“Perhatiannya terhadap PRT muncul dari kegiatan sehari-hari yang dijalaninya selama bekerja sebagai guru di British Council.”

Oleh Rosdiansyah

SALAH-satu isu penting yang tak kalah peka untuk disimak adalah Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Indonesia. Isu ini kadang terangkat naik saat persoalan PRT di negeri jiran seperti PRT asal Indonesia bekerja di Malaysia, Saudi Arabia atau di Hong Kong, mengalami aksi kekerasan. Perhatian publik tertuju ke negeri jiran. Utamanya, sorotan ditujukan kepada majikan dari PRT yang telah berbuat semena-mena hingga melakukan aksi kekerasan.

Jarang sekali perhatian publik juga ditujukan kepada eksistensi PRT yang bekerja di keluarga-keluarga mampu di kota-kota di Indonesia. Kalaupun perhatian itu ada, lazimnya sorotan timbul tatkala ada kekerasan majikan terhadap PRT. Situasi kian panas jika etnis majikan juga menjadi sorotan publik. Maka, persoalan PRT bisa bergeser menjadi perkara SARA. Perbuatan kasar majikan dianggap publik sebagai menghina sekaligus merendahkan PRT yang dilihat sebagai sosok pribumi butuh kerja.

Dalam berbagai kajian yang telah dilakukan sejumlah lembaga advokasi di masa lalu, sesungguhnya masalah PRT domestik bukan sekadar berkait pada perilaku majikan saja. Melainkan, bisa lebih dari itu. Misal, penetapan gaji PRT yang biasanya dipotong oleh pihak yang menempatkannya di sebuah keluarga. Masalah lainnya, gaji PRT yang rendah sedangkan kerja domestiknya cukup banyak dengan durasi kerja sehari dari pagi sampai malam. Belum lagi urusan ruang pribadi. Kadang PRT tak punya ruang pribadi di sebuah keluarga dimana ia bekerja.

Lalu, juga jaminan kesehatan selama PRT bekerja. Itu acap terabaikan. Meski majikan bisa saja mengklaim bahwa kesehatan PRT juga menjadi tanggung-jawabnya. Namun, banyak fakta justru menunjukkan ketika PRT sakit atau memperlihatkan gejala akan sakit, maka majikan memilih memulangkan PRT. Lalu, majikan tersebut menghubungi perusahaan jasa penyedia tenaga PRT untuk mencari pengganti.

Buku ini adalah hasil observasi mendalam penulisnya, Mary Austin, yang pernah tinggal cukup lama di Jakarta, Indonesia. Sejak kedatangannya pada 1980 sampai 1983, Mary mengajar Bahasa Inggris di Jakarta. Karirnya terus meningkat hingga menjadi seorang pendidik senior, lalu ia meraih gelar doktor dari School of Oriental and African Studies (SOAS) di London pada tahun 2020.

Perhatiannya terhadap PRT muncul dari kegiatan sehari-hari yang dijalaninya selama bekerja sebagai guru di British Council. Perlahan namun pasti, Mary bukan saja mengumpulkan ingatan tentang bagaimana PRT bekerja di rumah. Namun Mary juga berhasil memadukan wawasan teoritis feminisme dengan penggambaran yang menggugah ihwal kehidupan individu dan berbagai peristiwa. Dalam buku ini, Mary menyuguhkan bagaimana aliansi yang terinspirasi feminis melahirkan kelas pekerja rumah tangga di Indonesia.

Persahabatan Mary dengan para aktivis serta pegiat hak-hak PRT di Indonesia kian mempertajam observasinya terhadap realita sehari-hari yang dihadapi PRT di Indonesia. Ada jutaan PRT di rumah-rumah di Indonesia, Mary mencermati seksama dari hasil wawancaranya di sejumlah kota di Indonesia. Ia bahkan mengikuti gerakan advokasi hak-hak PRT dari awal mulanya dalam protes mahasiswa dan aktivisme feminis tahun 1980-an dan 1990-an hingga lobi, protes jalanan, kolaborasi dengan serikat pekerja, dan jaringan LSM pada tahun 2000-an.

Ala kulli hal, buku ini berhasil memotret PRT domestik di Indonesia nyaris secara menyeluruh. Bukan sekadar menampilkan kisah pilu PRT domestik, namun yang terpenting adalah menyajikan potret sejarah advokasi hak PRT dengan kerangka ilmiah yang utuh, solid dan cemerlang. Mungkin masalahnya, apakah buku yang masih berbahasa Inggris ini juga bisa menjadi bacaan favorit PRT? Kelak, waktu yang akan menjawabnya.*

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry