Oleh: Suparto Wijoyo *

HARI-HARI ini publik menyaksikan beragam aksi. Drama “tiang listrik” dengan aktor utama Ketua DPR RI Setya Novanto dengan sangat telenovelis melalui “surat saktinya” untuk tidak dilengser terlebih dahulu dari parlemen. Ribut dunia Medsos kian kencang dan bersambung dengan turunnya rekomendasi Partai Demokrat atas pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak yang “diwarnai persetujuan” Partai Golkar dalam helatan Pilgub Jatim 2018. Pasangan yang sungguh menggugah buat melawan Saifullah Yusuf dan Abdullah Azwar Anas yang “diboyong” partai jumbo PKB-PDIP. Rombongan partai lainnya tengah menata diri “melintas hati-hati” sebelum Gerindra, PKS, dan PAN mengambil posisi Jatim Emas secara pasti.

Berselancar  dengan itu muncul  penanda alam bahwa Gunung Agung menyemburatkan letusan menyapa khalayaknya dari Pulau Dewata. Asap tebal setinggi 700 meter dari puncak kawah gunung tertinggi di Bali ini menyembur penuh perkasa pada Selasa sore, 21 November 2017. Kini semua pihak diminta trengginas untuk mengantisipasi tentang apa yang akan terjadi.

Hanya satu hal yang patut direkam dengan penuh kebijakan bahwa letusan itu adalah cara gunung untuk memberikan “pemberkatan” atas kehidupan. Semburan abu vulkanik yang muncrat adalah pupuk terbaik bagi bumi dalam meremajakan diri. Perawatan atas kesehatan tanah pertanian di wilayah sekitar Gunung Agung merupakan panen yang didapat. Lihatlah bagaimana Gunung Kelud, Gunung Sinabung, Gunung Merapi dan deretan gunung berapi lainnya merabuki “rahim Ibu Pertiwi” agar selalu menghadirkan kesuburan bagi anak-anaknya. Tata kelola tanggap atas peristiwa alam itulah yang dibutuhkan warga agar selamat dan negara bermakna adanya.

Potret peristiwa “lakon pegunungan” itu gemuruh gelombangnya tidak berbanding dinamik dengan kelindan gawe Pilgub Jatim. Luberan larva panas Gunung Agung sesungguhnya berbanding sejajar dengan mulak-malike dan deg-degane calon pemain Pilgub 2018. Hampir tidak ada bedanya antara suasana ruhaniah letusan Gunung Agung dengan “lelehan debunya” Pilgub. Para pasangan tampak hanya sedikit sekali bedanya dalam derajat maskulin dan feminin senyaris “titian serambut dibelah tujuh”.

Akankah lava yang “menyiram”  sawah ladang di Karangasem setia menemani “dentum vulkanik” Pilgub  Jatim? Calon yang diusung tampak “sempurna” dari pentolan NU: simaklah siapa sejatinya Gus Ipul-Anas dan Khofifah-Emil Dardak itu. Sampai di sini pertandingannya adalah “persandingan” warga NU. Para calon yang muncul dengan rekom parpol terbidik  sejatinya “darah biru” NU meski tidak dapat dikualifikasi sebagai “tarung” Ansor melawan Muslimat. Anak-anak NU ini niscaya saling merapatklan barisan walau agak ragu-ragu meski tanpa wagu. Siapakah yang menjadi “asap tebal” tentu bukan tugas kita untuk menggantangnya.

Parpol secara yuridis memang diberi hak hukum dan politik untuk mengusung para kandidat calon gubernur. Nama-nama yang beredar dengan harga pasaran sekarang ini belum menjadi jaminan akan menjelma sebagai “kaldu alam” ala Gunung Agung. Sebab, waktu terus bergulir dan perkembangan politik acap tajam dan curam.  Masyarakat dapat menonton  laku punggawa “Kahyangan Jalan Pahlawan” yang tampak sama-sama sedang adu siasat. Hal ini kelihatannya diikuti oleh para “Kepala Dapur Kahyangan” dan akhirnya merembet sampai ke arena tukang parkir dan sapu jagad kepahlawanan. Para kiai dan ibu nyai dikendurikan agar menyuarakan calon pilihannya. Tapi yakinlah suasananya akan “biasa-biasa” saja, karena yang maju adalah “anggota keluarga”.

Maka  agar rakyat tidak terhenyak  tentu perlu terus menerus  diperkenalkan bahwa pada tahun  2018 akan ada “permainan yang layak tonton antaranak NU”. Pilkada yang membahagiakan asal “luapan emosi dapat dijaga”. Tahapan sekarang adalah membawa serta warga mengambil ancang-ancang memilih calon gubernure. Siapa yang layak menjadi ”khalifah” Jawa Timur periode  pasca Pakde Karwo?

Rakyat  tidak perlu gugup  menghadapi Pilgub. Biarlah yang gugup para pasangan calon yang maju palagan, walau relasinya ada “hubungan darah”  NU. Kegugupan para calon  itu bukan saja dirasakan oleh jago yang belum berpartai maupun yang sudah berpartai. Bahkan oleh ”Sinuhun Partai”, karena masih adanya tahapan  ”kenduri pencalonan” berupa kampanye dan debat kandidat. Titik-titik Pilgub masih penuh serba-serbi tetapi yakinlah bahwa Gus Ipul dan Ning Khofifah, juga tak hendak menganalisasi soliditas Ansor maupun Muslimat? Semua rakyat melihat.

Pembaca masih punya banyak waktu menikmati geliat Pilgub yang dapat ditonton sinambi leyeh-leyeh. Apalagi yang bertanding itu adalah “anak-anak, om-om, tante, bibi, ponakan, atau saudara” sendiri. Dalam konteks iman terdapat pesan QS Al-Hujurat ayat 10: innamal-mu’minuuna ikhwatun fa ashlihuu baina akhwaikum wattaqulloha la’allakum tur-hamuun (sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat).

Pada sisi kemanusaian di mana para calon itu adalah manusia yang menurut suara Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948) adalah “all men are brothers – semua manusia bersaudara”. Filosofi harmoni yang selayaknya dikonstruksi dalam Pilgub Jatim adalah “hidup bersanding, dan bukan semata-mata bersaing”. Simaklah  kata-kata puitis Albert Camus, Pemenang Penghargaan Nobel Sastra tahun 1957 ini: Don’t walk in front of me/I may not follow/Don’t walk behind me/I may not lead/Walk beside me/Our just be my friend. Idealitanya dalam Pilgub  di antara pasangan adalah bahwa berkompetisi itu kebutuhan untuk meningkatkan gairah  berkhidmat dengan pengertian yang berimbang:  dalam persandingan ada persaingan, dan pada persaingan ada persandingan, karena “kita bersaudara”.

* Penulis adalah esais, akademisi Fakultas Hukum, dan koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry