
“Sesuatu yang permulaannya baik maka akan baik akhirnya, tapi jika memulainya dengan buruk, maka akan buruk hasilnya.”
Oleh Mukhlas Syarkun
ADA pertanyaan yang sulit dihapus: Apakah konflik PBNU sekarang ini, merupakan kutukan dari Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) dipaksakan untuk diterapkan di Muktamar ke-33 Jombang? Waallahu’alam. Yang jelas pemakaian sistem AHWA yang dipaksakan itu, telah melahirkan Rais Aam, lalu ‘melanggar’ AD/ART karena tergiur jadi Cawapres RI. Meskipun demikian, beliau tetap mendukung PBNU Kiai SAS (KH Said Aqil Siroj, red) dan Rais Syuriyah termasuk KH Miftachul Akhyar.
Lalu, berlanjut Muktamar ke-34 Lampung, di mana AHWA melahirkan Rais Aam KH Miftachul Akhyar, yang kini geger karena sebagai Rais Aam dinilai melanggar AD/ART karena memecat Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Satquf. Bedanya KH Ma’ruf tidak mendukung kebijakan Rais Aam PBNU dan bahkan disalah-salahkan Kiai SAS..
“Mengapa AHWA justru melahirkan Rais Aam yang melanggar aturan? Pertanyaan ini terus terdengar nyaring di benak nahdliyin yang mencermati Muktamar ke-33 NU di Jombang. Kok bisa Rais Aam memecat Ketum PBNU? Dasarnya apa? Ada yang menjawab karena AHWA itu produk politisi di Muktamar ke-33 NU di Jombang sebagaimana reportase dalam buku putih bertajuk “Buku Putih di Muktamar Hitam”, karya team PWNU. Disusul buku *NU Jadi Tumbal Politik Kekuasaan* oleh Cak Anam (almarhum Drs H Choirul Anam).
Dalam dua buku itu dijelaskan bahwa keputusan memakai sistem AHWA full, merupakan kerja politisi yang dilakukan dengan melanggar aturan dan cara cara yang tidak berakhlak serta pemaksaan. Dalam buku itu juga disebut aktor-aktornya, Ada yang menyusupkan menjadi peserta illegal, ada yang menghadang pemaksaan di pendaftaran dan ada yang nekad umumkan rekab nama-nama AHWA palsu di forum muktamar itu.
Bayangkan, Muktamar ke-33 NU berjalan berlangsung di bumi Jombang. Tapi tempatnya di alun-alun, bukan di pesantren. Padahal Jombang bukan sekedar basis pesantren, tetapi juga sentral NU karena di sini asa Mbah Hasyim dan Mbah Wahab. Maka, lahirlah penglihatan bathin, bahwa, muktamar ‘hitam’ ini membuat muassis tidak berkenan alias marah.
Lalu, berlanjut ke Lampung yang mengarahkan nama nama AHWA adalah politisi juga, meskipun sedikit rapi pelaksanaannya. Dari sini maka teringat pepata Arab “Sesuatu yang permulaannya baik maka akan baik akhirnya, tapi jika memulainya dengan buruk, maka akan buruk hasilnya”. Apakah konflik ini, buah dari keburukan yang kita tanam? Menyedihkan bukan!!! (*)






































