“Yang pasti dan faktual, kepemimpinan GP Ansor zaman now tidak bisa lepas dari genggaman politisi. Ibaratnya keluar dari mulut buaya (Golkar), masuk ke mulut singa (PKB).”

Oleh: Choirul Anam*

TERGERUSNYA tradisi shalih dan melemahnya semangat silaturrahim antara yunior dan senior dalam kepemimpinan NU dan Ansor zaman now, bisa memotong kesinambungan sejarah perjuangan yang perlu diketahui, dan dijadikan cermin, oleh generasi angkatan selanjutnya. Akibat lain, dapat pula mereduksi jati diri organisasi atau jam’iyah, menjadi sosok perkumpulan yang bukan aslinya.

Lalu terbentuknya tradisi baru, yang terlampau mendewakan harta sebagai ukuran keberhasilan, akan membuat arah kebijakan dan sikap organisasi tidak mandiri—untuk tidak menyebut mengikuti petunjuk pemodal. Apalagi ditambah cara pandang terhadap senior dengan kaca mata pembatas: “ kelompok kita, atau justru lawan politik kita”.

Orientasi serba politis itu bisa terjadi, lantaran infiltrasi kaum politisi berhasil masuk inner circle organisasi. Sedangkan misi kaum politisi tergantung kehendak parpol induknya. Dan hampir semua parpol dewasa ini, kata Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) dan juga telah diketahui bersama, berada dalam genggaman oligarki atau taipan naga super kaya. Bahkan, kata Bamsoet menambahkan, ormas tua dan muda pun kecipratan modal oligarki politik.

Akibatnya, tampilan organisasi atau jam’iyah seperti bukan lagi wadah perjuangan bersama. Tetapi lebih ditonjolkan seolah sebagai milik pribadi dan/atau kelompoknya. Sedangkan kelompok lain dianggap sebagai perusuh. Kesan inilah yang, rupanya, terasa kuat melanda kepemimpinan NU dan Ansor zaman ini.

Selebihnya, bisa dilihat, didengar dan diikuti bagaimana respon NU dan Ansor terhadap problematika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang cepat  sekarang ini. Apakah masih seperti NU dan Ansor yang dulu, selalu hadir sebagai solusi. Atau, justru dinanti-nanti umat, tapi tak pernah pula kembali.

Padahal, semua pihak mafhum, bahwa orientasi politik zaman sekarang, selain bukan untuk memperjuangkan amanat penderitaan rakyat, juga menghalalkan segala cara dalam meraih jabatan atau kekuasaan. Dan itu pasti transaksional–menggunakan uang sebagai satu-satunya alat ukur keberhasilan, sehingga perlu didukung modal yang amat besar. Akhirnya, timbullah ungkapan satir: siapa pun kelak bisa memimpin NU dan Ansor, asal pandai mencari dana atau punya banyak duit.

Tradisi baru serba uang ini, tidaklah perlu ditutup-tutupi lagi, karena sudah menjadi pengetahuan umum. Kata orang, ini zaman keterbukaan, era transparansi. Ditutup serapat apapun, pasti akan terbuka juga. Memang, terasa sekali ada semacam nilai lama yang hilang, digantikan nilai baru yang “serba cukong”. Ya…mungkin sudah zamannya. Sehingga banyak terlahir anak zaman di NU dan Ansor masa kini, beraroma kuat dengan infiltrasi cukong politik.

Berbeda jauh dengan zaman dulu. Zaman masih adanya kejujuran, keihlasan dan ketaatan kepada kiai sepuh atau senior pelaku sejarah. Zaman tabu berebut jabatan di lingkungan NU. Ibarat shalat berjama’ah, pantang berebut menjadi imam. Yang terjadi, justru berebut menjadi makmum. Tapi sayang, nilai-nilai luhur itu, kini tergerus oleh supremasi cukong.

Saya bersyukur masih sempat mengikuti detik-detik terakhir zaman tabu itu. Ketika saya diminta Gus Dur untuk bisa memimpin PP GP Ansor dalam Kongres XI di Palembang, 11-15 September 1995, saya hanya jawab singkat: kata para kiai di lingkungan NU tidak boleh meminta-minta jabatan Gus. Tapi juga tidak boleh menolak, jika diberi amanat. Apa kata Gus Dur kala itu? “Prinsip itulah yang harus dijaga keberlangsungannya di lingkungan NU,” tandasnya pendek saja.

Saat kongres berlangsung, ada sekitar 100 suara (dari PW dan PC) yang meminta saya untuk maju sebagai calon Ketum PP GP Ansor. Saya bisa menerima, asalkan permintaan itu didasarkan pada ketulusan demi kebaikan Ansor ke depan. Jumlah pemegang hak pilih (PW dan PC Ansor se-Indonesia), waktu itu, sekitar 250 suara.

Ada tiga kandidat Ketua Umum yang muncul di arena kongres. Saya sendiri, lalu al-maghfurlah Moh. Iqbal Asegaf—mantan Ketua Umum PB PMII, dan Mudjib Rahmat—kader Ansor pusat, yang di-endorce Ketua Umum PP GP Ansor al-maghfurlah Slamet Effendi Yususf.

Sehari menjelang pemilihan, tiba-tiba sahabat Iqbal Assegaf datang ke kamar saya. Tanpa basa-basi, Iqbal meminta saya agar dirinya saja yang maju sebagai Ketua Umum Ansor. “Cak Anam kan sudah lama di Ansor. Lebih baik ikut memperkuat jajaran NU,” katanya sambil meminta saya untuk bisa mengerti.

“Saya suka sikap keterus-terangan ente Bal. Saya jadi teringat kakak kandung ente, M. Rdwan Assegaf,” jawab saya. Dan saya memang akrab dengan kakak kandungnya saat sekolah, dan sering pula berdiskusi bahkan mendampinginya ketika menyelesaikan terjemahan buku “Pengaruh Budaya Barat” terhadap Islam.

Akhir pembicaraan, saya sarankan Iqbal menemui Gus Dur dan memberitahukan bahwa saya prinsip bisa menerima. Tak lama kemudian Iqbal menemui saya lagi. Dia bilang: “Sudah kontak Gus Dur dan direstui”. Baiklah, nanti 10 suara pendukung, saya alihkan kepada ente. Tapi ada syaratnya.

“Apa itu Cak,” tanya Iqbal. Saya minta saudara Saifullah Yusuf—kala itu masih IPNU—masukkan di bagian kepengurusan kesekjenan. “Siaaaap”.

Dan benar, pada saat pemilihan, Moh. Iqbal Assegaf memperoleh 100 suara, dan saya diposisi kedua dengan 90 suara. Sedangkan Mudjib Rahmat mendapat dukungan 30 suara. Maka terpilihlah Moh. Iqbal Assegaf sebagai Ketua Umum PP GP Ansor, dan Safullah Yusuf ikut memperkuat di jajaran sekretaris (Choirul Anam, Konflik Elit PBNU Seputar Muktamar: April 1996).

Pengalaman itu perlu saya ungkap kembali, karena saya ingin sahabat Ansor generasi berikutnya selalu mengingat, bahwa sejak Kongres Palembang itulah, GP Ansor tidak lagi dipimpin kader asli Ansor. Tapi dari PMII. Dan sebetulnya, saya dan Iqbal masih punya tanggungjawab untuk penataan ke depannya, agar Ansor tetap tegak di atas nilai-nilai dasar perjuangannya.

Namun sayang, karena suratan takdir tak  bisa ditolak, beberapa waktu setelah kongres, sahabat Iqbal Assegaf meninggal dunia dalam sebuah kecelakan mobil. Sehingga, komitmen bersama untuk penataan konsep-konsep nilai dasar perjuangan GP Ansor tak terwujudkan,  ambyar.

Tapi saya masih sempat terlibat mengundang Ketua PW Ansor se-Indonesia, bertempat di sebuah hotel, di Surabaya, untuk memudahkan jalan Safullah Yusuf. Entah bagaimana prosesnya waktu itu, akhirnya kepemimpinan GP Ansor beralih kepada Saifullah Yusuf. Padahal posisi Gus Ipul (sapaan akrabnya) waktu itu, berada pada jajaran sekretaris PP GP Ansor paling bawah, paling buncit.

Sehingga, bisa dimaklumi jika kemudian, waktu itu, banyak komentar miring dari beberapa senior mengenai sistem kaderisasi Ansor. “Sudah tamat sistem jenjang kader di Ansor, karena diterobos politisi dengan gaya demokrasi zaman now,”kata beberapa senior menegur saya.

Terlebih lagi, di era kepemimpinan Gus Ipul, PW GP Ansor Jatim memberikan manfaat bagi dirinya menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur dua periode. Tapi sayangnya, satu generasi PW GP Ansor Jatim dipotong habis, karena dianggap tidak loyal alias tidak mendukung dirinya. Sejak itulah, sistem demokrasi yang dianut Ansor tergerus lenyap oleh “kekejaman” politik kekuasaan.

Begitu pula ketika tampuk kepemimpinan beralih dari Gus Ipul kepada Nusron Wahid—politisi muda Golkar, yang hampir semua kawan Ansor bercerita merasakan nikmatnya penerapan sistem suksesi “demokrasi wani pro”. Bahkan si pembawa koper mengaku sempat dag dig dug ketika memasuki pintu detektor Bandara. Wow tajir amat Ansor zaman now bro!

Selanjutnya, suksesi kepemimpinan GP Ansor pasca Nusron Wahid, sudah tidak lagi banyak senior yang tertarik mengikutinya. Apakah masih menggunakan sistem nilai Ansor sendiri atau menggunakan sistem demokrasi transaksional, rupanya sudah masa bodoh. Sampai kemudian terdengar kepemimpinan GP Ansor beralih kepada politisi PKB, Yaqut Cholil Qoumas, sampai sekarang ini.

Apakah Yaqut Qoumas terpilih menggunakan sistem AHWA (ahlul halli wal aqdi), sebagaimana muktamar NU di Alun-Alun Jombang. Ataukah meniru sistem zaman nabi, saya tidak mengkuti. Ketika Rasulullah Muhammad SAW berpulang ke Rahmatullah, kaum Muhajirin dan Ansor sibuk berdiskusi di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah, guna mencari figur pengganti.

Nah, apakah kemudian sahabat Ansor menunjuk Yaqut Cholil Qoumas, sebagai pengganti Nusron Wahid, tanpa  transaksi demokrasi wani piro? Wallahu’alam.

Yang pasti dan faktual, kepemimpinan GP Ansor zaman now tidak bisa lepas dari genggaman politisi. Ibaratnya keluar dari mulut buaya (Golkar), masuk ke mulut singa (PKB). Sehingga, tidak perlu heran jika kebijakan atau sikap organisasi, selalu mengekor apa kata   parpol induknya. Begitu pula yang terjadi di NU, terutama NU Jatim, di musim pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19 ini (bersambung).

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry