JOMBANG | duta.co – Ketika silaturrahim ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Sabtu (18/11) malam, Samsul Huda aktivis NU yang juga wartawan senior Semarang, Jawa Tengah menyempatkan diri ziarah ke makam Cak Anam (Drs H Choirul Anam) di Dusun Kemirigalih, Sawiji, Jogoroto, Jombang. “Saya banyak belajar dari Cak Anam,” katanya lirih.

Menurutnya, sosok Cak Anam adalah guru bagi anak-anak muda. Ia telah mematri idealisme, bagaimana generasi muda tumbuh dengan hebat. “Saya pertama kali mengenal beliau di arena Muktamar Thoriqoh VII di pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak tahun 1989. Banyak pelajaran penting yang bisa dipetik dari beliau,” tegasnya.

Samsul Huda (kanan) dan Muhtazuddin usai ziarah makam Cak Anam.

Setelah itu, katanya, ia terus membuntuti Cak Anam, baik secara fisik maupun tulisan. Menjadi Ketua GP Ansor Jatim, Cak Anam berhasil membangunkan Banser yang sedang tidur. Begitu juga di skala nasional. “Sebagai jurnalis dan penulis sejarah NU, kontribusi Cak Anam  begitu besar,” jelasnya.

Gus Dur dan Semar

Tahun 1982, Cak Anam menjadi wartawan Majalah TEMPO. Ini membuat temannya kian luas. Selain Goenawan Mohamad sebagai pendiri dan Pemred Majalah TEMPO, Cak Anam semakin dekat dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Begitu Gus Dur wafat, ia menulis kisah panjang – sampai 40 hari Gus Dur – sebagai catatan khusus dirinya (sejak tahun 1978) bersama Gus Dur di Koran HU Duta Masyarakat. Jika Gus Dur wafat dalam usia 69 tahun, Cak Anam pun wafat dalam usia yang sama, 69 tahun.

Ketika ditanya bagaimana ceritanya bisa dekat dengan Gus Dur? Cak Anam menjawab singkat. “Saya dipertemukan Gus Dur lewat surat fatihah. Setiap usai salat, saya selalu baca fatihah untuk Gus Dur,” jawabannya suatu ketika.

Saking dekatnya dengan Gus Dur, di lingkungan keluarga Jombang sampai ada istilah: Di mana ada Gus Dur, di situ ada Cak Anam. Suatu ketika, Gus Dur menghadiri acara di Desa Jogoroto, tetangga Desa Sawiji. Cak Anam mampir ke rumah.

Sambil jalan menuju ruang tamu, Nyai Yah (Ibunda Cak Anam) bertanya: “Kok iso, ben ono Gus Durrohman, ono awakmu. Mbok ojok idek-ideklah (Kok bisa, setiap ada Gus Dur, ada kamu. Jangan terlalu dekatlah),” begitu Nyai Yah menegur.

Ia kemudian menjelaskan hebatnya sosok Gus Dur, baik dari segi pemikiran mau pun nasab keluarga. Cak Anam menjelaskan Gus Dur sebagai cucu pendiri NU almaghfurlah KH Hasyim Asy’ari, putra dari KH Wahid Hasyim. Tak ketinggalan, tentu, kisah-kisah musykil (kewalian) Gus Dur.  Mendengar jawaban itu, Nyai Yah terdiam, bahkan bersyukur.

Meski begitu, ia juga berjanji tidak akan memanfaatkan nama besar Gus Dur. Menurut Cak Anam, Gus Dur tidak pernah mengunjungi rumahnya, baik di Jombang mau pun di bilangan Kutisari Indah Barat IV/85, Surabaya. “Hanya sekali ke rumah, itu pun terpaksa. Tepatnya  setelah beliau dilengserkan dari kursi Presiden RI. Saya tidak tega menyaksikan kesederhaan Gus Dur, mantan orang nomor satu di republik ini,” katanya.

Cak Anam menulis Gus Dur seperti dalam cerita pewayangan, Semar. Sosok panutan dari berbagai golongan wayang dari belahan dunia Amarta maupun Astina. Nasehatnya selalu ditunggu, didengar dan diikuti. Hidupnya sangat sederhana dan tidak silau terhadap kemegahan dunia. Tidak mudah terjebak dalam conflict of interest dalam menangani masalah.

Integritas dan kejujuran, keadilan dan kebenaran selalu dipertaruhkan dengan penuh kearifan dalam menghadapi segala gejolak sosial pewayangan. Sehari-hari Semar bekerja sebagai pamong (penjaga) Pandawa ditemani anak-anaknya yang lugu: Petruk, Gareng dan Bagong.

Ketika terjadi perang Barata Yudha-perang antara Kurawa dan Pandawa, perang antara angkara murka melawan kebenaran yang, jika tidak segera diselesaikan, membawa korban rakyat keseluruhan dan merusak persatuan dan kesatuan bangsa pewayangan, Semar dengan bijak lalu turun tangan.

Semua golongan yang terlibat perang dikumpulkan. Semar duduk di atas, sedang pembesar Kurawa maupun Pandawa duduk di bawah. Bak seorang raja, Semar lalu memberikan nasehatnya yang kemudian menyadarkan kedua belah pihak untuk mengakhiri peperangan dan kembali ke nilai-nilai kebenaran.

“Yang salah harus mengakui kesalahannya, dan yang benar harus lapang dada mau menerima permintaan maafnya. Kata Pak Dalang, Semar memang tipologi orang bijak yang punya indera keenam dan selalu dekat dengan Syahyang Wenang—Gusti Allah. Dia dicintai rakyat karena kejujuran dan kesederhanaannya. Dia diteladani rakyat karena perilaku baiknya,” tulis Cak Anam. (bersambung)

Bagaimana Reaksi Anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry