Dari kiri -- Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, Prof. Din Syamsudin dan Prof Rahmat Wahab presidium KAMI. (FT/masakini.co)

“Hanya dalam hitungan jam, semua alat negara berhasil dilumpuhkan. Sumarsono lalu berseru melalui corong radio yang diduduki: “Dari Madiun dimulai kemenangan. Dan berdiri Negara Soviet Madiun.””

Oleh: Choirul Anam*

SURAT terbuka yang dilayangkan Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo bersama Prof, Din Syamsudin dan Prof Rahmat Wahab selaku presidium KAMI, mendapat sambutan luar biasa masyarakat bangsa Indonesia—khususnya umat Islam—yang berakal sehat. Mereka menilai isi surat KAMI itu, merupakan potret orisinil kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang terjadi dalam dekade terakhir ini.

Banyak kalangan meyakini, Presiden Jokowi pasti memenuhi tuntutan KAMI. Karena sebagai presiden, Jokowi terikat sumpah yang diikrarkan saat sebelum memangku jabatannya. Dan tuntutan KAMI, tidak lebih dan tidak kurang menghendaki adanya implementasi sumpah presiden dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Jika tidak juga dipenuhi, Jokowi akan diadili di akhirat kelak,” kata Agus Jembling yang mengaku sudah membaca surat terbuka KAMI.

KAMI mengawali suratnya dengan mengungkap suasana batin bangsa Indonesia—terutama umat Islam yang berjiwa dan berpikir normal—penuh gejolak, keprihatinan dan trauma akan peristiwa-peristiwa makar yang kejam, keji dan biadab, yang dilakukan PKI/Komunis pada bulan September. Baik itu pemberontakan Madiun, 18 September 1948, maupun pembantaian para jenderal pada 30 September 1965.

September merupakan bulan kesedihan dan kepedihan yang harus terus diingat dan dijaga agar tidak terulang kembali. Betapa kejam PKI membantai umat tak berdosa dalam pemberontakan Madiun. Hanya dalam tempo 13 hari (18-30 September 1948), PKI telah mencabut nyawa sekitar 1.920 orang terdiri dari pejabat pemerintah, kiai, santri, tokoh masyarakat dan rakyat tak berdosa lainnya.

Seperti telah diketahui bersama bahwa pemberontakan PKI di Madiun, didahului tersingkirnya pasukan Devisi IV Panembahan Senopati dan pasukan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dari Solo oleh pasukan Devisi Siliwangi. Peristiwa itu menimbulkan rasa cemas kalangan angkatan bersenjata yang berafiliasi pada garis politik PKI/FDR (Frant Demokrasi Rakyat) pimpinan Muso, terutama Brgade 29 yang berbasis utama di Madiun.

Brigade 29 yang dikenal memiliki anggota cukup besar dan didukung persenjataan lengkap ini, menaruh curiga terhadap gerakan Pasukan Siliwangi yang memukul mundur tentara PKI di Solo akan masuk pula ke Madiun. Karena itu, Sumarsono—gembong Pesindo—segera menemui komandan Brigade 29, Kolonel Dahlan dan Kolonel Djokosujono, untuk menentukan sikap. Dan sikap yang diambil adalah: menyerbu secara mendadak dan melucuti semua pasukan yang setia kepada pemerintah.

Pada hari Sabtu, 18 September 1948, sekitar pukul 03.00 dini hari, pasukan Brigade 29 menyerbu Markas Pertahanan Jawa Timur di Madiun, dan meringkus Overste Marhadi beserta seluruh stafnya. Komandan CPM dan semua anak buahnya dbunuh. Hanya seorang staf Markas Pertahanan yang selamat, yaitu Kepala Seksi 3, Letkol Kartidjo. Selain itu, pasukan Brigade 29 juga menyerbu dan menduduki Sub Teritorial Komando Madiun, Depot Batalyon Korp Polisi Militer, dan asrama Polisi Negara Kota Madiun. Komandan/Kepala dari kesatuan-kesatuan itu dilucuti, diringkus lalu dibawa entah kemana.

Hanya dalam hitungan jam, semua alat negara berhasil dilumpuhkan. Sumarsono lalu berseru melalui corong radio yang diduduki: “Dari Madiun dimulai kemenangan. Dan berdiri Negara Soviet Madiun.” Kala itu, dikabarkan, ketua FDR/PKI Muso dan kawan-kawannya, Amir Syarifuddin, Setiadjid dan Wikana, dalam perjalanan darat dari Purwodadi menuju Madiun. Sebagai agitator ulung, Muso sudah berkal-kali mengeluarkn hasutan: “Soekarno-Hatta adalah budak Jepang dan Amerika. Sedangkan Muso selamanya menghamba pada rakyat Indonesia”.

Keesokan harinya, Ahad, 19 September 1948, sekitar pukul 20.00, pidato radio Bung Karno menggetarkan hati rakyat yang cinta dan setia kepada negaranya. Suara Bung Karno yang menggelegar memenuhi udara tanah air, menyodorkan pilihan kepada rakyat Indoneia: ”…ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa kebangkrutan cita-cita Indonesia merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta yang insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memmpin Negara Republk Indonesia kita menuju Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negeri manapun/apapun juga..”

Bung Karno menegaskan: ”Gerakan PKI Muso di Madiun merupakan tindakan tidak sah dan harus segera ditumpas.” Presiden lalu memerintahkan kepada Jenderal Soedirman, Panglima Besar Angkatan Bersenjata RI, untuk memulihkan kembal kondisi setempat.

Setelah menguasasi Madiun, Muso mengumumkan akan segera melakukan tugas-tugas revolusi nasional ke seluruh tanah air. Untuk itu ditetapkan 7 (tujuh) perintah harian, satu di antaranya, adalah: ”Memobilisasi seluruh rakyat, kaum tani, buruh, pemuda, laki maupun perempuan harus diorganisir berdiri di belakang pemerintahan “Republik Soviet Madiun” secara aktif dan efektf. Semua usaha pemerintah harus dari rakyat, dilakukan bersama rakyat dan untuk rakyat.”

Sejak itu, PKI Muso melakukan penyisiran di sekitar wilayah Madiun, seperti Ponorogo, Ngawi, Magetan, Pacitan dll. Rakyat yang tidak mau bergabung dengan PKI, pasti dibunuh atau dikubur hidup-hidup dalam sumur dengan ditimpuki pasir, kapur dan batu. Apalagi Pondok Pesantren dan para kiai serta santrinya, yang terang-terangan menentang PKI Muso, disapu bersih secara keji dan kejam. Saban hari terdengar koar-koar PKI yang menyakitkan: “Pondok bobrok, langgar bubar, kiai-santri mati.”

Ribuan umat Islam dan kiai-santri dibantai PKI Muso. Bermula dari Magetan. Aparat pemerintah yang tdak sepaham dengan PKI, langsung dihabisi. Komandan Depo Militer V Magetan, Kapten Soebirin dtembak mati. Inspektur Polisi (kini Kapolres) Magetan, Ismiadi, dibunuh dengan cara diseret Jeep Wilis sejauh tiga kilo meter. Setelah itu, para pejabat pemerintah dihabisi dengan senapan mesin.

Selanjutnya, Kiai Sulaman Zuhdi mursyid tarekat Naqsabandiyah, pengasuh pesantren tua at-Thohirin, di Des Mojopuro, Magetan, beserta para santri dan 200 orang tokoh lainnya, diundang rapat di kecamatan. Setiba di kantor kecamatan, mereka digiring pasukan Pesindo bersenjata lengkap menuju pabrik gula Gorang-Gareng lalu dimasukkan loji (gedung pabrik). Setelah ditelanjangi, pintu gedung ditutup dan dikunci dari luar. Lalu pasukan Pesindo yang berjaga di luar membuka jendela, dan memberondong mereka hingga banjir darah setinggi mata kaki. Hanya Roqib yang berlindung di bawah jendela yang selamat, lalu menceritakan kejadian itu.

Menurut saksi mata Roqib, masih ada satu gedung lagi tempat penyekapan Kiai Sulaiman Zuhdi beserta sekitar 200 orang. Tetapi rombongan Kiai Sulaiman ternyata dipindah ke gerbong kereta Kertopati diangkut menuju Desa Soco. Di desa itu, ternyata, sudah menunggu dua sumur tua. Dan di sumur tua itulah rombongan Kiai Sulaiman Zuhdi dikubur hidup-hidup dimasukkan ke dalam sumur lalu dihujani bebatuan dan batu kapur.

Selama tujuh hari masyarakat sekitar sumur Soco mendengar suara dzikir “laa ilaaha illallah” bergema berulang-ulang. Rupanya, Kiai Sulaiman Zuhdi, mursyid tarekat yang dikubur hidup-hidup, masih terus berdzikir. Namun masyarakat tidak ada yang tahu dari mana suara dzikir itu berasal. Sampai saat ini di sumur Soco, kecamatan Bogem, Magetan, berdiri tegak monumen dan daftar korban keganasan PKI Muso.

Kejadian serupa juga menimpa Pesantren Sabilil Muttaqn (PSM) Takeran, Magetan. Sebelumnya, PSM malah dibakar habis. Di PSM juga terdapat monumen daftar korban kekejaman PKI Muso. Begitu pula pondok Burikan,  Kiai Kenang, Kiai Malik dan Muljono dibantai di Batokan. Kiai pondok Kebonsari, Madiun, juga dihabisi. Kiai Dimyati di Desa Ngompak, kecamatn Ngrambe, Ngawi, pada Kamis, 23 September 1948, dijemput pasukan PKI dari masjid langsung diikat lalu dseret dengan kuda sejauh 10 kilometer. Meski diseret sejauh itu, Mbah Ngompak—panggilan akrab Kiai Dimyati—belum juga mati. Akhirnya, kata saksi mata Kiai Damani—cucu Kiai Dimyati—Mbah Ngompak disembelh lalu dilempar ke jurang.

Pondok Gontor juga diserbu. Namun sebelumnya, pengasuh Gontor, Kiai Ahmad Sahal dan Kiai Imam Zarkasyi beserta para santri sudah mencium rencana serbuan PKI itu. Sehingga mereka sempat hjrah menyusuri jalan gunung dan hutan sampai kemudian berhenti di Goa Kusumo, wilayah Trenggalek. Guna menyelamatkan para santri.

Ketika pasukan PKI masuk Pondok Gontor langsung berteriak: “Mana kiainya, keluar! Hadapi PKI ini, cepat keluar! Anjing semua…” Karena pondok tertutup, akhirnya didobrak. Rumah-rumah santri terbuat dari bambu dihancurkan. Semua isi pondok dikeluarkan, termasuk kitab suci dan kitab-kitab kuning dan barang-barang milik santri lainnya. Lalu diinjak-injak dan dibakar habis. Setelah itu, pasukan PKI berusaha masuk pendopo lurah Rahmat Soekarto.

Tetapi lurah Rahmat tidak mengizinkan mereka masuk pendopo yang biasa disebut rumah tinggai Trimurti (sebutan untuk tiga kiai pendiri Gontor). Tetapi karena mereka memasksa, lurah Rahmat justru masuk ke kamar. Komandan pasukan PKI yang berkuda putih, lalu turun mengejar lurah Rahmat. Tapi apa yang terjadi? Komandan PKI itu seolah membentur dinding tebal tak terlihat. Dia memerintahkan pasukan untuk mendorong.

Di saat dorong-mendorong dinding pembatas yang tidak kasat mata itulah, datang laskar Hizbullah dan pasukan Siliwangi yang dipimpin Yusuf Hasyim (putra bungsu KH. Hasym Asy’ari) menghajar mereka dengan rentetan tembakan. Pasukan PKI Muso kocar-kacir melarikan diri dikejar laskar Hizbullah dan Sliwangi. Begitulah secercah kekejaman PKI Muso di Madiun, September 1948 (Anab Affi-Thowaf Zuharon: Banjir Darah: Kisah Nyata Aksi PKI terhadap Kiai, Santri, dan Kaum Muslimin: Agustus 2020).

Nah, peristiwa makar PKI yang keji dan kejam itulah yang, oleh presidium KAMI: Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, Prof. Din Syamsudun dan Prof. Rahmat Wahab, dimintakan kepada Presiden Jokowi untuk selalu diperingati, diingat dan diketahui terutama oleh kalangan generasi muda bangsa. Tentu maksudnya, agar peritiwa sejarah kelam PKI itu, tidak terulang kembali. Karena, indikasi bangkitnya kembali kader dan anak keturunan PKI, telah nyata dan kasat mata. Bahkan ada yang terang-terangan mengatakan: “Aku Bangga Jadi Anak PKI” (bersambung).

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry