JAKARTA | duta.co – Presiden  Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mengizinkan pembebasan terhadap terpidana kasus terorisme Ustad Abu Bakar Ba’asyir.  Sejumlah kalangan menilainya positif. Namun karena baru dilakukan menjelang Pilpres 17 April 2019 hal itu dicurigai ada motif politik.
Apalagi permintaan pembebasan sudah lama diajukan dengan pertimbangan kesehatan yang bersangkutan yang menurun. Namun, mengapa tidak dari dulu  dikabulkan. Jokowi dinilai ingin mengambil simpati dari pendukung Sang Ustad.
“Semestinya, pembebasan itu dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Apalagi, Ustaz Abu Bakar Ba’asyir selama ini diketahui sering sakit-sakitan. Permohonan pembebasannya kan sudah lama. Namun baru sekarang dipenuhi presiden. Tentu itu niat dan tindakan yang baik yang perlu diapresiasi,” kata Wasekjen PAN Saleh Partaonan Daulay kepada wartawan, Jumat (18/1/2019).
Saleh pun mempertanyakan momentum pembebasan Ba’asyir menjelang pilpres dan bukan sejak awal Jokowi menjabat. Menurut dia, permohonan soal pembebasan tersebut sudah ada di masa awal Jokowi menjadi presiden.

“Apakah hal ini benar-benar murni atas pertimbangan kemanusiaan seperti yang disampaikan Presiden Jokowi atau ada alasan dan niat lain. Di tengah kontestasi pilpres yang cukup ketat seperti sekarang ini, hal itu bisa saja dipertanyakan,” ujar juru debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu.

Dia berharap semoga saja pembebasan ini murni karena alasan kemanusiaan. Tidak dimaksudkan untuk meraih simpati dan dukungan dalam pilpres nanti.

Kabar rencana pembebasan Ba’asyir sebelumnya disampaikan Yusril aIhza Mahendra setelah berkunjung ke LP Gunung Sindur. Yusril mengatakan, setelah bebas, Ba’asyir disebut akan tinggal di rumah anaknya yang berada di Solo.

“Pembebasan Ba’asyir akan dilakukan pekan depan untuk membereskan administrasi pidananya di LP. Ba’asyir sendiri minta waktu setidaknya tiga hari untuk membereskan barang-barangnya yang ada di sel penjara,” ujar Yusril dalam keterangannya.

“Setelah bebas, Ba’asyir akan pulang ke Solo dan akan tinggal di rumah anaknya, Abdul Rahim,” sambungnya.

Soal keputusan pembebasan Ba’asyir itu mendapat apresiasi dari PPP. Menurut Sekjen PPP Arsul Sani, keputusan tersebut sejalan dengan revisi KUHP dan tidak terkait dengan pilpres.

“Dalam R-KUHP ajuan pemerintah, narapidana yang telah berumur 70 tahun dapat dilepaskan dari kewajiban menjalani hukuman pidana penjara yang masih tersisa. Pasal di R-KUHP ini secara prinsip telah disetujui fraksi-fraksi di DPR,” terang Arsul.

“Artinya, ketika pemerintahan Jokowi ajukan R-KHUP memang soal perikemanusiaan itu sudah didesain sebagai politik hukum. Jadi jangan nanti direspons sebagai langkah politik dalam rangka pilpres,” tambah anggota Komisi III DPR itu.

Tim Pengacara Muslim mengapresiasi langkah pemerintah ini. Namun ini bukan grasi sebab Ba’asyir tidak pernah mengajukan grasi. Sang Ustad tidak mau bebas dengan syarat-syarat tertentu. Sehingga mestinya Ba’asyir mendapat amnesti. Pembebasan ini juga bukan pembebasan bersyarat yang biasa diberikan kepada terpidana setelah menjalani 2/3 masa hukuman.

Hanya saja, hingga saat ini tim pengacara Ba’asyir belum memperoleh informasi mengenai bentuk pembebasan itu. “Tapi yang jelas kami berterima kasih kepada pemerintah yang memberikan pembebasan atas dasar kemanusiaan,” kata Ketua Pembina Tim Pengacara Muslim(TPM), Mahendradatta pada Jumat, 18 Januari 2019. (det/tmp)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry