“Tapi ingat, bangsa Indonesia sudah sangat faham sistem “democratic centralism”, itu hanya bisa diterapkan di negara yang menganut marxisme, komunisme, lelinisme dan sosialisme.”

Oleh: Choirul Anam*

BANYAK kalangan menilai sifat, arah dan tujuan berbagai regulasi, terutama UU Ciptaker, yang diproduksi pemerintah dan DPR secara terburu-buru di musim pandemi Covid-19 ini, selain cacat prosedur dan substansi karena menabrak UU dan UUD 1945, juga bersifat terburu-buru dan “ugal-ugalan”, serta mengutamakan logika ekonomi saja agar investor mendapat kemudahan dan leluasa menanamkan modalnya.

Akibatnya, Presiden dan DPR seolah dikendalikan para pengusaha dalam membuat RUU Omnibus law Cipta Kerja, yang awalnya terdiri 905 halaman dan 186 Pasal, kemudian berkembang banyak versi draft dengan ketebalan berbeda-beda sampai akhirnya diundangkan dengan 1187 halaman.

Selain itu, baik pemerintah dan DPR, seolah tidak merasa bahwa arah dan tujuan UU Ciptaker, dapat dipahami rakyat sebagai mengubah sistem ketatanegaraan. Pendek kata, pemerintah seolah “ingin mengambil-alih kewenangan legislatif maupun yudikatif menjadi kewenangan mutlak presiden”.

Jauh hari, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), setelah mempelajari RRU Ciptakerja (mungkin draft RUU yang pertama terdiri 905 halaman–red), merekomendasikan kepada Presiden Jokowi dan DPR RI untuk menghentikan pembahasan RUU Ciptakerja guna memberikan penghormatan dan pemenuhan HAM bagi masyarakat.

“Komnas HAM merekomendasikan agar Presiden dan DPR mempertimbangkan untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Ciptaker dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, dalam konferensi pers virtual sebagaimana disiarkan Kompas-com, Kamis (13 Agustus 2020).

Ada 10 kesimpulan dari kajian Komnas HAM terhadap RUU Ciptaker hingga tak layak untuk diteruskan pembahasannya. Satu di antaranya, adalah prosedur perencanaan dan pembentukan RUU Ciptaker tidak sejalan dengan tara cara atau mekanisme yang telah diatur UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat.

Selain itu, terdapat penyimpangan asas hukum lex superior… seperti tertera pada Pasal 170 ayat (1) dan (2) RUU Ciptaker, “Peraturan Pemerintah dapat mengubah peraturan setingkat UU jika muatan materinya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Ciptaker.” Di samping itu, RUU Ciptaker akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif. Sehingga berpotensi terjadi abuse of power.” Begtulah, antara lain, hasil kajian Komnas HAM.

Memang, dari berbagai regulasi, terutama UU Ciptaker, telah terbukti mengarah pada sentralisasi kekuasaan. Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, mengungkap dampak lain dari UU Ciptaker terhadap kewenangan pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan strategis daerahnya, salah satunya terkait reklamasi pesisir, sudah diambil-alih pemerintah pusat.

“Gubernur tidak punya kesempatan untuk terlibat lagi mengurusi reklamasi dalam UU Ciptaker. Keputusan daerah membatalkan reklamasi (seperti reklamasi Teluk Jakarta yang dihentikan Gubernur Anies Baswedan—red) bisa dianulir dan bisa dilanjutkan lagi oleh UU Ciptaker ini,” kata Marwan dalam Sarasehan Kebangsaan yang digelar DNPIM (Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju), 22 Oktober 2020 lalu.

Marwan menambahkan, reklamasi di Bali, Sumatera dan sepanjang pesisir pantai utara Pulau Jawa, sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat. Begitu pula kewenangan pemerintah daerah dalam urusan pertanahan dan Minerba, sudah dilucuti habis. Karenanya, Marwan menilai, motivasi pembuatan UU Ciptaker, “semata-mata untuk kepentingan oligarki kekuasaan dan pengusaha. Dan upaya melanjutkan kembali pembangunan reklamasi Teluk Jakarta hanya untuk mengakomodasi kepentingan Tiongkok,”ujarnya.

