Oleh:  Suparto Wijoyo

DERITA terus terhelat di bumi Palestina. Perampokan tanah air Palestina oleh Rezim Zionis Israel berlangsung semakin beringas sejak dintrodusir Israel sebagai institusi negara pada Mei 1948. Waktu 69 tahun telah diukir dalam sejarah  kelam tentang warga yang terusir dari tempat tinggalnya untuk menjadi “penumpang gelap” di negara sendiri. Pengakuan kedaulatan Palestina melalui mekanisme organisasi dunia sekelas PBB dalam posisi sebelum Perang 1967 diabaikan begitu saja. PBB nyaris bersuara lantang meski kemudian “misinya” terpental  dari gelanggang. Ujaran pengibukotaan Yerusalem oleh Presiden USA Donald Trump adalah “pernyataan permusuhan” kepada bangsa-bangsa beradab.

Atas semua itu masyarakat internasional memperhinakan dirinya dengan tanpa mampu berbuat secara terhormat. Hukum internasional mati suri dalam menyikapi tragedi kemanusiaan yang dirasakan oleh warga Palestina lebih dari setengah abad. Mata dunia sedang menatap tajam, apa yang dapat dilakukan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang mengadakan Sidang Istimewa di Istanbul, Turki, 13 Desember 2017. Rombongan besar Presiden RI Joko Widodo berangkat memanggul amanat rakyat “menolak keputusan sepihak USA”.

9-10 Desember 2017 menggelak lagi di  Jalur Gaza, Ramallah dan titik-titik “intifadah” rakyat Palestina. Bombardir tentara zionis adalah perlambang bahwa kemanusiaan sedang dipermainkan. Padahal dalam spektrum teologis dan ekologi keagamaan, Isreal dapat mengemban peran  sebagai ”Negara Pemandu” kerukunan umat manusia dalam beragama dan menjadilah mereka sebagai perekat kehidupan yang berdurasi relegius. Ekosistem ketuhanan yang berada di Israel dan Palestina seyogianya menjadikan keduanya memiliki komitmen untuk memayungi semua komunitas agama.

Sesungguhnya Israel telah mengabaikan perannya dalam memberikan kesantunan kemanusiaan dan mestinya menyadarai bahwa Yerusalem itu istimewa.  Sebagaimana yang dikatakan oleh Discovery Channel melalui film dokumenternya, Jerusalem: History of The Holyland (2002):  Hanya segelintir kota yang telah menjadi tuan rumah bagi banyak agama dan aliran politik seperti Jerusalem. Bagi orang Yahudi, kota ini adalah ibu kota tanah air mereka dan lokasi Tembok Barat. Bagi umat Kristiani, taman Getsemani dan Golgota ada di sini. Dan bagi Muslim, ini adalah kota yang terkait dengan kejayaan Islam dengan tempat suci seperti Dome of the Rock.

Dengan demikian, Yerusalem seyogianya menjadi tempat persekutuan damai: Yahudi, Kristen, dan Islam. Pengeboman di perkampungan-perkampungan  Palestina menandakan bahwa Israel yang hidup sekarang ini bukan pengamal ajaran Musa AS melainkan jiwa-jiwa bergenetika Samiri, sang penipu dan pengkhianat akbar yang berselubung “pengiman” Musa AS.  Apabila Israel dengan orang-orang Yahudinya (Jews) mampu menyelami kisah peradaban Musa AS di abad ke-13 SM dan berlajar dari peristiwa eksodus menjelang ajalnya Ramses II atau Firaun 1237 SM, niscaya Israel tidak akan melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Pesan penting sebagai Jews adalah penghayatan atas status agungnya untuk berdampingan dengan Christians dan Muslims. Selama Israel dengan jiwa-jiwa keyahudiannya bertindak  arogan model “DNA Samiri”, dengan membantai warga Palestina, maka selama itu pula tidak ada rasa hormat kepadanya.

Akankah Israel terus bertindak yang tidak sehaluan dengan keberadaannya sebagai elemen dasar holyland tiga agama? Apabila ini tidak diatasi dan disadari dengan ketulusan hati Pemerintahan Israel,  selama itu pula Israel menabuh genderang perang dan perlawanan pada ketertiban dunia, khususnya bagi Muslim.  Seruan  PBB  yang tidak didengar apalagi dianggap membawa kenangan agar  orang Jawa  mengambil prakarsa. Saatnya sejarah anasir-anasir Jawa dideklarasikan  kepada Israel untuk diketahui.

Terdapat  hubungan kehidupan antara komunitas Yahudi dengan Jawa dalam jejaring ekosistem teologis. Tuhan mencipta peradaban manusia menurut Alquran berbangsa-bangsa agar saling mengenal dan tentu sambil merujuk kedekatan teologisnya. Atas nama Tuhan dan kemanusiaan dapat ditebar suatu studi yang mendalam agar Yahudi dapat memperhatikan seruan orang-orang Jawa sebagai kesatuan kosmologis. Ini tentu saja menimbulkan daya kritik bagi yang menolaknya dan memang membutuhkan penelitian guna membangun pemahaman komprehensif yang mencoba terbuka dalam hubungan dialogis-kosmopolis-ekologis dan teologis antara Jawa-Yahudi. Relasi Jawa dan Yahudi terutama dengan kesatuan hakikat umat Bani Israel tentu dapat ditelusuri pada kisah-kisah kenabian Musa AS. Bahkan Ibu Kota Israel yang bernama Tel Aviv itu pastinya memiliki hubungan tematik dan ideomatik dengan Jawa yang sejak saya kecil dulu disebut Jaffa Tel Aviv.

Mengenai  hal ini saya teringat ungkapan Emha Ainun Nadjib yang   mempertanyakan kenapa Tel Aviv bernama Jaffa Tel Aviv, kenapa pusat-pusat Yahudi di Amerika, Kanada, Belanda, Australia, dan lain-lain bernama Jaffa. Apa hubungan antara “j” dan “w” dalam kata Jewish atau Yahudi dengan kata Jawa, Yehovah, dan seterusnya? Banyak khalayak yang terinspirasi untuk berpandangan terdapatnya “jalinan keadaban” antara Jawa dengan Yahudi. Sama dengan kata Inggris untuk menyebut orang Yahudi yang dilansir dengan sebutan Jews, tidak adakah hubungan antara Jews dengan Jawa, Jaffa dengan Java, Yehovah dengan Jewish kemudian berkembang secara simplistik dengan sebutan Jawa? Anak buah Nabi Musa AS yang dikisahkan dalam berbagai Kitab Suci “sedang merindukan makanan-makanan tropis: kacang, mentimun, bawang merah, bayam, serta sayur-sayuran” merupakan variabel-variabel penghantar (intervening variables) yang menarik untuk diriset. Atau “jamaah” Nabi Musa AS yang takut ditimpa kutukan tropis oleh Allah SWT menjadi “Kera-Monyet”, pastilah sangat familier dengan peradaban hewan-hewan tropis.

Dari dimensi relasional tematik yang sederhana antara peradaban Yahudi dan Jawa, jangan buru-buru menolak tanpa pengkajian mendalam. Oleh karena itu saatnya orang-orang Jawa (Indonesia)  bertindak terdepan mengingatkan Israel. Jawa yang dalam kisah kenabian Musa AS tampak lebih tua  daripada Yahudi, maka dengan diplomasi peradaban kiranya dapat ditekankan bahwa Jawa sebagai saudara tua Yahudi kini mengambil ancang-ancang untuk “naboki adiknya” yang semakin gila.

Mentari kembali terbit. Inilah waktu yang ditunggu  telah tiba agar orang Jawa  mengambil peran fenomenal untuk “melabrak” Israel.  Ya … waktu  akan membuktikan: kelak dalam perayaan Palestina Merdeka, kita ini pejuang ataukah pecundang?

*Esais, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry