Keterangan foto detik.com

“Dalam aturan yang baru ini, DPR dan Pemerintah seperti menggelar karpet merah bagi korporasi untuk menguasai lahan lebih luas dan lebih lama. Seperti ditulis TEMPO, penambangan di area sungai diperluas dari 25 hektare menjadi 100 hektar.”

Oleh: Choirul Anam*

PENGHAPUSAN norma pada ketentuan Pasal 165 UU Minerba, terkait sanksi pidana yang bisa menjerat pemerintah jika diduga ada penyalahgunaan kewenangan, tulis Beni Kurnia, berpotensi korupsi dan konflik kepentingan bagi pemerintah, dalam mengeluarkan izin terhadap taipan tambang yang ingin dimudahkan pengurusannya.

Labih dari itu, juga cenderung menihilkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dari kolusi dan nepotisme.

Persoalan ketiga yang lebih kontroversial adalah, soal ancaman lingkungan dan masyarakat terhadap aktivitas tambang. Perubahan UU Minerba yang baru ini, seolah tak lagi peduli terhadap dampak yang akan merenggut nyawa masyarakat. Ini terlihat jelas pada ketentuan Pasal 1 ayat (28a) yang mengatur “Wilayah Hukum Pertambangan” meliputi seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai suatu kesatuan wilayah kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen.

Artinya, aktvitas pertambangan Minerba akan meliputi seluruh ruang hidup masyarakat. Itupun masih diberlakukan ketentuan Pasal 162 dan Pasal 164, yang memberi peluang kriminalisasi terhadap masyarakat yang menentang/melawan aktvitas pertambangan. Wow…berarti rakyat dilarang protes walau ternyata aktivitas pertambangan merusak lingkungan dan membahayakan kelangsungan hidup masyarakat?

Tentu sajalah, karena ketentuan UU Minerba yang baru, tidak mengindahkan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, dan menyimpang dari Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:”Setiap manusia berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Selanjutnya, persoalan yang keempat, masih menurut Beni Kurnia, justru lebih berbahaya lagi. Yakni soal keistimewaan terhadap taipan tambang dalam perizinan dan pelaksanaan aktivitas pertambangan. Di sinilah terlihat, bahwa pengesahan UU Minerba yang baru, seolah merupakan hasil “kongkalikong” antara taipan tambang dan pembentuk undang-undang, agar aturan ini diselesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Dalam aturan yang baru ini, DPR dan Pemerintah seperti menggelar karpet merah bagi korporasi untuk menguasai lahan lebih luas dan lebih lama. Seperti ditulis TEMPO, penambangan di area sungai diperluas dari 25 hektare menjadi 100 hektar. Itu pun perusahaan masih dapat mengajukan area penunjang pertambangan di luar izin konsesinya.

Masa eksplorasi yang sebelumnya dua tahun diperpanjang menjadi delapan tahun. Inilah yang, antara lain, disebut Refly Harun sebagai “pengkhianatan dan skandal terbesar Republik kita”.

Ada contoh menarik terkait pengkhianatan pemerintah dan DPR, terkait “penyerahan” sumber daya kekayaan alam kita kepada asing. Sudah lebih sebulan tulisan Edward Junaidi Antonio dalam bentuk surat terbuka, viral di media sosial. Ditujukan kepada Presiden dan Wapres, para menteri dan (urutan terakhir–no.9) “pencabut nyawa orang miskin”, Archandra. Dan sampai dengan saat ini tidak/belum ada bantahan.

Tulisan Antonio sangat relevan jika dikaitkan dengan UU Minerba yang baru disahkan DPR. Betapa bahaya dan akibat buruknya terhadap kedaulatan negara dan bangsa, jika pengelolaan sumber daya kekayaan alam kita diserahkan kepada pihak/pengusaha asing. Antonio memberi tema tulisannya:”Perampokan Tambang Migas, (Geothermal) dan Emas di Jawa Barat”.

Itu pun hanya di dua wilayah: Indramayu dan Subang. Tahun 2016, Jawa Barat menyumbangkan migas ke manca negara sebesar 17,18%. Jawa Barat menjadi terkenal di dunia lantaran menjadi ajang perebutan pengusaha kelas raksasa. Provinsi kaya minyak dan gas bumi serta emas ini, dihuni sekitar 49 juta jiwa tetapi lebih dari 35 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal setiap hari mereka duduk di atas intan dan berlian. Mengapa?

Karena, tulis Antonio, penduduk Jabar sengaja dibuat bodoh oleh pemerintah supaya tidak protes terhadap kehadiran pengusaha asing yang menguras minyak, gas dan emas di bumi Jabar.

Pemerintah pusat memberi bantuan rutin keuangan untuk memperkuat APBD Indramayu Rp 129 miliar/tahun. Karena Bupati Indramayu dan Gubernur Jawa Barat telah melepaskan kekayaan alamnya kepada pengusaha asing. Tetapi, kekayaan yang dikuras dari bumi Indramayu (sejumlah 24 tambang migas), kemudian dibawa pulang ke negara masing-masing itu, jika diuangkan mencapai ratusan ribu triliun rupiah.

Selain Indramayu, pengeboran minyak dan gas bumi di lapangan Jatisari, Subang, telah berlangsung sejak Desember 2017. Sumur minyak ini berpotensi menghasilkan 300 Barrel/hari. Pemerintah pusat memberi cipratan uang kebijaksanaan kepada Subang Rp 25 miliar/tahun.

Sebelumnya, pada tahun 2013, telah dilakukan pengeboran minyak di Jatisari 9, di tengah persawahan penduduk dengan menggunakan alat pengeboran digital atau Rig cyber yang dkendalikan melalui sistem komputerisasi. Selain itu, ada lagi tambang migas blok Citarum, Jabar, yang pada 2018 telah dilelang pemerintah melalui penawaran langsung.

Jawa Barat, juga memiliki sekitar 7 (tujuh) lokasi kekayaan alam berpotensi panas bumi (Geothermal) 4000 MWE. Tetapi sejak 2013 enam lokasi sudah diminati investor asing dari Jepang, Taiwan, Singapura dan Korea Selatan. Bukan karena orang Jawa Barat (Indonesia) tidak mampu mengelola. Melainkan, tulis Antonio, karena pemerintah lebih jago menjual kekayaan negara kepada asing.

Terakhir, Edward Junaidi Antonio, menuliskan sekitar 14 (empat belas)  tambang emas di Jawa Barat, yang juga oleh pemerintah dilepas kepada asing dengan persetujuan DRP RI.

“Saya sebagai putra asli Indonesia, lahir di Indonesia dan besar di negara Indonesia, sungguh sakit hati ini. Dan betapa pula kecewanya warga Jawa Barat jika mengetahui pengkhianatan pemimpin dan wakil rakyatnya seperti itu,” pungkas Antonio dalam tulisannya.

Terhadap tulisan Edward Junaidi Antonio yang amat panjang (sembilan halaman), saya (penulis) telah melakukan cross-check kepada beberapa ahli. Meski ada yang meragukan akurasi datanya, terutama terkait bagi hasil migas, karena sudah ada PP atau Permennya. Tapi mereka pada umumnya mengakui “ada sebagian yang benar.”

Terlepas dari komentar para ahli, tulisan Antonio yang berupa surat terbuka, hampir sebulan viral di media sosial. Dan sampai saat ini tidak/belum ada bantahan baik dari pemerintah pusat, DPR RI maupun Pemprov Jawa Barat. Dan jika dikaitkan dengan skandal pengesahan UU Mnerba yang baru oleh DPR RI, tulisan Antonio bisa menjadi contoh betapa dahsyat pengkhianatan pemerintah dan DPR terhadap Pembukaan dan Pasal 33 UUD 145—sebagaimana ditegaskan Refly Harun dan banyak tokoh bangsa lainnya.

Nah, jadi, sebelum demo besar dan masif menolak Omnibus law Cipta Kerja meledak, sudah sejak lama terjadi unjuk rasa mahasiswa, pelajar, intelektual, tokoh bangsa dan agama serta hampir semua elemen masyarakat, menolak berbagai peraturan perundangan yang diajukan pemerintah dan langsung disetujui dan disahkan oleh DPR. Tanpa mau mendengar aspirasi dan suara masyarakat (bersambung).

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.