
“Ia meninggalkan panggung dengan ironi: seorang teknokrat yang akhirnya dibenci rakyat, tapi tetap dirindukan pasar.”
Catatan Cak AT*
RATUSAN pejabat Kementerian Keuangan berbaris rapi di Gedung Djuanda, Thamrin, kemarin (9/9/2025). Mereka mengantarkan mantan bos mereka, Sri Mulyani Indrawati, menuruni tangga utama dari lantai dua ke lantai satu, diiringi alunan lagu sendu _Bahasa Kalbu_ yang dinyanyikan bersama seperti paduan suara.
Sri Mulyani berdiri di anak tangga tengah, seolah menjadi pusat gravitasi ruangan itu. Ia mengenakan kebaya merah jambu muda dengan rambut disanggul rapi. Sosoknya memantulkan keteguhan sekaligus kepedihan. Beberapa kali ia menyeka air mata, mencoba menahan emosi, sementara para pejabat yang selama ini bekerja bersamanya ikut terisak.
Ia tetap berdiri di tangga itu, tidak beranjak, hingga bait terakhir lagu selesai dan suasana berubah menjadi lautan air mata birokrasi. Lagu Bahasa Kalbu itu bukan sembarang pilihan. Lagu yang dinyanyikan diva pop Indonesia Ruth Sahanaya dan Titi DJ dengan penuh jiwa, seolah menjelma jadi soundtrack perpisahan paling ironis dalam sejarah birokrasi.
Di dalam gedung, air mata para pejabat tampak mengalir bak sungai-sungai kecil, tangan-tangan menepuk pelan, suara koor gemetar menahan haru. Namun di luar gedung, rakyat yang pernah dicekik pajak dan dihantam cukai barangkali justru menggumam: “Kalau air mata bisa jadi potongan PPN, mungkin kami juga mau menangis.”
Di sinilah paradoksnya: Sri Mulyani dilepas dengan isak penuh penghormatan, seakan-akan ia pahlawan yang baru pulang dari medan perang. Padahal bagi sebagian masyarakat, ia justru dianggap jenderal fiskal yang selama bertahun-tahun, terutama akhir-akhir ini, menambah beban hidup rakyat kecil semakin berat.
Ironinya makin kental. Di satu sisi, para teknokrat di gedung pusat “pasar terbesar” – begitu diistilahkan Ibnu Khaldun– merasa kehilangan nakhoda yang menjaga kapal APBN tetap di jalur. Di sisi lain, rakyat yang tenggelam oleh beban utang negara dan pajak harian, justru merasakan ini sebagai liberation day –hari pembebasan.
Sri Mulyani Indrawati akhirnya memang tersungkur bukan karena kalah berdebat soal angka defisit, tapi karena rumahnya hancur diterjang massa. Sungguh ironis. Seorang Menteri Keuangan yang berkali-kali menjaga agar rumah besar bernama “Indonesia” tidak ambruk, justru rumah pribadinya yang lebih dulu jadi korban reruntuhan sejarah.
Kabarnya, dia sudah tiga kali mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden Prabowo Subianto. Tiga kali pula ia ditahan dengan alasan klasik: “Pasar butuh kamu, Bu.” Tapi pasar yang katanya sakral itu, rupanya tidak bisa menahan massa yang sudah jenuh oleh pajak, cukai, dan jargon “APBN sehat, rakyat selamat” yang lama-lama terasa seperti mantra usang.
Pertanyaannya, mengapa hanya Sri Mulyani yang rumahnya digeruduk? Mengapa tidak rumah menteri lain, misalnya Budi Arie? Apakah pajak lebih memancing amarah ketimbang slot judi online dengan kerugian ratusan triliun? Atau jangan-jangan, rakyat kecil bisa maklum kalau kalah di meja judi, tapi tak rela dipalak oleh negara lewat pajak di sana-sini.
Posisi menteri keuangan memang unik. Ia bukan sekadar bendahara negara, melainkan shock absorber segala ambisi politik. Teori klasik menyebut menkeu adalah guardian of the purse – penjaga dompet negara. Namun di Indonesia, peran itu berkembang menjadi “kasir warung serba ada” yang harus melayani semua bos: Presiden, partai politik, bahkan investor global.
Sri Mulyani teknokrat sejati. Konsisten dengan prinsip kehati-hatian, prudent. Tapi kehati-hatian ini, alih-alih melindunginya, justru menyeretnya ke jurang. Bayangkan, ia harus menjelaskan kenapa utang negara menembus Rp 8.300 triliun dengan bunga yang kian mencekik, sementara di sisi lain ia harus mencari dana untuk Makan Bergizi Gratis.
Di era Jokowi, ia menaikkan cukai rokok demi alasan kesehatan, padahal efeknya ribuan buruh rokok di Kediri dan Kudus kehilangan pekerjaan. Ketika rakyat marah, mudah sekali mereka menunjuk biang kerok: “Itu, Menteri Keuangan!” Bukan presiden, bukan DPR, bukan pula oligarki yang sembunyi di balik kontrak besar-besaran.
Dosa terbesar Sri Mulyani bukan soal angka semata, melainkan kesetiaannya terhadap kursi kekuasaan. Ia berulang kali membuktikan dirinya bisa bekerja dengan siapa saja: SBY, Jokowi, hingga Prabowo. Ia teknokrat tanpa tentara politik, tak punya gerbong partai. Satu-satunya bentengnya adalah reputasi internasional: pasar menyukai Sri Mulyani.
Namun, sejarah politik Indonesia mengajarkan: pasar tidak bisa melindungi rumahmu dari amukan massa. Loyalitasnya kepada presiden, pada akhirnya tidak dibalas dengan proteksi. Sri Mulyani menjadi kambing hitam yang paling mudah diserang. Wajahnya dikenal, kebijakan fiskalnya langsung terasa, dan dia terlalu steril untuk kotor-kotoran politik.
Apakah kebijakan Sri Mulyani benar-benar merugikan rakyat kecil? Dari perspektif data, jawabannya: iya, ada dampaknya. Peningkatan pajak dan cukai jelas membuat biaya hidup rakyat kecil makin berat. Transfer ke daerah dipotong, pemerintah lokal terpaksa menaikkan PBB atau memangkas layanan publik.
Namun dalam perspektif teori Weberian, masalahnya lebih mendasar. Ia menjalankan “politik sebagai profesi” tanpa cukup conviction. Ia melayani aturan, tapi tak cukup berani menolak ambisi ugal-ugalan bosnya. Ia menjaga keuangan negara rapi di buku laporan, tapi lupa bahwa politik bukan cuma soal angka, melainkan soal nasib manusia yang terseret kebijakan fiskal.
Pada akhirnya, Sri Mulyani jatuh bukan karena ia bodoh, melainkan karena ia terlalu pintar, terlalu steril, terlalu teknokrat. Ia lupa bahwa dalam politik Indonesia, logika bukan satu-satunya mata uang. Terkadang, yang lebih penting adalah punya barisan pendukung yang siap turun ke jalan – bukan hanya barisan angka di lembar APBN.
Mungkin inilah ironi terakhir: Sri Mulyani berhasil menjaga kredibilitas Indonesia di mata dunia, tapi gagal menjaga kredibilitas dirinya di mata rakyatnya sendiri. Ia seperti kasir warung yang terus menghutangi pelanggan agar warung tetap ramai, padahal tahu uangnya tidak akan kembali. Sampai akhirnya, warung itu dijarah, dan ia ditinggalkan sendirian.
Kini, kursi Menteri Keuangan beralih ke Purbaya Yudhi Sadewa, yang di hari pertama, setelah beberapa jam usai pelantikan, dengan penuh percaya diri tampil berjanji ekonomi Indonesia akan tumbuh 6-7 persen. Janji itu, yang disampaikan dengan nada nyinyir, terdengar seperti iklan mie instan: cepat saji, tapi kualitasnya siapa yang tahu.
Belum apa-apa, Purbaya sudah didemo mahasiswa di DPR. Ini membuat kita pun harus kembali bertanya: setelah Sri Mulyani tumbang, akankah Purbaya menjadi tumbal berikutnya? Ataukah kita semua, rakyat kecil, yang pelan-pelan sedang digiring menjadi “bendahara negara” dengan cara paling sederhana: dipalak lewat pajak dan pungutan resmi yang semakin kreatif?
Terbukti, di negeri ini menjadi pintar saja tak cukup. Menjadi jujur pun tak menjamin keselamatan. Kadang yang lebih penting adalah punya backing, punya pasukan, dan tahu kapan harus pura-pura bodoh. Sri Mulyani tidak punya itu semua. Dan kini, ia meninggalkan panggung dengan ironi: seorang teknokrat yang akhirnya dibenci rakyat, tapi tetap dirindukan pasar.
*Cak AT adalah Ahmadie Thaha. Pengasuh
Ma’had Tadabbur al-Qur’an.