Haidar Bagir, melalui buku ini—Islam Tuhan, Islam Manusia (Mizan, 2017)—menghadirkan renungan jernih untuk memahami kondisi di zaman yang kacau, atau dalam ungkapan Ronggowarsito: Zaman Kalabendhu

Oleh: Munawir Aziz*

Arus kekerasan dalam kehidupan umat beragama semakin memuncak. Gelombang kekerasan ini, juga merasuk ke dalam lingkaran orang-orang muslim, hingga berpikir dangkal, cupet dan mudah mengkafirkan. Lalu apa yang terjadi? Gesekan antarkelompok semakin mengeras, jurang perbedaan semakin lebar.

Ironisnya, perbedaan bukan dimaknai sebagai media berdialog, berbagi gagasan. Namun, untuk saling menuding kesalahan hingga pengkafiran. Bahwa, yang berbeda dengan dirinya, dengan kelompoknya, diangkap salah, dianggap berdosa.

Fenomena ini tampak secara kasat mata pada muslim di Indonesia. Ketika negara-negara Timur Tengah, yang mayoritas penduduknya muslim, sedang mengalami kegelisahan dan dinamika politik, warga muslim di Indonesia juga mengalami tantangan.

Haidar Bagir, melalui buku ini—Islam Tuhan, Islam Manusia (Mizan, 2017)—menghadirkan renungan jernih untuk memahami kondisi di zaman yang kacau, atau dalam ungkapan Ronggowarsito: Zaman Kalabendhu.

Buku ini merupakan rangkaian gagasan-renungan Haidar, selama satu dekade terakhir. Dari lembaran renungan ini, tampak bagaimana kejelian Haidar Bagir menelisik ke jantung permasalahan orang-orang Islam di Indonesia: tentang pemahaman keagamaan sekaligus tafsirnya, upaya menjernihkan konteks dan pencarian atas nilai-nilai moral sebagai tuntunan bersikap.

Tentang Pengkafiran

Haidar Bagir mengkritisi maraknya kampanye pengkafiran, yang disertai egoisme serta kepentingan politik. Menurut Haidar, non-muslim tidak identik dengan kafir. Hal ini, jika melacak akar kata dari kafir, yakni ka-fa-ra yang artinya menutupi. Kekafiran, dapat dimaknai sebagai pengingkaran dan penolakan atas kebenaran yang sesungguhnya memang telah dipahami, diterima dan diyakini oleh seseorang sebagai sebuah kebenaran (hal. 199).

Dengan demikian, orang kafir berarti orang yang, dengan berbagai alasan, menyangkal atau bersikap tidak konsisten dalam mengikuti kebenaran yang diyakini. Maka, non-muslim yang tidak percaya akan kebenaran Islam, karena tidak tahu atau tidak yakin, bukanlah kafir.

Di dalam Alquran, disimpulkan bagaimana kisah tentang orang-orang kafir. Iblis dan Fir’aun, disebut kafir karena adanya penolakan terhadap kebenaran yang diyakini keduanya (aba wastakbara).

Dalam sebuah riwayat Ibnu Hisyam (w. 213 H), disebutkan bahwa Abu Sufyan, Abu Jahal, dan Akhnaf Ibn Syuraiq, ketiganya secara bersamaan—tanpa sepengetahuan masing-masing—menyelinap di sekitar rumah Nabi Muhammad. Ketiganya berupaya menyimak bacaan Alquran yang dilantunkan Nabi Muhammad. Apa yang terjadi? Ketiganya terkesima, terpengaruh oleh getaran dari bacaan Alquran. Mereka terkesima dan tidak menyangkal kebenaran Alquran. Namun, mereka menolak Alquran demi mempertahankan posisi sosial dan politik. Ketiganya disebut kafir, karena telah mengetahui kebenaran namun menyangkal atau menutupinya.

Fenomena pengkafiran (takfir) ini menjadi tantangan besar di tengah arus keagamaan muslim Indonesia. Sekarang, dengan mudahnya orang melabeli kelompok maupun personal tertentu dengan sebutan kafir, hanya karena berbeda dengan diri dan kelompoknya. Kondisi ini menjadikan relasi sosial semakin merenggang dan persatuan kebangsaan menghadapi ancaman.

Islam Agama Cinta

Melalui buku ini, Haidar Bagir mengkampanyekan betapa Islam sebenarnya merupakan agama cinta, agama perdamaian. Menurut Haidar, hanya dengan ihsan yang berbasis cinta, seperti inilah ibadat dapat benar-benar menjadi sumber spiritualitas yang memancurkan berkah melimpah bagi sesama, sementara keulamaan jadi sumber barometer moralitas luhur dan reformasi keulamaan.

Haidar Bagir, pendiri Gerakan Islam Cinta sekaligus Board Member of Global Compassionate Council, mengungkap betapa pentingnya moralitas dan akhlak sebagai barometer untuk mencipta keadaban. “Agama kembali pada perannya sebagai oase spiritualitas dan moralitas di tengah kemanusiaan yang berada dalam ancaman”. Seraya mengutuk kekerasan yang menggunakan topeng agama, Haidar mengajak kita semua, untuk mengembalikan Rukun Islam dan Rukun Iman pada puncaknya, yakni Rukun Ihsan, pilar cinta agama.

“Pada inti spiritualitas itulah terletak unsur cinta yang merupakan raison d’ etre agama. Bahwa, tanpa spiritualitas yang mendalam serta moralitas yanga luhur, agama justru bisa jadi sumber bala bencana, sumber datangnya kiamat kemanusiaan” jelas Haidar (hal. 241). Bagi Haidar, tanpa adanya cinta, agama bisa jadi sumber radikal dan agresif.

Buku ini, menunjukkan kejernihan pemikiran Haidar Bagir, sebagai cendekiawan muslim yang berpengaruh. Ia menunjukkan bahwa Islam bukan agama teror, bukan agama kekerasan. Melainkan, Islam sebagai agama perdamaian, agama cinta. (*)

Munawir Aziz, Dosen Universitas Islam Raden Rahmat (UNIRA) Malang, Wakil Sekretaris LTN PBNU.

Data Buku

Haidar Bagir  | Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau

Mizan, Maret 2017

Halaman: xxxiii + 228 hal.

ISBN: 978-602-441-016-2

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry