Hariyadi (atas) dan Suko Widodo menanggapi hasil survey. (FT/SUUD)

SURABAYA | duta.co – Masa kampanye Pilkada serentak 2018 baru berjalan sebulan, perang antarlembaga survey dalam merilis hasil penelitian untuk memperkuat opini massa terhadap pasangan calon yang membayar, sangat mewarnai persaingan kontestasi di Pilgub Jatim.

Hasil survey Pilgub Jatim dari beberapa lembaga survey menjadi prihatian serius kalangan akademisi berbagai kampus di Jatim. Pasalnya, survey yang mereka lakukan diduga menabrak kaidah-kaidah baku penelitian sehingga independensinya patut dipertanyakan.

“Tingkat popularitas Emil Dardak mencapai 44,5 persen tetapi tingkat akseptabilitasnya justru lebih tinggi yakni 44,9 persen,” demikian disampaikan Direktur Eksekutif Poltracking, Hanta Yudha saat merilis hasil survei di Jakarta Minggu (18/3/2018).

Menanggapi hasil survey seperti itu, akademisi dari kampus di Jatim pun angkat bicara. Hariyadi dari Unair Surabaya misalnya menyatakan bahwa akseptabilitas Emil Dardak yang lebih tinggi dari popularitas itu, jelas aneh. “Di mana-mana, tingkat akseptabilitas itu di bawah atau maksimal sama dengan popularitasnya. Ibarat kata tak kenal maka tak sayang,” ujar pengamat politik Unair Surabaya.

Di kalangan politisi, kata Hariyadi Poltracking dikenal sebagai langganan dari Partai Demokrat. Hal itu yang membuat dirinya menilai ada keraguan dalam melihat hasil survei ini. “Poltracking itu kan memang langganan Partai Demokrat, nah dengan hasil temuan tadi, saya meragukannya,” tegas Hariyadi.

Pertimbangan lainnya, lanjut dosen FISIP Unair hasil survei yang dirilis Poltraking juga masih menunjukkan tingginya Undecided Voters (belum menentukan pilihan) di Pilgub Jatim mencapai 21,8 persen. Hal ini artinya pertarungan antara pasangan Khofifah-Emi dan pasangan Gus Ipul-Puti masih sangat ketat.

“Masih sangat ketat sebab  Undecided Voters dan Swing Voters juga tinggi. Tetapi dengan melihat angka akseptabilitas Emil lebih tinggi dari pada popularitasnya tadi maka survei ini sebaiknya tidak dipercaya 100 persen,” harapnya.

Senada, Sukowidodo pengamat komunikasi politik Unair Surabaya menambahkan, membaca hasil survei itu perlu hati-hati karena belum ada lembaga survey politik yang netral karena sebagian besar pasti berbayar sehingga otomatis akan menyenangkan hati orang yang membayar.

“Lembaga survey politik itu terlalu subyektif sehingga independensinya patut dipertanyakan. Terlebih obyek penelitian yang menjadi responden adalah orang (manusia) sehingga tingkat bias (falacy) dan human errornya juga cukup tinggi. Mencari kebenaran dan pembenaran lewat survei harus dibedakan,” dalih Sukowidodo.

Terpisah dosen FISIP Unibraw Malang, Faza Dora Nailufar menegaskan dalam teori penelitian tingkat popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas itu biasanya berurutan. Artinya orang yang tahu dan kenal, belum tentu suka dan memilih sehingga angkanya cenderung menurun.

“Angka popularitas itu biasanya lebih tinggi dari pada akseptabilitas dan elektabilitas. Kalau hasilnya konstan itu luar biasa tapi kalau justru terbalik itu patut dipertanyakan,” ungkap Faza Dora Nailufar.

Di tegaskan Faza, jika tingkat akseptabilitas penelitian lebih tinggi dari tingkat popularitas maka metodologi survey yang digunakan patut dipertanyakan. “Peneliti itu harus cerdas sebab responden itu biasanya suka main-main dalam memberikan jawaban sehingga bisa terjadi mispersuption antara responden, surveyor dan pembuat instrument (kuisioner) alias terjadi human error,” dalih perempuan berjilbab ini.

Dalam  sebuah penelitian, sebelum surveyor terjun ke lapangan hendaknya dilakukan brefing (pemantapan) untuk menyamakan persepsi. Bahkan setelah hasil penelitian didapat perlu dilakukan cross cek dan setelah data masuk perlu dilakukan spot cek supaya tidak terjadi human error.

“Penelitian lembaga survei politik itu banyak yang bergeser fungsi dari menjadi penegah dan instrumen pendidikan politik yang bebas dari kepentingan, berubah menjadi ekonomi politik untuk mempengaruhi dan membentuk opini massa,” jelas Faza Dora.

Idealnya, jika obyek survey dilakukan di Jatim maka saat merilis hasil survey juga dilaksanakan di Jatim agar masukan yang didapat juga sesuai dengan harapan. “Kalau survey di Jatim kemudian rilisnya di Jakarta itu ngowahi adat (tidak patut). Sebab ini menyangkut perilaku pemilih di Jatim,” tambah perempuan berkacamata ini.  (ud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry