Oleh: Dr. H. Ahmad Siboy, SH, MH*

Keikutsertaan putra dan menantu Jokowi dalam Pilkada tentu bukanlah sebuah permasalahan. Sebab, Gibran dan Boby merupakan warga Negara yang oleh konstitusi dijamin haknya untuk dipilih dan memilih.”

TAHUN 2020 merupakan tahun Politik. Pada tahun ini akan diselenggarakan Pilkada serentak putaran keempat. Dimana sekitar 270 daerah akan menyelenggarakan Pilkada. Pilkada tentu merupakan salah satu momentum politik yang dapat meningkatkan eskalasi politik nasional walaupun levelnya berada pada tingkat daerah.

Namun, walaupun levelnya pada tingkat daerah bukan berarti eskalasi politik tidak akan memanas. Pilkada walaupun sifatnya lokal namun kerapkali memancing pertarungan politik pada tingkat nasional. Sebagai contoh, dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 kemarin, walapun Pilgub merupakan pemilihan tingkat Provinsi namun eskali politik di DKI pada saat Pilkada sangat berpengaruh terhadap dinamika politik nasional terutama berkaitan dengan polarisasi berbasis agama dan ras.

Pilkada pada tahun 2020 mungkin tidak akan sepanas seperti Pilkada DKI tahun 2017 mengingat dalam Pilkada tahun 2020 ini tidak melibatkan Daerah Ibu Kota sebagai salah satu daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada.Namun, dalam Pilkada kali ini, terdapat putra Mahkota dan putra dari tokoh-tokoh politisi nasional. Pilkada Solo akan menjadi salah satu Pilkada yang pasti mengundang perhatian dan menuai tensi politik tinggi. Dalam Pilkada Kota Solo kali ini, Putra Sulung Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon Wali Kota. Majunya Gibran tentu akan menjadi isu politik nasional.

Majunya Gibran tentu menjadikan kontestasi Pilkada Kota Solo tidak hanya menjadi pertarungan elit politik lokal melainkan politisi nasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa tokoh nasional tidak akan “turun gunung” dalam Pilkada Kota Solo. Indikasi bahwa elite politik nasional akan turun gunung terlihat dari proses perebutan rekomendasi dari PDI-P. Rekomenadai PDI-P sedang diprebutkan oleh Gibran Rakabuming Raka yang di back up oleh elite politik Nasional dan  Purnomo yang mendapat dukungan dari DPC PDI-P Kota Solo.

Apabila DPC PDI-P diberi kewenangan penuh dalam menentukan kader yang akan diusung dalam Pilkada maka tentu Pilihan akan jatuh pada Purnommo. Yang menjadi persoalan adalah kewenangan rekomenadasi PDI-P yang merupakan “veto” dari sang ketua umum, Megawati Soekarnoputri.

Pada Pilkada 2020, Jokowi tidak hanya memberi “restu” kepada Putra Sulungnya, melainkan juga kepada  sang menantu, Boby Nasution. Suami dari Kahiyang Ayu ini akan berlaga dalam Pilkada Kota Medan. Berstatus sebagai menantu seorang Presiden tentu menjadikan pertarungan dalam Pilkada Kota Medan tidak sebatas pertarungan Boby dan para kandidat lain melainkan hal ini pasti akan melibatkan tokoh Nasional. Sebab, yang dipertaruhkan bukan sebatas Boby Nasution melainkan reputasi dan pengaruh Jokowi.

Diakui atau tidak, pengaruh dan intervensi Jokowi atau orang-orang kepercayaan  Jokowi dalam Pilkada tentu tidak dapat dipungkiri. Walaupun dalam bahasa verbal, Jokowi menyatakan tidak akan intervensi namun pernyataan tersebut sudah dimaklumi publik sebagai bahasa politik semata. Bahasa politik seringkali memiliki definisi sebagai bahasa dimana antara apa yang dikatakan berbeda dengan apa yang dilakukan.

Keikutsertaan putra dan menantu Jokowi dalam Pilkada tentu bukanlah sebuah permasalahan. Sebab, Gibran dan Boby merupakan warga Negara yang oleh konstitusi dijamin haknya untuk dipilih dan memilih. Pasal 27 ayat (1) UUD NRI tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa setiap warga Negara memiliki kedudukan yang sama diihadapan hukum dan pemerintahan. Artinya, majunya putra dan menantu Jokowi bukanlah pelanggaran hukum melainkan hak bagi Gibran dan Boby.

Sebaliknya, melarang keduanya untuk maju Pilkada tentu merupakan pelanggaran hukum. Bersamaan dengan itupula, tidak ada jaminan bagi keduanya akan dapat memenangi Pilkada Kota Solo dan Medan. Bisa saja keduanya kalah dalam Pilkada mengingat orang-orang yang sedang kecewa dengan pemerintahan Jokowi akan melampiaskan kekecewaanya dengan mengalahkan putra dan menantu Jokowi. Disinilah kemudian bahwa sesungguhnya Gibran dan Boby juga memiliki beban tersendiri.

Yang terpenting dalam majunya putra dan menantu Jokowi adalah tentang penjaminan terhadap hak-hak mereka sekaligus perlakuannya. Mereka berdua harus diperlakukan sama oleh siapapun termasuk oleh penyelenggara Pemilu dan penegak hukum. Berikan apa yang menjadi hak mereka dan tuntut mereka untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajiban mereka.

Namun, hak-hak previlege atau keistimewaan yang melekat pada anak dan menantu Jokowi tidak bisa dilepaskan seratus persen. Sebagai putra dan menantu seorang Presiden, Gibran dan Boby Nasution tetap harus mendapatkan hak-hak khusus tersebut seperti pengamanan dan lain sejenisnya.

Pada sisi beberda, harus difahami bahwa pembatasan terhadap hak seseorang (termasuk putra dan menantu Presiden) dalam Pilkada tidak dapat diukur oleh garis keturunan atau keluarga dari orang yang ingin maju untuk dipilih dalam Pilkada. Hal ini telah dikuatkan oleh putusan MK saat memutus atas permohonan uji materi mengenai larangan politik dinasti dalam UU Pemda dan Pilkada. Hak dipilih merupakan hak politik seseorang yang bersifat negative right atau tidak dapat diintevensi oleh siapapun termasuk negara.

Pembatasan terhadap hak seseorang untuk tidak dapat dipilih dalam Pilkada hanya dapat dilakukan apabila yang bersangkutan sedang dicabut hak pilihnya melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inracht. Biasanya, hak untuk tidak dapat memilih dan dipilih dijatuhkan pada orang yang terbukti melakukan pelanggaran serius seperti tindak pidana korupsi.

Di Indonesia, acapkali hak-hak seseorang dalam politik selalu dikaburkan bahkan coba dirampas melalui penggiringan opini publik. Publik seringkali “memvonis” seseorang bersalah dan tidak pantas mencalonkan diri sebagai kepala daerah karena faktor pelanggaran hukum dan/atau keluarga Presiden atau keluarga kepala daerah yang sedang berkuasa (petahana). Padahal, dalam teori hukum, hubungan kekeluargaan tidak dapat mengurangi hak politik seseorang. Andai saja logikanya dibalik, mengapa rakyat menyindir calon yang merupakan keluarga petahana tapi pada sisi yang hampir bersamaan justru memiilih seseorang yang sedang di tahan KPK sebagai kepala daerah.

*Penulis adalah Wakil Dekan III Fakultas Hukum Unisma Dan Penulis Buku Kontruksi Hukum Pilkada