E-MONEY: Pengisian ulang kartu uang elektronik atau e-money. (IST)

JAKARTA | duta.co – Bank Indonesia (BI) merilis Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) tentang Gerbang Pembayaran Nasional/Nasional Payment Gateway (GPN). Peraturan bernomor 19/10/PADG/2017 diteken gubernur BI, Rabu (20/9). Di antaranya mengatur skema biaya transaksi pengisian ulang (top up) uang elektronik atau e-money.

Melalui peraturan ini, BI menetapkan biaya top up on us untuk nilai sampai dengan Rp 200.000 tidak dikenai biaya alias gratis. Sementara nilai top up di atas Rp 200.000 dapat dikenai biaya maksimal Rp 750. Sedangkan top up off us dapat dikenai biaya maksimal sebesar Rp 1.500.

“Bank Indonesia menetapkan kebijakan skema harga berdasarkan mekanisme ceiling price (batas atas). Dalam rangka memastikan perlindungan konsumen dan pemenuhan prinsip-prinsip kompetisi yang sehat, perluasan akseptasi, efisiensi, layanan, dan inovasi.”  Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman dalam keterangan persnya, Kamis (21/9).

Top up on us adalah skema pengisian ulang uang elektronik yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu. Sedangkan top up off us skema pengisian ulang uang elektronik yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu yang berbeda/mitra.

Agusman menegaskan, kebijakan skema harga top up ini mulai berlaku efektif satu bulan setelah PADG GPN diterbitkan, kecuali untuk biaya top up on us yang akan diberlakukan setelah penyempurnaan ketentuan uang elektronik.

Penetapan batas maksimum biaya top up off us uang elektronik Rp 1.500, kata Agusman, dimaksudkan untuk menata struktur harga yang saat ini bervariasi. “Untuk itu, penerbit yang saat ini telah menetapkan tarif di atas batas maksimum tersebut wajib melakukan penyesuaian,” katanya.

Menurut Agusman, dengan rata-rata nilai top up dari 96 persen pengguna uang elektronik di Indonesia yang tidak lebih dari Rp 200.000, kebijakan skema harga top up diharapkan tidak akan memberatkan masyarakat.

“Dengan adanya ketentuan batas atas pengenaan biaya, Bank Indonesia menilai kebijakan skema harga yang diatur akan menurunkan biaya transaksi masyarakat, mendorong peningkatan transaksi dan perluasan akseptasi,” pungkasnya.

 

Aturan Tidak Tepat

Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih menuturkan, sebaiknya pengisian ulang e-money tidak dipungut biaya. Baik saat mengisi di bank maupun pihak ketiga.

“Rp 750 mungkin tidak terlalu mahal tapi kan itu tadi sebetulnya bukan di situ masalahnya. Jasa isi ulang itu sudah menjadi bagian dari kita nasabah bank, jadi mestinya tidak perlu membayar,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Kamis (21/9).

Menurut dia, di tengah ekonomi Indonesia melambat dan konsumsi menurun, konsumen mesti dibebankan pemungutan isi ulang uang elektronik. “Iya (tidak berpihak) artinya di tengah ekonomi kita sedang melambat konsumsi kita juga menurun hal-hal yang membebani ini, jangan lah,” ujarnya.

Selain itu, Lana menilai, sebaiknya tidak perlu ada lagi kartu e-money. Sebab, kartu debit saat ini sudah ada yang bisa digunakan sebagai e-money. “Kalau kita pakai debet kan bisa juga kenapa tidak pakai debet yang kita punya itu. Itu yang dipakai untuk membayar tol, TransJakarta, jadi tidak terlalu banyak kartu,” terang Lana.

Dia menambahkan, bank seharusnya mendukung gerakan nasional nontunai dengan memberikan insentif. Sebab, perbankan sudah banyak mendapat keuntungan.

Dorong Inflasi

Bicara terpisah, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, aturan itu justru mendorong inflasi dan kontradiktif dengan upaya BI mengendalikan inflasi.

“Peraturan baru BI tersebut justru mendorong inflasi khususnya di sektor jasa keuangan. Hal ini kontradiktif dengan upaya BI dalam mengendalikan inflasi. Meskipun top up yang dikenakan biaya di atas Rp200 ribu, yang paling terasa fee off us alias berbeda bank,” kata Bhima, Kamis (21/9).

Menurut dia, masyarakat seakan membayar jasa lebih mahal. Seharusnya, di era uang elektronik, biaya transaksi menjadi lebih murah bukan malah menimbulkan inflasi. “Kemudian dalam aturan ini diatur transparansi penggunaan biaya. Hal ini artinya seluruh bank penerbit wajib mempublikasikan biaya top up itu untuk apa saja,” kata dia.

Selama ini, dia melanjutkan, masyarakat dipusingkan dengan mahalnya investasi infrastruktur e-money. Tapi, tidak pernah terbuka berapa keuntungan bank dan biaya untuk membangun infrastruktur tersebut.

“Kemudian solusi cost sharing idealnya bukan berbagi biaya dengan konsumen. Tapi berbagi biaya antara tiga penyedia jasa. Yaitu bank penerbit e-money, jasa transportasi yang diuntungkan seperti perusahaan layanan tol, TransJakarta, dan commuter line. Juga, merchant yang bekerja sama dengan bank dalam menyelenggarakan top up,” ujar dia. hud, net

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry