Terpenting lagi, di musim pandemi Covid-19 ini, bangsa Indonesia harus waspada terhadap banyak RUU yang diajukan pemerintah, yang langsung disetujui dan disahkan menjadi UU oleh DPR.”

Oleh: Choirul Anam*

SECARA PRINSIP, baik Drs. Arukat Djaswadi maupun Prof. Aminuddin Kasdi, mengimbau masyarakat bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, yang masih cinta NKRI, Pancasila dan suka terhadap sistem demokrasi, teruslah waspada terhadap bahaya komunis. “Bahaya laten PKI harus selalu kita dengungkan kepada generasi selanjutnya, agar mereka punya sikap vigilant–waspada, tidak mudah terlena, seru Prof. Aminuddin.

Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Surabaya yang, belakangan ini, bersama kawan-kawan meluncurkan satu buku lagi: “PKI Dalang dan Pelaku Kudeta G 30 S/1965”, menegaskan, bahwa Komunisme, Marxisme, Leninisme dan Sosialisme, tidak akan pernah hilang, suatu saat pasti reborn dengan berbagai cara.

Banyak pernyataan menipu generasi muda: komunisme sudah mati, Uni Soviet sudah bubar, tembok Berlin sudah runtuh, komunisme di Eropa Timur sudah tamat. “Itu semua dirty tricks communism—siasat licik komunis– untuk mempengaruhi generasi muda, agar mereka tidak lagi percaya neo-komunis di Indonesia bangkit kembali,”tegas Prof. Amin (sapaan akrabnya).

Selaku Dewan Pakar GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur, Prof. Amin tak henti-hentinya mendengungkan pentingnya kewaspadaan terhadap bahaya bangkitnya kembali neo-komunis. Jangan sampai terlena, terutama umat Islam dan generasi mudanya. Mengapa?

Sebab, “PKI punya riwayat kelam dalam lingkaran histori Indonesia. Peristiwa G 30 S/PKI 1965 itu, merupakan tindak lanjut dari berbagai rencana komunis untuk merebut kekuasaan dengan revolusi berdarah,” terangnya. “Dan situasi kondisi saat ini, baik di bidang politik, hukum, ekonomi maupun sosial budaya dan keamanan, hampir serupa dengan ketika menjelang pemberontakan PKI di Madiun 1948 maupun G 30 S/PKI 1965,”tambah Prof. Amin.

Karena itu, kata Drs. Arukat Djaswadi, kita harus ingat sejarah ketika PKI melakukan “pendomplengan” kekuasaan pada Bung Karno. Itulah fragmen politik licik PKI merebut kekuasaan. “Setelah berhasil, semua lawan politiknya dibantai tanpa ampun,”tandas Arukat yang tiada hari tanpa memelototi bangkitnya kembali KGB.

“Kurang bukti apa lagi, neo-komunis sudah bangkit. Para kader dan tokoh eks-PKI serta anak turunnya sudah terang-terangan menyatakan “bangga jadi anak PKI”, sudak pula eksis di jajaran legislatif, eksekutif, dan lembaga lainnya. Masih tidak percayakah kalian, silakan! Tapi jangan ganggu mereka yang percaya,” kata Arukat yang baru saja (8 Oktober 2020) menerima kenang-kenangan: “Patriotisme Panglima Besar Jenderal Soedirman” dari Ketua Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri, Mayjen (Purn) Sukarno, di Jakarta.

Sejak pasca reformasi, KGB sudah melakukan konsolidasi, dan berusaha keras membalik fakta sejarah. Kini mereka merasa berhasil, “PKI berstatus sebagai korban peristiwa G 30 S 1965. Bukan lagi sebagai pelaku kudeta”, ujarnya bernada tinggi.

Lantas pelakunya siapa bro? Mereka mempersalahkan TNI AD dan umat Islam, terutama NU dan Muhammadiyah. “Kalau NU dan GP Ansor masa kini masih tidak percaya, silakan”, kata Arukat sambil menunjuk bukti, bahwa pemerintah telah mengakui “PKI sebagai korban”.

Melalui SKKPH (Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM) berat 1965, yang dikeluarkan KOMNAS HAM, “eks-PKI telah direhabilitasi. Berstatus sebagai korban, dan telah pula memperoleh kompensasi dari anggaran LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban),”kata Arukat yang telah berkali-kali mendatangi KOMNAS HAM, agar mencabut SKKPH yang bertentangan dengan fakta sejarah itu, tapi belum juga berhasil.

Di sisi lain, Prof. Amin membeberkan keprihatinan masyarakat peduli sejarah terhadap penghapusan mata pelajaran sejarah pemberontakan PKI di Madiun maupun kudeta G 30 S 1965, di semua tingkat sekolah. Sehingga, “generasi muda sekarang buta akan kekejaman dan kebiadaban PKI yang pernah terjadi di Republik ini,”tuturnya.

Penghapusan mata pelajaran itu pun, bukan karena materinya tidak relevan. Tapi lebih karena upaya KGB mengelabui generasi muda kita. Upaya lain, “film G 30 S/PKI pun dilarang ditonton. Dianggap tidak orisinil alas manipulatif, coba!,”kata Prof. Amin sambil menambahkan: bukan tidak mungkin sebentar lagi, Presiden Jokowi juga didorong untuk meminta maaf kepada keluarga korban PKI.

Terpenting lagi, di musim pandemi Covid-19 ini, bangsa Indonesia harus waspada terhadap banyak RUU yang diajukan pemerintah, yang langsung disetujui dan disahkan menjadi UU oleh DPR. Dan dari bebagai macam UU yang disahkan itu, seperti misalnya UU Minerba dan, yang paling top penolakannya: UU Omnibus Law, ternyata mengarah pada centralized—sentralisasi kekuasaan—di tangan pemerintah pusat.

Banyak peran pemerintah daerah diamputasi. Dalam hal pengelolaan dan pemberian izin pertambangan, misalnya, peran Pemda telah dilucuti. Semuanya akan tergantung pemerintah pusat. Lebih gila lagi, dalam proses dan prosedur pengesahan RUU yang menguntungkan oligarti itu, baik pemerintah maupun DPR, tak mau lagi mendengar suara atau aspirasi rakyat. Bahkan ada adegan demokrasi lucu Ketua DPR Puan Maharani mematikan mic, ketika anggota dari Partai Demokrat lagi bicara.

Nah, jadi, dari sisi proses dan prosedurnya saja, UU Omnibus law itu cacat, dan harus ditolak.  Karena itu, “kenapa repot-repot pakai “Bus” dan “Law”. Ambil saja istilah yang pantas disematkan: “Omni” dan “Vora”. Karena pemerintah dan DPR kita sudah berubah bentuk menjadi Omnivora—mahluk hidup pemakan segala,”kata Agus Jembling, tokoh buruh/tukang batu, sambil berguman: ”buruh demo pun dimakan”, minimal dikejar-kejar dan dipukul”.

Ketika buruh dan rakyat menggunakan hak konstitusional yang masih tersisa, dengan melakukan protes dan meggelar demo, justru ditangkapi dan dipukuli serta dikeoroyok dengan brutal oleh polisi. Bahkan terkuak, sengaja disusupkan preman ke dalam kerumunan massa untuk berbuat anarkhis, guna legitimasi dasar penangkapan dan tindakan kekerasan pihak keamanan. Cara penanganan aksi mahasiswa, buruh, pelajar dan rakyat pada umumnya, semakin brutal, kasar, dan melenceng jauh dari tugas pokok kepolisian yang diatur undang-undang.

Gaya penanganan polisi yang arogan, kasar, brutal, dan main gebuk sambil mengerahkan sejumlah preman itu, bukan hanya ketika menghadapi aksi mahasiswa, pelajar dan buruh saja. Tetapi, pertemuan para tokoh bangsa dan purnawirawan jenderal pun, yang jelas-jelas konstitusional—sesuai dengan konstitusi yang berlaku—juga dihantam secara brutal dan dibubarkan. Ada apa dengan polisi kita kok semakin arogan dan brutal bro! Apakah demokrasi Pancasila sudah berganti democrazy policing?

Lihat saja peristwa pembubaran acara KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), di gedung Zabal Nur, Jambangan, Surabaya, Senin (28/9/2020) lalu. Mantan Pangab Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo yang sedang berpidato, tiba-tiba diserbu polisi dari Polrestabes Surabaya dengan dibarengi sejumlah pendemo “bayaran”. Jenderal full bintang empat itu dipaksa turun dari podium, dan dengan arogan polisi membubarkan pertemuan.

Bukan hanya itu. Para purnawirawan jenderal dan Pamen TNI-Polri yang melakukan ziarah tabur bunga di TMP Kalibata, pada Rabu (30/9/2020) lalu, juga mengalami nasib serupa. Acara tabur bunga yang dipimpin Letjen Marinir (purn) Suharto, juga diminta segera bubar. Ada apa dengan keamanan kita dan pemerintahan Jokowi ini bro! Bukankah acara para purnawirawan jenderal itu dijamin konstitusi. Kenapa musti diobrak seperti PKL, dan dimaki dengan kata-kata kotor pula? Malu kita sebagai bangsa beradab!

Apa yang dilakukan para purnawirawan TNI-Polri itu, sesuai konstitusi UUD 1945, Pasal 28 E, ayat (3): ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Dan juga sejalan dengan UU HAM No.39 Tahun 1999, Pasal 24, Ayat (1):”Setiap orang berhak berkumpul, berapt, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.”

Nah, dari perspektif UUD 1945 dan UU HAM, apa yang dilakukan para purnawirawan jenderal TNI itu, sesuai konstitusi alias konstitusional. Justru yang tidak sesuai konstitusi alias tidak konstitusional, adalah tindakan arogan pihak keamanan—terutama kepolisian. Apakah polisi tidak membaca UUD dan UU HAM bro? Atau, minimal, sebelum menjalankan tugas penegakan hukum, dibekali dulu tugas pokok kepolisian, agar tidak main tangkap, main gebuk dan main bubar-buaran, seperti orang tidak tahu aturan( bersambung).

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry