“PKB menjadi Parpol yang paling menarik dicermati. Sikap garang dan gamangnya Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) serta ‘kegundahan’ sejumlah tokoh NU seakan harus segera ‘menemukan jalan tol’ demi efektifitas aspirasi politik nahdliyin.”
Oleh Sholeh Basyari*
DINAMIKA Pilpres 2024 masih berlanjut dengan adu argumen para pakar-pakar hukum di Mahkamah Konstitusi (MK). Jagoan-jagoan hukum dari ketiga pasangan calon (paslon), baik dari 01 (Anies-Muhaimin) dan 03 (Ganjar-Mahfud) sebagai penggugat maupun para jagoan hukum 02 (Prabowo-Gibran) sebagai pihak terkait.
Namun sambil menunggu hasil dari Gedung Mahkamah Konstitusi, pergumulan pasca ditetapkannya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden Terpilih dan Wakil Presiden Terpilih oleh KPU juga terus berlanjut.
Wacana Hak Angket yang sempat mengapung, namun seiring berjalannya waktu dan masifnya ‘lobby-lobby’ politik, perlahan tergerus.
Menghilangnya wacana Hak Angket kuat hubungannya dengan pertemuan penuh makna Prabowo Subianto dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang ditengarai juga sebagai pertandanya bergabungnya Nasdem ke dalam koalisi pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih.
Sikap Nasdem sendiri secara politis dianggap sebagai langkah cepat dan tepat, mengingat strategisnya bagi partai untuk bergabung sebagai koalisi pendukung pemerintah. Apalagi Nasdem sejak berdiri bisa dibilang tidak berpengalaman sebagai oposisi pemerintah.
Berbeda dengan PKS sebagai sekutu dalam Koalisi Perubahan, sudah tidak ‘kagok’ untuk menjadi oposisi karena sejak 2014 lalu sudah berada di luar pemerintahan. Sehingga wajar PKS terlihat tidak terlalu kasak-kusuk dalam lobby-lobby dengan Prabowo-Gibran.
Terus bagaimana dengan PKB? Sekutu yang sama-sama berada dalam Koalisi Perubahan pengusung Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar?
PKB merupakan partai yang memiliki sejarah selalu berada di sisi pemerintah, sebagai perwakilan umat. PKB selalu menjadi ‘Anak Emas’ kekuasaan, karena ‘memegang’ PKB sama artinya mendapatkan legitimasi umat dari ormas keagamaan terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU).
Pentingnya posisi PKB ini, sudah pasti juga dipahami oleh Prabowo Subianto, tetapi kenapa dia tidak bertindak secepat kepada Nasdem?
Garangnya Sebelum Pilpres
Tentunya, ini tidak terlepas dari peristiwa politik yang terjadi sebelum pendaftaran capres dan cawapres, dimana Gerindra dan PKB sudah jauh hari memutuskan untuk menjalin koalisi dan berkerjasama dalam menghadapi Pilpres 2024.
Dalam perjalanannya koalisi itu terputus secara sepihak, tiba-tiba Cak Imin meninggalkan Gerindra dan Prabowo untuk kemudian bergabung dengan Nasdem dan PKS.
Posisi sebagai cawapres Anies Baswedan lebih menarik bagi Cak Imin, daripada berkoalisi yang menurutnya tanpa kepastian posisi cawapres dengan Gerindra.
Gerindra menyebut itu adalah pengkhianatan, namun bagi Cak Imin itu adalah sebuah bentuk keberanian. Keberanian yang terus-menerus dia lanjutkan sampai pada masa-masa kampanye.
Cak Imin menunjukan ‘kegarangan’nya melalui pernyataan-pernyataan yang menyerang Prabowo bahkan Presiden Jokowi yang dianggap sebagai ‘Endorse Man’ Prabowo-Gibran.
Pengkhianatan dan serangan-serangan Cak Imin itu, mungkin tidak membuat Prabowo ataupun Jokowi menjadi dendam, namun dipastikan akan selalu berada dalam ingatan mereka.
Ingatan itu jugalah yang diyakini menjadi kendala bagi PKB untuk bisa bergabung dalam koalisi pemerintahan mendatang.
Seperti yang kita cermati sendiri, sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan adanya rekonsiliasi antara Cak Imin dengan Prabowo atau PKB dengan Gerindra.
Gamangnya Setelah Pilpres
Bayang-bayang akan berada di luar pemerintahan sudah pasti menghantui bagi PKB, dan NU sebagai pemegang saham tunggal.
Jika ditanya kepada elit-elit PKB termasuk Cak Imin sendiri, sudah pasti mereka ingin berada dalam bagian kekuasaan. Dan upaya-upaya untuk itu, berdasarkan informasi dari banyak sumber terus dilakukan.
Tapi di tengah-tengah berbagai upaya yang dilakukan itu, tersebar informasi (terkonfirmasi) ada syarat dari Prabowo maupun Jokowi bahwa PKB akan bergabung, jika nahkoda partai ini tidak lagi Cak Imin. Sebuah syarat yang pastinya tidak akan dipenuhi dengan mudah oleh Cak Imin.
Sebagai Ketua Umum yang sudah berkuasa mendekati 20 tahun, sudah dipastikan elit-elit PKB saat ini adalah orang-orang kepercayaan yang memiliki loyalitas tinggi, paling tidak di hadapan Cak Imin sendiri.
Tetapi, elit-elit PKB yang walaupun loyal kepada Cak Imin, tetap diliputi kegamangan yang luar biasa, mengingat kehilangan kesempatan untuk berapa di lingkaran kekuasaan akan berpengaruh besar pada nasib partai dalam 5 tahun ke depan terutama pada Pemilu 2029 mendatang. Maka tidak bisa dipungkiri bisik-bisik maupun kasak-kusuk berkembang dalam waktu cepat di internal PKB sendiri.
Dampak jika berada di luar pemerintahan tidak hanya akan dirasakan oleh PKB, tetapi juga akan memberi pengaruh besar terhadap NU. Sehingga wajar PBNU sudah mulai bersuara, mengingat masyarakat NU sendiri sebagian besar adalah pemilih Prabowo-Gibran pada Pilpres lalu.
Sekjen PBNU Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dengan lantang sudah menyuarakan kegelisahannya, dengan meminta PKB segera dikembalikan kepada PBNU.
Sebagai Sekjen PBNU yang mengemban amanah persoalan nahdliyin, Gus Ipul mengerti pentingnya PKB berada di sisi pemerintahan. Gus Ipul juga pasti memiliki keyakinan hal tersebut tidak akan terjadi, jika Cak Imin masih berada pada pucuk pimpinan PKB.
Upaya Penyelamatan PKB
Kegundahan PBNU seperti yang dilantangkan oleh Gus Ipul, hampir dipastikan juga menjadi kegundahan nahdliyin, termasuk juga para elit, kader dan konstituen PKB. Banyak yang berpendapat, Cak Imin harus legowo untuk mundur dari posisi Ketua Umum PKB. Mundur sebagai seorang pejuang yang lebih mementingkan kepentingan partai dan NU.
Namun sepertinya itu tidak akan terjadi, walaupun tidak ada salahnya coba diupayakan oleh PBNU melalui pertemuan dengan PKB (Cak Imin) yang mungkin juga bisa melibatkan para Kiai-Kiai Sepuh. Karena ini tidak bisa dilepaskan hanya menjadi urusan PKB semata, ada kepentingan umat yang lebih besar.
PBNU sebagai orang tua yang melahirkan PKB, juga bisa meminta Cak Imin untuk ‘muhasabah’ diri, terutama setelah mengikuti kontestasi Pilpres kemarin. Inilah jalan ‘tol’ untuk menyelamatkan posisi politik PKB.
Jika Cak Imin tidak memiliki kebesaran hati untuk mundur, langkah-langkah penyelamatan lain harus diupayakan. Mungkin bisa dilakukan percepatan muktamar, yang (ini) tidak mungkin juga rasanya akan dilakukam oleh Cak Imin. Tapi PBNU bisa mengambil alih, dengan membentuk panitia muktamar yang ditunjuk langsung oleh PBNU.
Jika ini dilakukan, maka DPW dan DPC akan memiliki pilihan untuk melakukan upaya penyelamatan partai dengan cara-cara demokratis. Keberlangsungan muktamar juga bisa diupayakan oleh PBNU melalui PWNU dan PCNU kepada DPW dan DPC di daerah.
Demi penyelamatan partai dan NU secara umum, maka muktamar ini harus bisa dilaksanakan pada bulan Juni atau Juli 2024, sebelum koalisi pemerintahan baru berjalan. Jadi PKB tidak menjadi penumpang yang naik di jalan.
Upaya penyelamatan partai ini juga bisa diinisiasi oleh tokoh-tokoh di internal PKB seperti Waketum Jazilul Fawaid atau Yaqut Cholil Qoumas. Keduanya diyakini memiliki kapasitas dan kekuatan untuk menggalang di dalam untuk percepatan muktamar.
Atau melalui Rapimnas atau Rakernas menyuarakan upaya penyelamatan partai dan NU sebagai pemilik saham. Jika pihak internal DPP PKB mulai bergemuruh, maka akan memberikan dampak yang luar biasa.
Peran Dewan Syuro juga bisa memberikan efek yang besar, karena bisa membangkitkan ghiroh kepada kader-kader baik yang di pusat maupun daerah.
Pilihan lain yang paling tepat untuk mempercepat penyelamatan partai ini, adalah melalui penggabungan visi dan misi pihak internal dan eksternal DPP PKB.
Jazilul Fawaid atau Yaqut Cholil Qoumas atau pihak-pihak di dalam DPP PKB bekerjasama strategis dengan Gus Ipul yang mewakili PBNU serta Lukman Edy Mantan Sekjen PKB yang diketahui memiliki kedekatan khusus Pasangan Prabowo-Gibran.
Perpaduan kekuatan itu jika terwujud, maka tidak diragukan lagi akan mempercepat penyelamatan PKB. Tentunya semua upaya-upaya itu, juga harus diiringin dengan koordinasi yang intensif dengan pemerintah saat ini maupun pemerintah akan datang.
Koordinasi ini sangat diperlukan, mengingat Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih sangat berkepentingan dengan masuknya PKB dalam koalisi pemerintahan.
Jangan dilupakan juga, selain ‘restu’ dari pemerintah, upaya penyelamatan partai ini juga membutuhkan logistik yang besar. Maka sangat diperlukan kerjasama yang komprehensif oleh pihak-pihak di atas, dengan mengenyampingkan kepentingan masing-masing dan mengutamakan penyelamatan PKB dan NU.(*)
*DR Sholeh Basyari MPhil adalah Aktivis NU dan Direktur Eksekutif CSIIS.