Achmad Yani Albanis, Sekretaris PPKN (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Sekretaris Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah (PPKN), Ahmad Yani Albanis, mengaku heran dengan alibi yang dibangun politisi PKB dalam memenangkan Gus Ipul. Setelah menakut-nakuti kiai, kalau Gus Ipul-Puti kalah, kiai bisa kehilangan muka, kini alibi lain terus dikembangkan, bahwa, politik mendukung Gus Ipul-Puti itu dasarnya istikharah.

“Mereka tidak takut akibat, baik risiko horizontal maupun vertikal. Apalagi dengan mengerahkan struktural NU. Maunya dengan menakut-nakuti kiai kehilangan muka, lalu, semua pemilih ikuti dia. Dengan mengumumkan hasil istikharah, semua pemilih menganggap pilihannya paling benar. Ini politik kacangan, sudah tidak zamannya,” demikian Ahmad Yani kepada duta.co, Jumat (23/3/2018) dini hari.

Yani kemudian mempersilahkan semua orang mencermati komentar politisi PKB yang juga anggota DPRD Jatim, Miftahul Ulum melalui merdeka.com . Pertama, menyebut keputusan mayoritas kiai ada di Gus Ipul. Bukan Gus Ipul yang meminta kiai untuk mendukungnya maju Pilgub Jatim.

“Jadi Gus Ipul yang diberi amanah kiai, bukan mempengaruhi kiai. Lha kemudian, PKB mendukung Gus Ipul. Terus kiai yang mendukung Gus Ipul dan PKB dituduh menerima sesuatu, lha mana mungkin para kiai yang dukung Gus Ipul itu sudah kaya, beliau semua gak butuh uang seperti itu,” demikian Yani menirukan Miftahul Ulum.

Kedua, lanjut Yani, Ulum juga menjelaskan keputusan mendukung Gus Ipul-Puti itu melalui istikharah dan masyawarah, tidak grusa-grusu. Ini juga yang selalu disampaikan KH Anwar Iskandar Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim dan Kiai Mutawakkil Alallah Ketua Tanfidziyah PWNU Jatim atas nama pribadi.

“Kalimatnya begini: Itu (dukungan ke Gus Ipul-Puti red.) sudah melalui serangkaian istikharah dan musyawarah mulai dari Ploso, Lirboyo, Sidogiri, hingga di Bumi Shalawat. Apa yang kemudian menjadi pilihan para kiai, tidaklah datang tiba-tiba atau grusa grusu,” demikian Yani menirukan alasan yang selalu digunakan.

Cukup? Belum, masih kata Yani. Untuk menjustifikasi alibi-alibi politik di atas, masih ada alibi lain, digunakanlah politik pembagian tugas. Maunya membagi tugas di antara kader NU. H A Halim Iskandar sebagai Ketua DPRD Jatim, Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menjadi gubernur, sedangkan Khofifah selaku menteri.

“Mari kita runut manuver politik mereka. Yang menyebut kiai bisa kehilangan muka kalau Gus Ipul kalah, ini sama dengan menakut-nakuti kiai. Ini disampaikan Sekjen PKB (Abdul Kadir Karding red.) . Pernyataan Karding ini menjadi pembenar sekaligus mengundang pertanyaan, ada apa kok kiai sampai ditakut-takuti kehilangan muka?,” jelas Yani.

Menurut Yani, justru sebaliknya, kalau Khofifah-Emil menang, malah martabat kiai terjaga. Tidak ada kiai yang harus kehilangan muka. “Di sinilah Cak Anam heran, kok sampai hati politisi PKB terus memperalat kiai dan NU dalam politiknya. Kalau ada kiai yang kehilangan muka — gegara Ipul-Puti kalah sebagaimana disampaikan Sekjen PKB — maka, kiai itu sudah teken kontrak. Dan buktinya memang ada kontrak,” katanya.

Terkait dengan syaiun-syaiun, masih kata Yani, pasti akan terjadi, dan itu tidak mungkin dihindari. Mengapa? Karena mereka ini bisanya hanya menyeret kiai ke dalam pertarungan politik. “Kiai diajak tarung politik, bahkan dijadikan bemper depan. Padahal, ingat! Setiap pertarungan politik, pasti ada syaiun-syaiun-nya. Istilah pengamat, tidak ada makan gratis dalam politik. Ini yang terjadi sekarang,” jelas Yani.

Masih menurut Yani, Cak Anam itu politisi senior, yang punya jasa membesarkan PKB. Meski duduk manis di rumah, dia selalu mendapat keluhan, laporan dan, bahkan data.

Atas nama pribadi pengurus NU se-Jatim diundang untuk menyaksikan kontrak politik. (FT/ngopibareng.

“Sekedar tahu, begitu selesai pertemuan yang mengundang seluruh pengurus NU se-Jatim di Kediri, Cak Anam sudah mendapat keluhan dari sejumlah peserta. Dari syaiun-syaiun-nya sampai siapa yang membagikannya. Sulit ditutupi, ini zaman transparansi. Sayang mereka belum paham ini,” tambahnya.

Lelaki asal Kota Gresik ini, kemudian menyarankan PKB mengubah gaya politiknya. Jangan hanya memperalat kiai dan menunggangi NU. Kalau begini terus, justru PKB akan hancur. Lihatlah partai-partai lain yang sibuk melakukan kaderisasi, adu program kerakyatan.

“Proses Pilgub ini semakin memperjelas ketidakberdayaannya, sehingga, lagi-lagi kiai harus dipaksa turun gunung. Sudah begitu, ditakut-takuti kalau kalah kiai kehilangan muka. Ini benar-benar mengerikan,” jelasnya.

Masih menurut Yani, kalau mau diurai agak panjang, semua ini (Pilgub) dimulai dari Muktamar 33 NU di Jombang. Tetapi komitmen Jombang ini hampir pecah, karena Halim Iskandar (kakak kandung Muhaimin – Ketua DPW PKB Jatim) sang kunthul baris, ingin maju sendiri.

Haslim sudah pasang bailho se-antero Jatim. Tetapi, karena elektabilitasnya tak bisa naik, maka, Gus Ipul punya kesempatan menggantikan Halim. Keluarlah alasan bagi-bagi tugas. Halim tetap Ketua DPRD Jatim, Gus Ipul gubernur, Khofifah menteri. Umat pun bertanya, apa urusannya kiai yang notabene struktural PWNU itu, bagi-bagi tugas jabatan?

Kiai Mustamar menyambut Basarah dengan menitipkan surat khusus kepada Megawati. (FT/detik.com)

“Padahal, andai saja Halim elektabilitasnya tinggi, tentu, tidak mau. Tetapi, meski begitu, buktinya tidak mudah bagi Gus Ipul mendapat dukungan parpol lain. Maka, kiai struktural NU ini ditugasi merayu PDI-P, menyambut kedatangan Ahmad Basarah utusan Megawati agar ikut merekom Gus Ipul. Atas nama pribadi para pengurus NU itu menyambut Basarah, sampai-sampai ada pondok kelihatan merah semua, ada juga yang bikin surat khusus huruf Arab pegon, hanya boleh dibuka dan dibaca Megawati. Luar biasa gegap gempitanya,” jelasnya.

Pengurus NU se-jatim atas nama pribadi mendengar pidato Puti. (FT/detik.com)

Sampai di sini, kata Yani, masih adem ayem, karena pasangan Gus Ipul adalah Bupati Banyuwangi, Azwar Anas. Tetapi, duet Ipul-Anas ini ternyata tidak lama. Anas dihajar dengan isu perempuan. Anas babak belur. Maka, masuklah Puti. “Lucunya, sudah tidak ada lagi istikharah kiai, mengapa harus diganti Puti?,” jelasnya sambil tersenyum.

Jadi, jelas Yani, proses ini disaksikan secara telanjang bulat oleh warga NU. Kalau kemudian sekarang dikatakan Gus Ipul itu mendapat mandat dari kiai, jelas akan ditertawakan umat. Apalagi secara kasat mata, PWNU menolak keinginan Khofifah untuk silaturrahim, sementara yang lain bebas keluar masuk.

“Apa tidak miris menyaksikan semua itu? Lalu di mana khitthah NU? Belum lagi kiai struktural NU memanggil cabang dan banom tanpa atribut untuk menyaksikan teken kontrak politik, mereka pulang mengaku mendapat syaiun-syaiun, terus maunya apa? Dari sini benar apa yang dikatakan Karding, kalau Ipul-Puti kalah, kiai-kiai bisa kehilangan muka. Ini pengakuan lugas. Kita tidak bisa terima,” jelasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry