CREATOR: gd-jpeg v1.0 (using IJG JPEG v62), quality = 75
“Ketika banyak provinsi masih mencari formula terbaik, Jawa Timur lebih dulu mengembangkan sistem terintegrasi dari hulu ke hilir. Strategi ini mencakup modernisasi pabrik gula melalui sinergi dengan BUMN klaster pangan.”

Oleh Dr H ROMADLON, MM*

DALAM dinamika ketahanan pangan nasional, ada satu komoditas yang kerap luput dari sorotan publik namun menyimpan peran vital: gula. Sebagai bahan pokok yang nyaris tak pernah absen di setiap dapur dan lini industri makanan-minuman, keberadaan gula bukan sekadar pemanis, melainkan cerminan kemandirian sebuah bangsa. Di tengah ketergantungan impor yang masih tinggi, Jawa Timur hadir sebagai secercah harapan dengan strategi terukur dan kepemimpinan visioner.

Pekan ini, sebuah langkah penting kembali tercatat dari Gedung Negara Grahadi Surabaya. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menerima audiensi jajaran manajemen PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) yang dipimpin oleh Direktur Utama Mahmudi. Dalam pertemuan tersebut, Khofifah menegaskan kembali komitmen strategis Jawa Timur untuk tidak hanya menjadi tulang punggung produksi gula nasional, tetapi juga pionir dalam inovasi produktivitas tebu.

Pernyataan itu bukan sebatas retorika. Sebab Jawa Timur telah membuktikan dengan data dan kerja nyata: provinsi ini menyumbang hampir 50% dari total produksi gula nasional dan memiliki lebih dari 44% lahan tebu se-Indonesia. Ini bukan hanya angka, ini adalah cermin dari kerja kolektif, strategi yang terintegrasi, dan kebijakan yang berpihak pada petani, industri, serta keberlanjutan lingkungan.

Namun, cerita tentang tebu di Jawa Timur bukan semata urusan statistik. Ia adalah narasi tentang ketekunan petani di lahan-lahan tropis, tentang modernisasi industri dari pabrik-pabrik tua yang kini bergeliat dengan teknologi, tentang keberanian pemerintah daerah mengambil keputusan besar demi kemandirian negeri. Di balik setiap batang tebu yang tumbuh, ada harapan, ada strategi, dan ada visi Indonesia yang ingin bangkit sebagai bangsa produsen, bukan sekadar konsumen.

Dan di sanalah posisi Khofifah: seorang pemimpin yang menjadikan tebu bukan sekadar komoditas, tetapi simbol ketahanan. Langkahnya mendukung PT SGN, membuka akses KUR bagi petani tebu, dan mendorong ekosistem industri gula yang kompetitif—semua itu menunjukkan bahwa kemandirian bukanlah wacana kosong, melainkan jalan panjang yang kini tengah ditapaki dari tanah Jawa Timur.

Strategi Tebu Jawa Timur

Ketika banyak provinsi masih mencari formula terbaik untuk revitalisasi sektor perkebunan, Jawa Timur telah lebih dulu mengembangkan sistem terintegrasi dari hulu ke hilir. Strategi ini mencakup modernisasi pabrik gula melalui sinergi dengan BUMN klaster pangan, perluasan areal tanam, penguatan kemitraan petani, hingga digitalisasi pengelolaan lahan tebu.

Melalui kolaborasi erat antara pemerintah daerah, PT SGN, dan kelompok tani, Pemprov Jatim mendorong pembaruan varietas tebu unggul, penyediaan pupuk berkualitas, serta pelatihan budidaya berbasis teknologi. Lebih dari itu, akses petani terhadap pembiayaan juga diperluas lewat Kredit Usaha Rakyat (KUR) berbunga rendah. Hasilnya, bukan hanya produktivitas meningkat, tetapi juga semangat petani yang kembali menyala.

Di sektor hilir, Jawa Timur mendorong transformasi pabrik gula dari sekadar pengolah menjadi pusat inovasi. Pabrik-pabrik seperti PG Gempolkrep dan PG Semboro kini menjadi pusat percontohan industri gula berkelanjutan yang menerapkan efisiensi energi, zero waste, dan pengembangan produk turunan dari limbah tebu.

Menjawab Tantangan

Gula bukan hanya soal makanan. Ia juga terkait erat dengan ketahanan energi (bioetanol), kesehatan masyarakat (melalui pengendalian konsumsi), hingga stabilitas ekonomi (harga pasar dan neraca perdagangan). Jawa Timur, dengan segala potensinya, menjawab tantangan ini dengan pendekatan multidimensi.

Dalam jangka panjang, strategi Khofifah bukan hanya mengejar swasembada gula konsumsi, tetapi juga membuka peluang diversifikasi industri berbasis tebu. Hal ini selaras dengan peta jalan nasional menuju bioindustri ramah lingkungan. Melalui optimalisasi bagasse (ampas tebu), molases (tetes), dan vinasse, industri gula dapat menjadi pilar ekonomi baru yang inklusif dan berkelanjutan.

Dari Pojok Desa ke Dunia

Apa yang terjadi di ladang-ladang tebu Bondowoso, Lamongan, Nganjuk, Kediri, Blitar hingga Madiun hari ini mungkin tidak dilihat banyak orang. Tapi di situlah revolusi kecil sedang berlangsung. Petani yang dahulu gamang kini percaya diri. Anak muda yang dulu enggan bertani kini mulai kembali. Dan pabrik-pabrik yang dulu nyaris tutup kini berbicara tentang ekspor dan inovasi.

Inilah buah dari kepemimpinan yang empatik sekaligus strategis. Khofifah tidak hanya membangun dari atas, tapi juga mengakar ke bawah. Ia hadir dalam dialog, mendengar langsung keluhan petani, menyentuh nadi ekonomi lokal yang selama ini tersembunyi dari radar nasional. Pendekatan ini menjadikan Jawa Timur bukan sekadar produsen gula, tapi juga model kepemimpinan pembangunan berbasis potensi daerah.

Menjadi Perspektif Nasional

Ketika pemerintah pusat menargetkan swasembada gula pada 2027, banyak mata tertuju ke Jawa Timur. Bukan tanpa alasan, provinsi ini sudah memenuhi hampir 75% dari target capaian nasional yang akan datang. Artinya, jika semua daerah belajar dan mengadopsi strategi yang sama—kolaboratif, berbasis data, dan berpihak pada petani—Indonesia tidak lagi perlu bergantung pada impor.

Namun lebih dari sekadar pencapaian teknokratik, cerita sukses Jawa Timur adalah tentang harapan baru. Bahwa di tengah krisis pangan global, Indonesia bisa berdiri tegak. Bahwa di antara kegamangan banyak sektor, ada jalan yang jelas: membangun dari desa, dari kebun tebu, dan dari kepemimpinan yang tahu arah.

Penutup: Growth of the World

Ketika dunia bicara tentang krisis pangan, krisis iklim, dan krisis energi, Indonesia punya satu kisah yang bisa ditawarkan: kisah tentang batang-batang tebu yang tumbuh di tanah Jawa, tentang petani yang kembali percaya, dan tentang seorang gubernur perempuan yang menjadikan tebu sebagai strategi kebangsaan.

Jawa Timur telah mengirim pesan kuat: bahwa ketahanan pangan bukan proyek sesaat, melainkan visi jangka panjang yang dibangun lewat strategi, empati, dan kerja kolektif. Dunia yang kini mencari model pembangunan yang adil dan berkelanjutan dapat menoleh ke Jawa Timur, belajar dari sinergi antara pemerintah, industri, dan masyarakat.

Di ujungnya, ini bukan hanya cerita tentang swasembada gula. Ini adalah cerita tentang kedaulatan. Tentang bagaimana bangsa bisa menghidupi dirinya sendiri. Dan di tengah semua itu, Jawa Timur berdiri sebagai pilar—bukan hanya bagi Indonesia, tapi juga bagi inspirasi dunia.Wallahu A’lamu Bishawwab.(*)

*Dr H ROMADLON,  MM adalah Pemberdaya Masyarakat di Bidang Sosial dan Pendidikan Islam. Wakil Ketua PW ISNU Jatim. Ketua Komisi Hubungan Ulama dan Umara MUI Provinsi Jatim. Ketua Yayasan Sosial dan Pendidikan Al-Huda Insan Kamila Grogol Kediri.

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry