PEDULI RIBA -- Petugas dari Polrestabes Surabaya sidak penukaran uang baru di pinggir jalan. Piolisi hanya memastikan sejauh mana keasliannya, soal riba atau bukan menjadi domain ulama. (DUTA.CO/Wiwiek Wulandari)

Salah satu yang memprihatikan belakangan ini, adalah semakin tipisnya semangat menghindari barang haram, riba. Menjelang lebaran, jasa penukaran di jalan-jalan, hampir tidak peduli dengan riba. Ironisnya, mereka rata-rata umat Islam.

SEPERTI biasa, setiap jelang hari raya Idul Fitri di Indonesia marak jasa penukaran uang lama dengan uang baru yang berjajar di pinggiran jalan. Besarnya animo masyarakat yang ingin menukarkan uang lamanya, membuat banyak pihak turun menjadikan lading bisnis.

Padahal, Bank Indonesia (BI) sudah menyediakan tempat penukaran resmi di berbagai area. Di situ kita dapat menukarkan uang lama dengan uang baru dengan jumlah yang sama tanpa dikenakan biaya. Ini berbeda dengan di pinggir jalan. Transaksinya sudah mengerikan, tidak mengindahkan unsure riba sama sekali. Inilah yang mesti diperhatikan agar umat tidak (mudah) terjebak dalam riba.

Bagaimana hukum menukarkan uang lama dengan uang baru ditambah dengan biaya tambahan? Bagaimana pula menyiasatinya? Ada baiknya kita simak berbagai macam pendapat dan saran yang layak untuk diperhatikan bersama.

Penukaran uang sejenis (rupiah degan rupiah) dengan nilai seperti setiap nominal Rp100 ribu dikenakan biaya tambahan sebesar Rp15 ribu rupiah adalah termasuk riba yang diharamkan. Karena penukaran uang seperti itu tidak memenuhi syarat kesamaan nilai.

Islam mengajarkan bahwa penukaran uang sejenis harus memenuhi 2 syarat utama, yaitu kesamaan nilai dan kontan.

Sebuah haditsdDiriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Rahimahullah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:  “Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka barangsiapa menambah atau minta tambah, maka dia telah berbuat riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya).” (HR. Muslim, no 1584).

Selain sama, ada juga tukas menukar dengan selisih itu bukan termasuk jual beli. Karena sama-sama alat tukarnya.  Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Padang, Duski Samad, pernah mengatakan, jika hal tersebut dipandang sebagai jual beli maka tidak memenuhi syarat, sebab barang yang diperjualbelikan tidak ada. “Sementara yang dijual malah uang yang seharusnya jadi alat tukar,” kata Duski Samad.

Nah, jika penyedia jasa penukaran uang berdalih mereka hanya mengambil jasa maka tetap tidak dibenarkan karena pihak berwenang dalam hal ini hanya Bank Indonesia dan perbankan telah menyediakan penukaran secara cuma-cuma. Dan itu sudah diatur dalam regulasi negara.

“Oleh sebab itu pihak yang menyediakan jasa dan menukarkan uang dua-duanya secara hukum kena dosa,” katanya.

Bagaimana kalau dalihnya malas antre untuk menukarkan uang, sehingga memilih tukar di jalan? Islam tidak melarang jual beli barang dan jasa namun tidak dibenarkan mencari keuntungan dengan cara tidak baik. Ini harus diperhatikan. Selama ini yang terjadi di jalan-jalan, sudah diberlakukan aturan prosentase, ini yang dilarang.

“Peredaran uang adalah urusan negara dan sudah ada lembaga resmi yang mengelolanya. Apalagi ini menyangkut kepentingan publik oleh sebab itu kepada masyarakat sebaiknya jangan menggunakan calo dan tukarkan di tempat resmi,” ujar Duski Samad.

Kendati begitu, masih ada perbedaan pendapat. Para ulama mengharamkan praktek ini, karena dianggap sama saja dengan riba. Namun, ada pula ulama yang membolehkan. Masing-masing punya hujjah dan argumen yang melatar-belakangi pendapat masing-masing. Lalu bagaimana dasar yang menghalalkannya?

Direktur Ponpes al Mukmin, Ustadz Ibnu Chanifah menjelaskan perbedaan pendapat ulama terkait hukum tukar menukar uang. Pendapat yang mengharamkan akad seperti ini didasarkan pada hadits nabi saw yang melarang tukar menukar barang yang sama tetapi dengan nilai yang berbeda sebagaimana tertulis di atas. Di dalam ilmu fiqih, akad seperti ini disebut dengan akad riba, khususnya disebut dengan istilah riba fadhl (adanya tambahan).

Para ulama mendefinisikan riba fadhl ini dengan kelebihan pada jenis yang sama dari harta ribawi, apabila keduanya dipertukarkan. Jadi pada dasarnya riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam barter atau tukar menukar benda riba yang satu jenis, dengan perbedaan ukurannya akibat perbedaan kualitas.

Riba fadhl terjadi hanyalah bila dua jenis barang yang sama dipertukarkan dengan ukuran yang berbeda, akibat adanya perbedaan kualitas di antara kedua. Kalau kedua barang itu punya ukuran sama dan kualitas yang sama, tentu bukan termasuk riba fadhl.

Contoh dari pertukaran dua benda yang wujudnya sama tapi beda ukuran adalah emas seberat 150 gram ditukar dengan emas seberat 100 gram secara langsung. Emas yang 150 gram kualitasnya cuma 22 karat, sedangkan emas yang 100 gram kualitasnya 24 karat. Kalau pertukaran langsung benda sejenis beda ukuran ini dilakukan, maka inilah yang disebut dengan riba fadhl dan hukumnya haram.

Dalam pandangan mereka, kenapa tukar menukar uang seperti disebutkan itu diharamkan, karena pada hakikatnya ada kesamaan praktek dengan haramnya tukar menukar emas dengan emas di atas.

Walaupun dalam kenyataannya wujud benda yang dipertukarkan memang bukan emas tetapi uang kertas, tetapi pada hakikatnya dalam pandangan mereka uang kertas itu punya fungsi sebagaimana emas di masa lalu, yaitu sebagai alat tukar.

Intinya, kalau tukar menukar emas yang berbeda berat dan nilainya diharamkan, maka tukar menukar uang yang berbeda nilai pun juga diharamkan. Dan mereka memasukkan keharaman akad ini karena termasuk riba, yaitu riba fadhl.

Kalau kita telusuri banyak pendapat, kita akan menemukan banyak pihak yang berfatwa atas keharaman tukar uang model seperti ini.

Tetapi, ada pendapat yang membolehkan. Kadang kita juga menemukan adanya pendapat kalangan tertentu yang membolehkan tukar menukar uang berbeda nilai ini. Dan kalau kita telusuri apa latar belakang pendapat mereka, setidaknya kita menemukan ada dua alasan yang sering mereka kemukakan.

Alasan pertama, uang kertas tidak termasuk 6 jenis harta yang disebut dalam hadits tadi. Menurut mereka keharaman riba fadhl itu hanya terbatas pada enam jenis benda yang disebutkan dalam hadits tersebut. Keenam benda itu adalah emas, perak, gandum, barley, kurma dan garam. Sedangkan bila yang dipertukarkan selain keenam benda itu, maka hukumnya tidak mengapa walaupun berbeda ukuran karena beda kualitas.

Uang yang kita gunakan hari ini tebuat dari kertas. Dan kertas tidak disebut-sebut sebagai benda ribawi yang diharamkan untuk ditukarkan dengan berbeda nilai. Maka mereka menganggap tidak ada yang dilanggar dalam praktek tukar uang seperti ini.

Alasan kedua, kalaupun uang kertas yang kita pakai hari ini mau dianggap sebagai representasi dari emas, maka secara fisik yang dipertukarkan juga berbeda. Uang kertas 100-ribuan secara fisik berbeda dengan tukarannya yang berupa logam atau uang receh yang terbuat dari logam. Maka bila kertas ditukar dengan logam, tentu tidak termasuk tukar menukar benda sejenis. Dan oleh karena itu tidak terkena larangan seperti yang dimaksud di atas.

Oleh karena itulah beberapa waktu yang lalu kita masih menyaksikan di telepon umum di kota Mekkah atau Madinah, ada orang yang ‘berjualan’ uang receh di dekat telepon umum. Uang kertas 10 riyal Saudi ditukar dengan 9 keping uang logam pecahan satu Riyal.

Tetapi, pendapat ini dibantah pendapat lain. Yang mengharamkan punya hujjah untuk melemahkan pendukung pendapat yang menghalalkan. Alasan bahwa riba fadhl yang diharamkan hanya terbatas pada enam jenis benda saja, dianggap sebagai pendapat yang kurang tepat. Sebab ketika Rasulullah saw menyebutkan keenam jenis benda itu, tujuannya bukan untuk membatasi, tetapi untuk membuatkan contoh saja.

Buktinya, umumnya para ulama juga memasukkan haramnya tukar menukar dua jenis beras yang berbeda kualitas dengan ukuran timbangan yang berbeda. Padahal beras tidak termasuk yang disebut-sebut dalam hadits itu.

Alasan yang kedua juga dibantah. Sebab dalam kenyataannya yang banyak terjadi, khususnya di negeri kita ini, benda yang dipertukarkan adalah benda sejenis, yaitu uang kertas ditukar dengan uang kertas juga. Keduanya satu jenis benda, yaitu kertas, tetapi nilainya berbeda. Yang satu pecahan 100 ribuan, yang satu pecahan 5 ribuan. Lalu dipertukarkan begitu saja dengan nilai nominal yang berbeda. Satu juta rupiah ditukar dengan 950 ribu ripuah. Di situlah titik haramnya, menurut pendukung pendapat yang mengharamkan.

Lalu bagaimana kita melihat dua pendapat yang berbeda ini? Apakah kita ikuti pendapat pertama yang mengharamkan, ataukah kita kita ikuti pendapat yang menghalalkan? Keduanya sama-sama punya kelemahan. Kalau kita ikuti pendapat pertama, resikonya kita tidak bisa menukarkan uang receh, padahal kita sangat membutuhkan, khusus menjelang lebaran ini. Sedangkan kalau kita pakai pendapat yang kedua, risikonya kita bisa saja terjebak pada sesuatu yang diharamkan, walaupun kita selama ini lincah berdalih dan pandai beralibi.

Oleh karena itu, jalan tengah terbaik dalam ini adalah BI menyediakan jasa penukaran uang receh tanpa selisih. Kalau kita tukarkan uang 2 juta rupiah, maka yang akan kita terima tetap utuh 2 juta rupiah, tanpa selisih dan tanpa potongan apapun.

Dan biasanya menjelang lebaran, BI menyiapkan pos-pos dan titik-titik tertentu yang telah disiapkan sebagai tempat penukaran uang gratis. Bahkan BI sering bekerjasama dengan beberapa bank untuk jasa penukaran uang receh dengan gratisnya.

Kita boleh mengupah seseorang untuk mengerjakannya. Uang tidak mengalami perbedaan nilai. Tukar uang 2 juta rupiah dengan 2 juta rupiah juga. Lalu kita upah orang yang kita suruh membantu kita melakukan penukaran, katakanlah untuk biaya uang lelah dan waktunya yang terbuang karena harus antre, itu adalah halal.

Bukankah itu bisa diterapkan di jalan? Dengan dalih upah misalnya? Masalah di jalan sudah diberlakukan aturan sekian persen sebelumnya. Kalau itu ditiadakan, maka, dianggap mempermainkan transaksi.  Sesungguhnya tukar menukar seperti itu boleh, asal tidak diperjanjikan sebelumnya, misalkan uang (lama) Rp100 ribu ditukar dengan Rp85 ribu uang baru. Semoga kita terhindar dari hal-hal yang bersifat riba. Amin.  (berbagai sumber)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry