
“Jangan pernah ada keraguan dalam mengarungi keluasan samudera Ramadan. Bentangan luas yang kian tidak terjamah nalar biasa selalu menyodorkan pesan tentang keajaiban puasa sebulan ini.”
Oleh Suparto Wijoyo*
RAGAM perilaku sosial yang membudaya semakin berwarna selama Ramadan. Inilah saat yang menjadi penanda bahwa Ramadan itu sangat mengesankan dan menciptakan peradaban baru dari konstruksi budaya yang sangat spiritual. Agama hadir dengan ajaran di bulan Ramadan untuk saling memakmurkan. Perhatian publik sedemikian menggelombangkan jiwa-jiwa sama umat manusia. Peribadatan puasa yang sangat personal menjadi berdimensi khalayak ramai. Orang dengan muda berbagi harta dan benda yang semala ini digenggam erat. Sedekah dan zakat acap kali lumrah saat Ramadan. Lihat saja bagaimana warga kota dan perkampungan di desa-desa menebarkan berkah hidupnya.
Berbagai komunitas yang sangat filantropis itu semburat. Anak-anak, muda-mudi, remaja-tua sebaya. Dari jamaah masjid, karang taruna, kumpulan arisan, group ojek, komunitas parkiran, sosialita emak-emak, dan jamaah yasin-tahlil di gang-gang sempit juga tumpah di halaman depan. Dari orang pinggiran, tengahan, jalanan sampai gedongan. Mereka tampil sambil berdiri di ruas jalan dan titik-titik kumpul tertentu di berbagai wilayah. Tidak hanya di perkotaan tetapi juga di padukuhan. Apa itu? Orang berbagi takjil. Inilah realitas yang kerap terjadi di setiap Ramadan, tidak terkecuali di 1446 H ini dengan segala dinamikanya. Kue, kurma dan gorengan serta sego buntelan serta air kemasan dibagi untuk siapa saja yang lewat. Bahkan memacetkan jalanan. Separuh jalan distop untuk acara ini yang melibatkan warga kampung. Inilah iftar jalanan atau jalanan menjadi ruang iftar yang sangat kolosal. Yang menerima bingkisan tidak disoal, apakah dia puasa atau tidak, bukan menjadi pertimbangan, melainkan keberkenanan menerima. Itu yang utama. Inilah bulan yang dimana pangan itu datang silih berganti setiap hari panen rasa makanan.
Sungguh, wulan siam ini senantiasa dihadirkan untuk hamba-hambanya. Berjuta isyaroh melintas bahwa puasa itu kewajiban yang mencukupkan kebutuhan hidup orang-orang yang bertauhid atas-Nya. Jangan pernah ada keraguan dalam mengarungi keluasan samudera Ramadan. Bentangan luas yang kian tidak terjamah nalar biasa selalu menyodorkan pesan tentang keajaiban puasa sebulan ini. Betapa banyak handai taulan yang semakin sehat dan kenyang di bulan ini. Saya menyimak kemampuan para eyang yang berbatas usia 85-95 tahun tampak energik menapaki hari-hari Ramadan ini. Wajahnya sumringah sinambi leyeh-leyeh di balai-balai rumah dengan melantunkan kalimat hikmah. Komat-kamit zikir disenandungkan oleh bibir tua yang syarat makna.
Fenomena ini sepercik contoh yang membuat kita tersipu malu. Anak-anak yang belum akil baligh pun di kampung-kampung nun jauh di sana telah mengirim pesan bahwa mereka berpuasa penuh seharian. Fakta yang mengesankan untuk dipetik “ilmu linuwih-nya” dari anak-anak yang secarik balita, puasa nutuk. Takjil di jalan-jalan desa yang saya lintasi terpotret ramai dengan pembagian rezeki yang terus bergulir setiap hari. Gairah tarawih disambut laksana “arena perlombaan” beribadah menjemput ridha-Nya.
Semua itu indah dan di bulan inilah kesejahteraan terhelat seperamalan sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia yang mengerjakan ibadah puasa kerap memanen “keadilan sosial” Tuhan berupa ketercukupan kebutuhannya untuk “mengatasi haus dan dahaga”. Sepanjang perjalanan luar kota, di areal-areal lapangan dari wilayah manapun di Jawa, Sumatera dan Kalimantan maupun Nusa Tenggara Barat, saya mendapati “orang terpanggil menaburkan hartanya” untuk memenuhi jalanan. Saya yakin ini jua yang ditampilkan di seluruh pelosok negeri atau pusat perkotaan Republik ini.
Ramadan memang bulan penuh rahmat. Pemerintah sebagai organ negara pun dipersilahkan sibuk dengan tupoksi untuk membagi-bagi “tanda syukur” kepada para PNS atau ASN bahasa sekarang tentang gaji ke-13, ke-14 ataupun THR. THR sudah cair lagi. Memenuhi tabungan punggawa negara. Pembagian makanan menjemput iftar adalah aktivitas penting untuk menandakan bahwa “dia sedang membagi takjil”, menebarkan apa yang menjadi “gula-gula” yang diterima abdi negara. Bahkan insan demokrasi atau anggota dewan perlu pula “mendapatkan pahala kenegaraan” dengan “takjil” yang melangit untuk ukuran siapapun yang memiliki empati sosial atas derita rakyat-rakyat miskin yang terhimpit di bawah tembok-tembok kota. Saksikanlah bahwa menjulangnya gedung yang mencakar langit itu sejatinya meraungkan jerit tangis yang amat tidak terdengar oleh yang sibuk membangun citra.
Kesibukan mereka pada dasarnya juga sebagai bentuk “pelayanan agar orang-orang pemanggul iman yang sedang berpuasa dapat menikmati saat berbukanya dengan tenang, tanpa was-was karena sembako tetap tersedia. Saudara-saudaraku yang pedagang di pasar-pasar rakyat Surabaya terus melebarkan senyum terindahnya bahwa kini kebutuhan berbuka tidak akan sulit ditemukan, apalagi dengan harga terjangkau khalayak, dan andai saja harga sembako itu ada yang meroket, maka rakyat ini cenderung diam dengan mengembangkan kreasinya “mengoplos sembakonya”, yang penting mengenyangkan, jangan ditilik sehatnya. Toh setelah masuk perut, tetap saja dituntun dengan nama Tuhan dan itulah yang mengakibatkan rakyat Indonesia tetap bisa bertahan di tengah himpitan yang menindih. Kalau yang instansi pemerintahan tergiring skema efisiensi. Puasa ini ditekati sebagai ujian dan atas kesetian itulah Allah SWT mengalirkan rezeki-Nya dengan “menurunkan hujan” takjil yang dihelat di banyak jalan, termasuk undangan berbuka bersama yang setiap hari membersamai tanpa jeda. Subhanallah. Ramadan memang mbarokahi.
*Prof Dr H Suparto Wijoyo, SH, MHum., CSSL adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.