Terkait keinginan menerapkan sistem “Democratic Centralism” ini, bisa juga dibaca komentar Nasrudin Joha yang lama viral di medsos, yang hampir sama dengan hasil kajian Komnas HAM. Nasrudin membaca draft RUU Omnibus law (entah draft yang mana, karena banyak versi draft dengan ketebalan berbeda-beda–rad), menyoroti Pasal 170 draft UU Ciptaker yang berbunyi: “Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (1), berdasarkan UU ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam UU ini dan/atau mengubah ketentuan dalam UU yang tidak diubah dalam UU ini”.

Kemudian Pasal 170 ayat (2) menyatakan: “Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Lalu Pasal 170 ayat (3) berbunyi: “Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinn DPR RI.”

Substansi Pasal 170 berikut ayat-ayat terkait dalam UU Ciptaker, kata Nasrudin, jika tidak dikatakan salah ketik, adalah mengambil-alih kekuasaan Legislatif yang berwenang membuat dan/atau mengubah/merevisi UU melalui Prolegnas. Juga mengambil-alih kekuasaan Yudikatif MK (Mahkamah Konstitusi) yang berwenang mengubah tafsir atau membatalkan UU.

Dengan demikian, presiden bisa mengubah atau menafsirkan ulang, bahkan mengesampingkan pasal-pasal yang telah disahkan DPR, melalui PP (Peraturan Pemerintah) atau Perpres (Peraturan Presiden). Sehingga konsep Trias Politika yang diperkenalkan Monstesquieu (1689-1755), mengenai pembagian/pemisahan kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang) dan kekuasaan yudikatif (mengadili pelanggaran undang-undang), tidak diperlukan lagi pada pemerintahan Presiden Jokowi.

Dan pemusatan kekuasaan itu pun, sesungguhnya, sudah terjadi dan sudah pula dijalankan terkait penentuan besaran APBN di musim pandemi Covid-19 ini. Berarti pula, dengan UU Ciptaker, Presiden Jokowi ingin menerapkan sistem “democratic centralism” secara absolut. Yakni, sistem pemerintahan demokrasi yang kekuasaan negara dipusatkan (centralized) pada satu orang (semacam supreme leader) atau satu lembaga.

Tapi ingat, bangsa Indonesia sudah sangat faham sistem “democratic centralism”, itu hanya bisa diterapkan di negara yang menganut marxisme, komunisme, lelinisme dan sosialisme. Seperti misalnya Korea Utara dipusatkan kepada the supreme leader Kim Jung Un, atau seperti di RRC kekuasaan negara terletak di tangan partai komunis CCP (Chinese Communist Party).

Di Korea Utara juga ada pemilu. Tapi the supreme leader Kim Jung Un pasti memperoleh suara 100%. Kok bisa bro! Karena, kalau ada satu suara saja tidak memilih Kim Jung Un, pemilik satu suara itu akan dicari sampai ketemu dan akan pulang tinggal nama. Jangankan tidak memilih Kim dalam pemilu, orang lupa tidak memberi hormat saja, lupa tidak tepuk tangan saat KIM Jung Un berdiri dan lewat, bisa diambil untuk diinterogasi dan, jika perlu, dimasukkan penjara.

Begitu pula di Tiongkok. Apakah di sana ada freedom of speech—kebebasan berbicara (berpidato) di depan umum, kebebasan menyatakan pendapat. Apakah ada freedom of expression—kebebasan berekspresi. Apalagi freedom of assembly—kebebasan berkumpul, berserikat, mengadakan rapat-rapat. Tidak ada, karena semua itu dianggap sebagai ancaman bagi partai komunis Cina.

Nah, jadi “democratic centralism” sengaja diciptakan hanya untuk mengelabuhi publik seolah-olah di negara komunis masih ada demokrasi. Padahal, kenyataannya, tidak ada. Sama dengan istilah system president heavy—kekuasaan dipusatkan di tangan presiden. Yang terjadi justru dictatorship atau authoritarianism—pemerintahan diktator atau otoriter.

Nah, apakah Indonesia akan mengikuti gaya RRC dan Korea Utara, meski tidak terang-terangan?  Wow jauh panggang dari api bro! Indonesia adalah negara demokrasi berbentuk republik yang, kedaulatannya, berada di tangan rakyat. Negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta senantiasa menjunjung tinggi supremasi hukum,

Meski sudah ada tanda-tanda mengarah pada democratic centralism melalui berbagai regulasi, terutama UU Ciptaker. Dan telah pula terjadi latihan kader PDI-P bersama Partai Komunis Cina (PKC) berlangsung di Tiongkok puluhan kali angkatan, serta kerjasama sejumlah perwira polisi calon jenderal dengan polisi RRC. Dan kedua peristiwa bersejarah itu pun tidak mendapatkan sanksi hukum alias abai terhadap penegakan hukum, sebagaimana diatur dalam UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP terkait kejahatan terhadap keamanan negara, Pasal 107 a s/d e.

Kemudian disusul RUU HIP yang diusung PDI-P, yang jelas-jelas akan memeras Pancasila menjadi Trisila lalu Ekasila, sekaligus melenyapkan Sila Ketuhanan YME—sebagaimana diajarkan Marx dan Lenin. Tapi karena protes rakyat, akhirnya diganti RRU BPIP yang ketuanya, Yudian Wahyudi, telah menyatakan: “musuh terbesar Pancasila adalah agama”. Dan pemerintah pun telah pula mengakui tidak bisa mencabut UU HIP, karena usul inisiatif DPR hingga sekarang pun UU makar terhadap Pancasila itu, masih tercantum dalam daftar Prolegnas.

Sebelum itu, anak PKI pun menulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI”. Dan dalam buku itu ada kalimat, seperti pernah disinggung Prof. Yusril, pengakuan: “85% PDI-P isinya adalah kader PKI.” Neo-PKI pun telah berhasil membalik fakta sejarah: PKI adalah korban pelanggaran HAM berat peristiwa 1965. Juga telah pula mendapatkan SKKPH (Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM) dari pemerintah melalui Komnas HAM. Bahkan telah dikabarkan, Presiden Jokowi, tinggal mencari waktu yang tepat untuk meminta maaf kepada PKI. Coba! Kurang bukti apalagi bro?

Maka itu, kini rakyat—terutama umat Islam—Indonesia semakin waspada. Dan satu-satu perkumpulan tokoh bangsa yang secara terang-terangan mengingatkan Presiden Jokowi, agar bertindak serius terhadap gejala, gelagat, dan fakta kebangkitan neokomunisme dan/atau PKI Gaya Baru yang sudah nyata dan tidak perlu lagi ditanya, di mana?, adalah KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia).

Melalui surat terbuka kepada Presiden Jokowi, tanggal 22 September 2020, Presidium KAMI : Jendaral TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, Prof. Din Syamsuddin (mantan Ketum PP Muhammadiyah) dan Prof Rahmat Wahab (mantan Ketua PWNU Jogyakarta dan kini Ketua KKNU’26), mengingatkan Presiden Jokowi bahwa komunis maupun komunis gaya baru tidak pernah bersetuju, dan ingin selalu merongrong Negara Pancasila, baik dengan upaya mengganti Pancasila maupun dengan memperjuangkan penafsiran dan pemerasan Pancasila, sehingga Pancasila kehilangan esensinya.

Karena kebangkitan neo-PKI tidak lagi merupakan mitos atau fiksi, tapi sudah menjadi bukti. Maka KAMI meminta Jokowi dan DPR untuk mencabut UU HIP dari Prolegnas, dan menghentikan atau tidak memroses RUU tentang BPIP. Karena kedua RUU tersebut, merupakan “upaya merendahkan, meremehkan, menyelewengkan dan menyalahgunakan Pancasila.”

Bangsa Indonesia—terutama umat Islam—patut berterima kasih kepada KAMI terutama kepada Jenderal Bintang 4, mantan Pangab TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo (GN). Dengan begitu terbuka dan tidak emosional, GN bersedia dengan setulus hati keluar dari comfort zone bersama tokoh bangsa lain, demi panggilan jiwa prajurit dan tanggungjawab terhadap keutuhan Pancasila, menyampaikan kewaspadaan dini akan bahaya ancaman neokomunisme. “Saya 100% setuju dengan Pak GN,” kata Drs. Arukat Djaswadi, Ketua GERAK, yang sudah puluhan tahun mengendus gerakan Komunis Gaya Baru (KGB).

Tapi bukan berarti tanpa tantangan. Justru tantangan pertama datang dari Ormas Islam NU dan Banomnya, Ansor. Tapi banyak ulama/kiai yang sudah faham bahwa pandangan NU dan Ansor zaman now terhadap bangkitnya neo-PKI, hampir sama dengan Ketum PDI-P “hari-hari gini kok bicara PKI”.

Ketum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, dalam pidatonya di berbagai pertemuan menyatakan:”Komunisme sudah mati, sudah tidak ada negara di dunia ini yang menganut Marxisme, Commnunisme maupun Leninisme. Semuanya sudah bubar,”katanya berapi-api. “Justru yang perlu diwaspadai Islam garis keras atau Radikalisme yang ingin mengganti Pancasila,”tambahnya.

Bukan cuma Yaqut yang tidak percaya bangkitnya neo-komunis. Bendahara Ansor yang bernama Lukman Hakim, justru menuduh Jenderal GN mengada-ada soal perlunya pemutaran film G 30 S/PKI dalam konteks Jasmerah. “Jika sejarah ’65 anda sederhanakan sebatas sama dengan film G 30 S/PKI, sudah tepat Presiden Jokowi mencopot anda secepatnya. Karena film G 30 S/PKI itu manipulatif,” katanya dengan congkaknya.

Bukan hanya Yaqut dan Lukman saja yang menepis bangkitnya kembali KGB. Ketum PBNU hasil muktamar curang Alun-Alun Jombang, Kiai Said Aqil Siraj, juga pernah menyatakan: “RRC bukan negara komunis. Yang komunis itu justru Arab(?).” Loh…bagaimana kiai satu ini bro! Mungkin saja karena sudah terlalu lama menjadi Penasehat Jamus PDI-P. Karena itu, benar kata Gus Najih Maimoen: PBNU dan Ansor zaman now seolah mewakili suara neo-PKI.

Lalu bagaimana dengan tulisan KH. Imam Jazuli, Lc, MA berjudul: ”Menata Nalar Hukum, Mengkritisi Tudingan Gus Najih”, yang intinya minta penegak hukum (polisi) juga menangkap Gus Najih seperti halnya Gus Nur? Bukan hanya Imam Jazuli yang tidak layak diperhatikan, Menlu AS, Mike Pompeo, yang berbicara di forum Ansor, Kamis (29/10/ 2020) lalu, yang mengungkap ancaman besar Partai Komunis Cina terhadap kebebasan beragama di masa depan, sebenarnya juga ditertawakan oleh NU dan Ansor. Karena mereka sudah tidak percaya lagi adanya komunisme.

Soal tulisan Imam Jazuli “menata nalar hukum…” juga tidak layak dikaitkan, apalagi disandingkan. dengan otokritik Gus Najih. Mestinya tulisan Imam itu ditujukan kepada pemerintah atau penegak hukum (polisi), kenapa UU No.27 Tahun 1999, terutama Pasal 107 a s/d e, tidak diterapkan pada tindakan latihan bersama kader PDI-P dengan PKC, dan pengiriman sejumlah perwira polisi calon jenderal bekerjasama dengan polisi komunis Tiongkok?

Juga mengapa tidak diterapkan kepada PSI yang ketuanya, Grace Natali, selalu berkoar akan menghapus semua Perda berbau agama (Islam), karena PSI adalah partai ideologis yang anti agama? Juga kenapa banyak laporan masyarakat terkait penghinaan terhadap Nabi dan agama Islam tidak diproses? Nah, tulisan Imam mestinya ke arah sana, bukan kepada Gus Najih. Kalau tetap ditujukan kepada otokritik Gus Najih, justru Imam Jazuli akan menjadi bahan tertawaan banyak nahdlyin yang faham NU dan Ansor zaman now. (26-habis)

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry