“Menyongsong abad baru, tidak ada salahnya jika para peserta Konferwil NU Jawa Timur bercermin dari sejarah NU pada masa awal berdirinya.”

Oleh: Nur Hidayat*

A politician thinks of the next election.
A statesman, of the next generation.
(James Freeman Clarke)

AKHIR pekan ini, tepatnya pada 28-29 Juli 2018, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menggelar Konferensi Wilayah (Konferwil) NU Jawa Timur di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin, Lirboyo, Kediri. Perhelatan lima tahunan bertema “Meneguhkan Kembali NU Sebagai Payung Bangsa” ini menjadi sangat strategis sekaligus krusial, karena dilangsungkan di tengah dua momen penting.

Pertama, forum tertinggi di level provinsi yang akan menentukan rotasi kepemimpinan lima tahunan ini, digelar hanya berselang sebulan setelah hajatan pemilihan gubernur dan wakil gubernur (Pilgub). Sebagaimana diketahui, Khofifah Indar Parawansa-Emil Elistiano Dardak telah ditetapkan sebagai pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih dengan perolehan 53,55%. Sementara itu, pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno berada di posisi kedua dengan perolehan 46,45%.

Diakui atau tidak, (sisa) limbah politik pilgub sedikit banyak masih akan mengalir ke arena konferensi wilayah tersebut. Dibandingkan dengan dua pilgub sebelumnya (2008 dan 2013) yang diiikuti lebih dari dua kontestan, momen pilgub kemarin memang terasa jauh lebih dilematis bagi struktural NU. Kondisi itu mirip anekdot, jika ingin berpoligami, lebih baik beristri tiga atau empat sekalian. Sebab, semuanya akan berlomba memberikan servis terbaik kepada suami. Jika hanya dua, kondisinya akan berubah menjadi sebaliknya.

Sepanjang awal pekan ini, rembesan limbah pilgub itu mulai terasa dengan munculnya dua versi skenario ahlul halli wal aqdi (AHWA) serta paket rais syuriah dan ketua tanfidziyah yang mengiringinya. Bukan tidak mungkin, skenario tersebut juga terkait dengan konstalasi pemilu dan Pilpres 2019. Sebagai basis NU dan salah satu kantong suara politik elektoral, para pemain politik di tingkat nasional tentu tidak akan membiarkan Jawa Timur lepas begitu saja dari cengkeraman mereka.

Kedua, jika dihitung dengan kalender hijriah, forum Konferwil ini berlangsung pada 1439 Hijriah. Artinya, hajatan ini berlangsung saat usia NU memasuki tahun ke-95. Dalam kalender hijriah, NU lahir pada 16 Rajab 1344 Hijriah. Merujuk Pasal 1 ayat (2) Anggaran Dasar NU, tanggal hijriah itu merupakan patokan resmi tanggal lahir NU. Tanggal 31 Januari 1926 yang sering dirujuk kebanyakan orang sebagai hari lahir NU sebenarnya hanya berstatus “bertepatan dengan” kalender hijriah itu.

Dalam bahasa agama, fase seratus tahunan diyakini sebagai momentum untuk melakukan pembaruan alias tajdid. Kanjeng Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbarui untuk umat (urusan) agama mereka,” (HR. Abu Dawud).

Jika ditarik ke dalam konteks NU, konferwil kali ini merupakan momentum yang paling tepat untuk “menghadirkan sang pembaru” tersebut. Sebab, Jawa Timur bukan sekadar basis, tapi juga tanah kelahiran NU.

Artinya, siapapun Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziyah yang bakal dipilih sebagai mandataris konferwil kali ini, keduanya punya tanggung jawab cukup berat untuk menyiapkan landasan bagi peta jalan (road map) NU satu abad berikutnya. Dengan kata lain, para pemegang suara dalam konferwil kali ini harus berhitung dengan sangat-sangat cermat sebelum menyerahkan mandat mereka.

Dalam perspektif itu, pertimbangan jangka pendek seperti akomodasi (atau “advokasi”) terhadap kepentingan-kepentingan politik elektoral seharusnya ditempatkan dalam prioritas kedua, di bawah agenda penyiapan fondasi dan peta jalan menuju abad baru NU tersebut. Dengan kata lain, agenda islah merupakan prioritas pertama yang harus menjadi fokus perhatian para peserta konferwil.

Islah bukan sekadar bermakna rekonsiliasi, tapi juga perbaikan tata kelola organisasi agar semakin kompatibel dengan tantangan zaman. Dalam menyongsong abad baru yang beriringan dengan berlakunya rezim ekonomi pasar bebas dan pergeseran pranata sosial akibat Revolusi Industri 4.0, tata kelola organisasi NU harusnya semakin transparan, responsif, profesional dan proporsional, berwatak kolektif-kolegial, luwes dalam berinteraksi dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), dan memiliki kemandirian.

Untuk melakukan rekonsolidasi keumatan, siapapun yang bakal dipilih untuk menjadi mandataris konferwil harus mampu memfasilitasi tegak dan selarasnya empat pilar pembangunan umat. Yaitu, keilmuan ulama (‘ilm-ul ‘ulama), keadilan pemerintah (‘adâlat-ul umarâ’), kedermawanan orang-orang kaya (sakhâwat-ul aghniyâ’) dan doa fakir miskin (du’â-ul fuqarâ’ wal masâkîn).

Butuh Kombinasi Figur

Inilah yang diisyaratkan oleh Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam Muqaddimah Qânûn Asâsi NU ketika beliau berseru, “Marilah Anda semua dan segenap pengikut Anda dari golongan para fakir miskin, para hartawan, rakyat jelata dan orang-orang kuat, berbondong-bondong masuk jam’iyah yang diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama ini. Masuklah dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu, dan dengan ikatan jiwa raga”.

Menyongsong abad baru, tidak ada salahnya jika para peserta konferwil bercermin dari sejarah NU pada masa awal berdirinya. Saat itu, NU dipimpin oleh kombinasi Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar sekaligus inspirator yang tidak diragukan keilmuannya dan KH. Abdul Wahab Chasbullah sebagai ideolog dan penggerak.

Pada level eksekutif, figur presiden pertama NU adalah Hasan Gipo, saudagar kaya yang sangat hormat dan taat kepada ulama, serta bersedia mencurahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk memperkuat fondasi organisasi. Saat ini NU Jawa Timur tampaknya membutuhkan kombinasi figur komponis di level syuriah dan dirigen di level tanfidziyah. Figur yang sepi ing pamrih, rame ing gawe. Wallahu a’lam.

*Nur Hidayat adalah Wakil Sekretaris PWNU Jatim 2013-2018

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry