
MINGGU (24/11/2024) pagi, cuaca di Sidoarjo Kota agak mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Sejak semalam, Kota Udang itu diguyur hujan sangat lebat. Suasana mendung membuat semua orang enggan beranjak dari tempat tidurnya, nyaman untuk bermalas-malasan dan rebahan.
Namun Chika Alifia Wijaya (18), tetap harus bangun pagi untuk datang ke Kampung Edukasi Sampah di Perumahan Sekargading, RT 23, RW 07, Desa Sekardangan, Kecamatan/Kabupaten Sidoarjo. Biasanya jika libur sekolah, selepas sholat subuh, Chika akan melanjutkan tidurnya. Namun dia harus bangun karena ada banyak janji yang harus dia tepati di pagi itu.
Matanya sayu terlihat kalau kurang tidur. Dia mengaku baru pulang ke rumah pukul 23.30 WIB hampir Minggu dini hari. “Les sampai malam, karena sudah mendekati ujian akhir,” katanya.

Chika memang tengah sibuk mempersiapkan diri untuk ujian akhir karena dia sekarang duduk di kelas XII SMA Negeri 1 Sidoarjo. Dia harus belajar ekstra keras karena ingin lolos jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). “Pinginnya ke Teknik Lingkungan ITS,” tuturnya singkat.
Teknik Lingkungan sangat cocok baginya. Yang memiliki kecintaan terhadap lingkungan, baik itu kebersihannya, pengelolaan sampahnya hingga penghijauan dengan penanaman pohon. “Pingin punya ilmunya sehingga antara kesukaan dan ilmu bisa menyatu,” katanya.
Di kelas XII seharusnya Chika memang fokus pada sekolahnya. Namun dia mengakui banyak kegiatan lain selain mempersiapkan ujian sekolah. Terutama untuk proyeknya Waste Warriors. Waste Warriors : Youth-led Waste Education for Orphan Empowerment adalah inovasi Chika yang berkolaborasi dengan para kader muda lingkungan di Kampung Edukasi Sampah Sidoarjo.
Program ini Chika bawa ke Asian Girl Campaign 2024 di Taiwan pada Juli lalu. Di mana ada banyak generasi muda perempuan dari seluruh dunia membawa proyek masing-masing untuk mempercepat 17 program SDG’s (Sustainable Development Goals atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) yang dicanangkan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).
“Ternyata saya lolos dan bisa ke Taiwan mulai 13 Juli hingga 21 Juli. Saya mempresentasikan Waste Warriors itu di hadapan juri-juri internasional dan Alhamdulillah lolos,” ujarnya.
Karena dinyatakan lolos, Chika pun harus merealisasikan proyek itu. Proyek ini berfokus pada edukasi anak-anak yatim dan anak usia dini mulai TK (Taman Kanak-kanak) hingga Sekolah Dasar KSD) tentang pengelolaan sampah, pemilahan, pembuatan kompos, dan pelestarian lingkungan.
Dia mendatangani sekolah-sekolah TK dan SD di Sidoarjo untuk sharing ilmu tentang lingkungan. Terkadang, para siswa itu yang bertandang ke Kampung Edukasi Sampah untuk belajar bersama.
Itulah yang membuat fokus Chika terpecah, antara ujian akhir dan proyek lingkungan yang dia harus kerjakan. Namun beruntung, ada banyak orang yang membantu Chika untuk bisa menjalani keduanya dengan lancar. “Alhamdulillah so far so good,” katanya tertawa.
Proyek Waste Warriors
Waste Warriors ini target utamanya adalah anak-anak usia TK dan SD. Ada pula yang sudah duduk di bangku SMP. Menurut Chika, mengajari anak kecil itu lebih gampang daripada yang sudah besar.

“Saya juga berpikir nantinya adik-adik itu akan besar, kalau dari kecil ada kebiasaan buang sampah pada tempatnya, kebiasaan memilah sampah dan mencintai lingkungan, maka sampai besar akan terus dilakukan. Kecintaan dan kepedulian akan tetap ada,” jelasnya.
Waste Warriors memang bertujuan meningkatkan pemahaman anak-anak sebagai generasi muda tentang pengelolaan sampah melalui dua pendekatan utama yakni pre-test dan post-test. Pre-test dan post-test ini untuk mengukur pemahaman, serta pemantauan perilaku selama 21 hari atau tiga minggu guna membentuk kebiasaan ramah lingkungan.
Sebelum memulai program, diakui Chika hanya sekitar 65 persen generasi muda yang memahami konsep dasar pengelolaan sampah. Namun, setelah mengikuti pelatihan Waste Warriors, angka ini melonjak drastis menjadi 93 persen. Ini mencerminkan peningkatan signifikan sebesar 43,08 persen.
Waste Warriors ini diharapkan menjadi inspirasi bagi semua, terutama dalam upaya membentuk kebiasaan positif sejak usia dini serta memberdayakan komunitas untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan menjaga bumi. “Dengan inisiatif seperti Waste Warriors, harapannya semakin banyak individu dan komunitas yang melibatkan generasi muda yang turut serta dalam menjaga lingkungan demi generasi mendatang,” ujar Chika.
Dari program ini, ratusan anak dan puluhan sekolah sudah diedukasi. Ada banyak manfaat yang didapat sekolah maupun siswa-siswi yang ikut belajar. Salah satu yang merasakan manfaat itu adalah Kepala SDN Gejugjati II Lekok Pasuruan, Minarti.
Minarti mengakui sekolah yang dipimpinnya termasuk sekolah Adiwiyata sehingga dia merasa perlu untuk terus belajar bagaimana pengelolaan lingkungan terutama sampah yang baik. Belajar di Kampung Edukasi Sampah memberikan banyak pengalaman dan manfaat tidak hanya bagi dirinya tapi bagi seluruh siswa-siswinya.
“Saya mengajak anak-anak agar tahu bagaimana mengelola sampah. Dan mereka nanti diharapkan bisa menerapkan ilmu yang didapat itu di lingkungan sekolah dan di rumah masing-masing,” ungkapnya.
Semua kegiatan itu harus dilaporkan oleh Chika ke panitia Asian Girl Campaign 2024. Dan saat laporan pertama pada Oktober 2024, Chika dinobatkan sebagai juara pertama.
“Alhamdulillah bisa juara pertama. Dan saya harus mengerjakan proyek ini hingga Mei 2025. Tapi berakhirnya proyek bukan berarti berakhirnya tugas saya mengedukasi dan merawat lingkungan, saya akan lanjutkan,” tegasnya.
Kecintaan Sejak Kecil
Mencintai lingkungan dan kepedulian Chika terhadap sampah itu dimulai saat dia duduk di sekolah dasar. Di sekolah dia diajari bagaimana menjaga lingkungan bersih dan bebas sampah.
Semakin besar, tepatnya ketika duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), gadis kelahiran Surabaya 31 Oktober 2006 itu dipertemukan dengan sekolah berpredikat Adiwiyata.

Semakin cintalah dia akan lingkungan. Karena dia tahu, banyaknya sampah yang diproduksi seluruh masyarakat Sidoarjo setiap hari, membuat banyak permasalahan. “Ngeri kalau tidak diolah dan dikelola dengan baik. Seberapapun luasnya tempat pembuangan akhir tetap tidak akan cukup dan akan terus menjadi masalah,” ungkapnya.
Saat SMP itu, Chika dikenalkan dengan zero waste. Tidak boleh ‘nyampah’ sembarangan dan mengelola sampah plastik. Semakin tertarik, Chika mengikuti ekstra kurikuler kreativitas recycle atau daur ulang. Dari sana dia mengetahui bagaimana membuat ecobreak dan pengolahan sampah lainnya.
Di SMA, kesukaan itu tidak bisa ditinggalkan. Walau tidak ada kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan di SMA, tidak membuatnya berhenti berbuat sesuatu.
Chika pun mencoba mencari kegiatan di luar sekolah. Beruntung rumah Chika dekat dengan Kampung Edukasi Sampah, hanya beda RT. Di tengah kebingungannya mencari teman dan komunitas yang satu circle, Chika dipertemukan dengan Kampung Edukasi Sampah.
Diakui Chika, sebelumnya tidak mengetahui kampung itu. Padahal setiap hari dia lewat di depan kampung itu. Dia hanya penasaran, hampir setiap hari ada banyak kendaraan mulai sepeda motor hingga bus, parkir di kampung itu.
“Ternyata kendaraan itu orang-orang yang berkunjung ke Kampung Edukasi Sampah. Karena penasaran, saya mengunjungi dan mencari tahu bagaimana agar bisa bergabung,” tuturnya.
Mulai bergabung, dibimbing dengan baik untuk menjadi kader lingkungan, membuat Chika semakin suka untuk terlibat di kampung itu. Dia melihat kesuksesan kampung itu karena semua saling mendukung mulai yang tua, muda, laki perempuan semua bersatu mewujudkan pengelolaan lingkungan dan sampah secara terintegrasi.
“Sampai saya bisa ikut Asian Girl Campaign itu karena saya ikut kegiatan di Kampung Edukasi Sampah. Saya pun akhirnya gabung dengan Kartar (karang taruna) di sini (Kampung Edukasi Sampah),” tambahnya.
Memberi Contoh Teman Sebaya
Chika mengakui tidak mudah mengajak teman sebayanya agar juga memiliki rasa kepedulian terhadap lingkungan. Gaya hidup generasi muda yang suka mengonsumsi makanan dan minuman kekinian lewat aplikasi online tentu semakin menambah jumlah sampah di lingkungan terutama sampah-sampah plastik. “Bagi mereka, wadah sekali pakai lebih praktis,” kata Chika tersenyum.
Chika sadar teman sebayanya tidak butuh nasehat. Mereka tidak akan suka untuk mendengarkan ‘ceramah’ tentang sampah. Chika pun melakukan hal sederhana yang dimulainya dari diri sendiri. Seperti membawa botol minum sendiri, bawa bekal dari rumah yang tempat makannya bisa dicuci dan banyak hal kecil lainnya.
Chika seringkali dicibir temannya karena setiap hari bawaannya banyak. Namun Chika tidak peduli. “Kok akeh men gawananmu (kok banyak sekali bawaanmu,red). Karena setiap hari saya bawa dua botol minum dan satu tepak nasi,” jelas Chika.
Tak henti Chika untuk terus memberikan contoh baik. Chika menilai memang perlu ada sebuah kebijakan dari pemegang keputusan yakni pemerintah untuk penanganan sampah ini. Saat dia di Taiwan, dia melihat bahwa masyarakat sangat patuh akan aturan yang menyangkut lingkungan.
“Contoh sederhana ketika habis beli susu dalam kemasan, mereka akan membuang sisa-sisa isinya jika masih tersisa lalu membuka kemasannya dan membuatnya jadi tipis atau gepeng. Dengan begitu petugas akan lebih mudah untuk mengolahnya,” jelasnya.
“Saya punya mimpi, teman-teman saya dan anak muda seumuran saya bisa memiliki kesadaran seperti itu,” tuturnya sambil tersenyum.
Wujudkan Program SGD’s
Dari 17 program SDG’s, proyek Waste Warriors yang digagas Chika ini berfokus pada tiga program yaitu progran ke-4 kualitas pendidikan, ke-10 mengurangi ketimpangan dan ke-11 kota dan komunitas yang berkelanjutan.
Anak pertama dari dua bersaudara pasangan Dahlia Sari dan Marsidianto itu mengaku program SDG’s itu perlu mendapat dukungan banyak pihak di seluruh dunia.

Karena keberlanjutan menurut Chika menjadi poin penting. Bukan hanya aksi sekali, setelah itu pergi. Karena dengan keberlanjutan, lingkungan bisa terjaga dan terus lestari. Bisa memberikan dampak baik bagi sekelilingnya, pada manusia, pada makhluk hidup yang ada di sekitarnya.
Keberlanjutan itulah yang membuat Chika ke depan ingin mewujudkan impiannya membuat sebuah inovasi terkait penanganan dan pengelolaan sampah medis. Karena selama ini sampah medis termasuk dalam golongan B3 atau bahan berbahaya beracun. “Bagaimana nanti sampah-sampah itu dikelola dengan baik dan menghasilkan sesuatu yang menguntungkan,” jelasnya.
Ajak Semakin Banyak Generasi Muda Peduli Lingkungan
Edi Priyanto, Pendiri Kampung Edukasi Sampah yang juga pembimbing Chika, membenarkan jika isu terkait SDG’s ini tidak hanya menarik untuk dunia global tapi juga di dalam negeri. “SDG’s itu tidak banyak yang menyoroti, Chika bisa jadi juara karena itu. Kami senang mulai banyak anak muda seperti Chika yang peduli akan lingkungan,” katanya.
Edi mengaku Kampung Edukasi Sampah sudah lama mendorong generasi muda seperti Chika untuk peduli terhadap lingkungan. Isu global warming, kesehatan lingkungan yang selalu dia munculkan. Karena kata Edi, anak muda itu tidak tertarik dengan segala sesuatu yang bernama sampah. “Kalau ada kata-kata sampah, mereka pasti tidak akan mau terlibat. Kita munculkan isu global warming, kesehatan lingkungan dan sebagainya. Dari isu-isu itu diselipkan program pengelolaan sampah. Sehingga anak-anak lebih tertarik,” jelas Edi.

Awalnya memang tidak mudah untuk membawa isu-isu tersebut. Karenanya semuanya harus dibalut dengan kreativitas untuk mengemas program dengan baik agar menarik minat para generasi muda.
Dengan program tematik kini banyak generasi muda tertarik tergabung ke Kader Muda Lingkungan di Kampung Edukasi Sampah ini. Tidak hanya dari lingkungan sekitar tapi dari daerah lain.
Hal itu terbukti dari jumlah pengikut Instagram Kampung Edukasi Sampah, hampir 80 persen adalah generasi muda. Begitupun dengan jumlah kunjungan. Pada 2023, ada 3.200 pengunjung yang datang ke Kampung Edukasi Sampah di mana 80 persennya merupakan anak muda. Begitupun di 2024 ini yang hingga Oktober sudah mencapai 3 ribu pengunjung, 80 persen lebih adalah anak muda.
“Jadi sudah mulai mengena, dan ke depan bagaimana ini ditingkatkan agar bisa lebih banyak lagi anak muda tertarik tidak hanya dari Sidoarjo tapi dari daerah lain. Dan itu akan ditularkan hingga ke berbagai daerah,” jelas Edi.
Apa yang dilakukan Kampung Edukasi Sampah ini sejalan dengan program Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF). Yakni mengajak anak-anak muda untuk melakukan gerakan peduli lingkungan.

BLDF mengajak generasi muda dengan menginisiasi gerakan digital bernama Siap Darling (Siap Sadar Lingkungan). Gerakan ini dimulai sejak akhir 2018 melalui berbagai platform sosial media dengan akun @siapdarling.
Selain itu, Siap Darling juga mengajak mahasiswa dan mahasiswi untuk melakukan aksi nyata untuk lingkungan seperti penanaman pohon di berbagai situs sejarah, gunung, di pesisir pantai, juga berbagai aksi peduli lingkungan lainnya seperti bersih-bersih sungai atau pantai dan workshop bertema lingkungan.
Program Officer Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF) Dandy Mahendra mengatakan hingga saat ini sudah ada 6.386 mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai universitas di Indonesia pernah melakukan aksi bersama gerakan Siap Darling.
Para mahasiswa yang peduli pada lingkungan ini disebut sebagai Darling Squad. “Hingga saat ini, Darling Squad sudah melakukan aksi di 17 lokasi di Indonesia, dan hingga kini telah menanam 121.588 pohon dan semak,” ungkapnya. *endang lismari