindarkan hingga aparat mengamankan sekitar sepuluh orang.

Karena tak sebanding dengan jumlah petugas kepolisian, warga pun menyerah dan diseret. Setelah berhasil diamankan, proses eksekusi dimulai. Panitera Pengadilan Negeri Jombang membacakan putusan eksekusi Nomor 16/Pdt.Eks.LL/2016/PN.Jbg yang diajukan pelaksana pembangunan tol, PT Marga Harjaya Infrastruktur, sebagai pemohon atau penggugat.

“Pihak pelaksana proyek tol sudah melalui proses konsinyasi dan uang ganti rugi sudah dibayar dan dititipkan ke pengadilan,” kata Panitera Pengadilan Negeri Jombang Suja’i usai membacakan putusan.

Suja’i mengatakan proses eksekusi sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. “Kami juga sudah menyerahkan surat pemberitahuan sebelum dilakukan eksekusi,” katanya.

Salah satu warga, Poniah, mengaku pasrah dan meminta pembongkaran rumahnya dilakukan secara tertib. “Saya minta agar material bangunan yang masih bisa dipakai dikumpulkan, jangan langsung dibongkar,” katanya. Ia juga meminta warga yang diamankan polisi agar dibebaskan. “Saya minta yang tadi ditangkap dibebaskan,” ucapnya sambil brebes mili saat itu.

Hadang petugas dengan kotoran orang. FTAntara/Tempo
Dua Orang Mati karena Shock

Kepala Kepolisian Resor Jombang Ajun Komisaris Besar Agung Marlianto berjanji akan membebaskan warga yang diamankan. “Setelah proses eksekusi selesai, kami akan kembalikan mereka ke keluarga masing-masing,” katanya.

Masih soal ganti rugi tol. Ratusan warga di Jombang, Jawa Timur, menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Pengadilan Negeri setempat, Selasa (30/08/16). Warga dua Desa, yakni Desa Kendalsari dan Watudakon Kecamatan Kesamben itu menuntut agar pelaksanaan eksekusi lahan tol Kertosono – Mojokerto ditunda lantaran belum ada kesepakatan ganti rugi.

Menurut salah satu pendemo, Sofi’i, pemberitahuan proses eksekusi  tidak diketahui warga.  Dia berharap, eksekusi tidak dilakukan sebelum ada kesepakatan harga ganti rugi.  Bahkan, dua orang dilaporkan meninggal dunia akibat shock berat setelah mendengar rumahnya bakal dieksekusi.

“Karena surat yang dikeluarkan itu dadakan jadi tidak ada persiapan warga untuk pindah dari tempatnya karena kondisi masyarakat yang di bawah itu ada barang, ada anak sekolah, ada yang sakit jadi nggak mungkin kalau langsung ada eksekusi,” kata Sofi’i.

Menurut para pendemo, ganti rugi yang ditawarkan oleh pemerintah masih dirasa tidak layak. Pasalnya, sangat terpaut jauh dari harga   di pasaran. Oleh Pemerintah, tanah warga dihargai Rp. 200 ribu per meter, namun warga meminta Rp. 1,1 juta per meternya. Menurut Sofi’i, harga itu sesuai dengan harga di pasaran saat ini.

“Kalau warga dikasih harga yang segitu ya sangat tidak layak, karena daerah sekitar situ kalau pindah yang lebih jauh mungkin biayanya lebih banyak lagi,” ungkap Sofi’i saat itu. Nah lho? (tmp,kbr.id)