JOMBANG | duta.co – Malam Jumat di Desa Banyuarang, Kecamatan Ngoro, selalu menghadirkan suasana berbeda. Jalan menuju komplek pemakaman memang belum semegah makam para wali lainnya. Namun, tak pernah sepi dari langkah peziarah. Di situlah Pangeran Jenu atau Syaikh Ali Mukhtar bersemayam.

Namanya mungkin tidak sepopuler Wali Songo, tetapi perannya dalam menyebarkan Islam di tanah Jombang tak bisa dianggap remeh. Sosok keturunan bangsawan ini bahkan memiliki garis darah dengan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, pendiri Kerajaan Pajang.

Namun, jalan hidupnya berubah. Sejarah tutur menyebut, Pangeran Jenu memilih jalur dakwah setelah terjadi perselisihan dengan sang penguasa. Ia lalu menetap di selatan Jombang, membangun pesantren yang menjadi pintu masuk ajaran Islam di tengah masyarakat yang kala itu masih kental dengan pengaruh Hindu Buddha.

“Pesantren inilah yang jadi pintu masuk Islam di wilayah selatan Jombang,” tutur Sukirno (70), juru kunci makam, Sabtu (20/9).

Sukirno (70), juru kunci makam.

Perjalanan dakwahnya tidak mudah. Kehadirannya sempat ditentang Kebokicak, tokoh legendaris yang disegani warga. Perselisihan keduanya bahkan memuncak menjadi pertempuran besar. Tapi sejarah mencatat, konflik itu mereda dengan cara unik: besanan. Putra Pangeran Jenu, Nur Khotib, menikah dengan putri Kebokicak, Wandan Wanuh.

Dari ikatan keluarga itu, ajaran Islam makin mudah diterima. Perlahan tapi pasti, Pangeran Jenu dikenang bukan sekadar bangsawan, melainkan ulama yang menanamkan nilai spiritual di Jawa Timur kala itu.

Ratusan tahun berselang, makamnya tetap hidup dalam ingatan masyarakat. Muhammad Isya, pengurus pemakaman sekaligus warga setempat, mengisahkan perubahan tradisi ziarah dari masa ke masa.

“Kalau dulu ada yang datang dengan niat mencari nomor togel, sekarang lebih banyak yang tulus berdoa, bertawasul, dan memohon keberkahan kepada Allah melalui wali-Nya,” ujarnya.

Keramaian memuncak setiap malam Kamis atau Jumat. Doa, yasin, dan tahlil bergema dari mulut para jamaah. Tradisi haul Pangeran Jenu dan gurunya, Mbah Adipuro, yang digelar tiap 15 Syaban, menjadi momen paling sakral. Ribuan umat berkumpul, bershalawat, melantunkan ayat suci Al-Qur’an, dalam suasana penuh haru.

Bagi warga Banyuarang, haul bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah ungkapan syukur sekaligus penghormatan kepada pendahulu.

“Haul itu bentuk doa kami untuk para leluhur, juga penghormatan dari generasi yang kini menikmati kehidupan berkat perjuangan mereka menyebarkan Islam di Jombang,” pungkasnya. (din)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry