“Jalan perang Hamas beresiko tinggi terhadap warga sipil. Ini karena wilayah Palestina tidak (sama) seperti Indonesia yang banyak hutan dan dataran tinggi. Andai seperti Indonesia strategi gerilya Hamas menguntungkan.”
Oleh Achmad Murtafi Haris*
HENDRO Priyono dalam salah satu kanal podcast mengatakan bahwa Indonesia perlu berbuat lebih dari sekadar mengutuk serangan Israel atas Gaza. Yaitu dengan berperan aktif mendamaikan faksi Fatah dan Hamas yang berseteru. Persatuan adalah modal dasar kemerdekaan Palestina. Pernyataan kutukan sudah usang dan lazim dinyatakan oleh pemimpin negara manapun dan tidak signifikan bagi perubahan kondisi yang ada.
Pernyataan Presiden Jokowi pun meningkat dari kutukan ke nada “tuduhan” dengan mengatakan bahwa Israel telah menargetkan warga sipil Gaza secara acak. Artinya bahwa serangan yang menyasar warga sipil bukan tanpa sengaja untuk mengejar tentara Hamas yang bersembunyi di pemukiman warga yang berakibat peluru, bom atau rudal nyasar ke warga. Sudah 8000 nyawa yang melayang harus menjadi tanggung jawab militer Israel dan bukan berdalih akibat yang tak terelakkan (unintended consequences). Tetapi pelanggaran hukum perang yang nyata.
Dalam tubuh Palestina terdapat perseteruan faksi yang menjauhkan harapan berdirinya negara Palestina yang berdaulat. Kemerdekaan mustahil untuk entitas yang terbelah. Kemerdekaan hanyalah untuk entitas yang satu. Kecuali kalau Tepi Barat ingin merdeka sendiri dengan Fatah sebagai partai penguasa dan Mahmud Abbas sebagai presiden dan Gaza merdeka sendiri dengan Hamas sebagai penguasa dan Ismail Haniyyeh sebagai presiden.
Perang yang terjadi saat ini yang membuat banyak demonstrasi tidak hanya di Asia tapi juga di Eropa, oleh Abbas presiden Palestina dianggap bukanlah representasi Palestina tapi Hamas sepihak. Ini diamini oleh dunia Internasional yang menyebutnya perang Israel-Hamas bukan Israel-Palestina. Yang menjadi medan pertempuran adalah Gaza basis pendukung Hamas dan bukan Tepi Barat basis Fatah. Bagi Fatah perang ini adalah akibat aksi militer Hamas yang tidak bertanggung jawab. Serangan Hamas yang tidak memperdulikan akibat yang akan mengorbankan nyawa warga sipil.
Di sisi lain, bagi Hamas, pemerintah Palestina yang berjuang lewat jalur diplomasi dianggap membenarkan penguasaan Israel atas tanah Palestina. Atau kalau dalam bahasa UUD ’45 melegalkan penjajahan di muka bumi. Untuk itu Israel harus hengkang atau dipaksa hengkang dari tanah Palestina lewat perang.
Penolakan terhadap keberadaan Israel di wilayah Palestina inilah yang menjadikan jalur diplomasi ditolak oleh Hamas. Sementara bagi pemerintah Palestina dari partai Fatah berpandangan bahwa jalur diplomasi yang telah ditempuh semenjak 1970, 1993 dan 2003 adalah kelanjutan dari jalur angkat senjata yang telah lama dilakukan oleh bangsa Arab. Tentara Mesir dan sekutu Arab pada perang 1948 saat negara Israel baru diplokamirkan telah melakukan itu. Mesir dan sekutu Arab adalah lawan sepadan Israel yang didukung penuh sekutu Barat. Perang simetris terjadi: tank lawan tank, pesawat tempur lawan pesawat tempur yang akhirnya mendudukkan Mesir dan koalisi Arab pada posisi kalah. Sedangkan bagi Palestina sendiri, ia kelanjutan dari perjuangan Yasser Arafat yang mendirikan pasukan paramiliter Fatah yang angkat senjata melawan Israel hingga Yasser Arafat dijuluki teroris oleh Israel. Dia memimpin Palestine Liberation Organization (PLO) yang bertujuan mengusir Israel dan menggantinya dengan negara Palestina. Setelah berada dalam pengasingan di Tunisia 1983-1993 Arafat melunak dalam perlawanannya atas Israel dan memilih jalur diplomasi dan menghentikan perang terbuka dengan Israel. Arafat mengakui hak warga Israel untuk tinggal di wilayah yang dulu adalah Palestina dan mendukung solusi 2 negara. Kesediaan berunding memungkinkanArafat kembali tinggal di Gaza dan memimpin otorita Palestina dengan mandiri. Kesuksesan perundingan damai di Oslo Norwegia menjadikan Arafat dan PM Israel Yitzhak Rabin dan Shimon Peres mendapat penghargaan hadiah Nobel.
Reputasi Arafat terus menurun pasca perundingan damai dan sebaliknya reputasi Hamas meningkat. Arafat pun menjadi sosok kontroversial. Bagi sebagian warga Palestina dia andalan simbol perlawanan dan bagi Israel meski dia pada akhirnya mendukung perundingan, cap teroris atasnya sulit dihilangkan. Sementara bagi kelompok Islam garis keras seperti Hamas, Arafat dianggap merugikan Palestina di meja perundingan.
Semenjak kemenangannya di Gaza pada 2007, Hamas beberapa kali menyerang Israel dan dibalas oleh Israel dengan serangan yang tidak sepadan dengan menyasar banyak warga sipil.
Penolakan perundingan menjadikan Hamas tidak diakui di tingkat internasional dan menganggap Fatah yang dipimpin Mahmoud Abbas sebagai representasi Palestina yang sah.
Jalur perang yang ditempuh Hamas menjadikan kemerdekaan Palestina lewat jalur diplomasi semakin jauh. Bagi Hamas perundingan damai hanya akan menguntungkan Israel. Bangsa Yahudi tidak akan berlaku adil terhadap rakyat Palestina. Untuk itu jalan perang adalah satu-satunya yang harus ditempuh. Sementara bagi Israel: “kalau mau perang, ayo”. Kalau sembunyi di pemukiman warga dan perang kota, terima akibatnya nyawa warga Palestina taruhannya (hingga kini 8000 lebih nyawa warga Palestina melayang).
Jalan perang Hamas beresiko tinggi terhadap warga sipil. Seandainya wilayah Palestina seperti Indonesia yang banyak hutan dan dataran tinggi, barangkali strategi gerilya Hamas menguntungkan. Seperti saat gerilya tentara Indonesia mengusir Belanda atau gerilya tentara komunis Vietnam mengusir Amerika di tahun 1960-an. Kaum geeilyawan bersarang di hutan-hutan yang tanpa penduduk dan sesekali melakukan penyergapan terhadap lawan. Seperti halnya KKB Papua sulit ditumpas karena bersembunyi di tempat yang sulit dijangkau TNI. Masalahnya kondisi alam Palestina tidaklah demikian. Yang ada adalah padang pasir dan pemukiman warga. Strategi gerilya tidak berlaku yang ada adalah perang kota yang memangsa warga kota. Kalau jalan perang terus ditempuh, populasi warga Palestina dikhawatirkan akan terus berkurang. Untuk itu Jalan perundingan harus diambil dan diteruskan. Setidaknya untuk menghindari populasi warga Palestina dari ancaman kepunahan.
*Achmad Murtafi Haris adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya