
SURABAYA | duta.co – Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Prof Mahfud MD menghadiri pengukuhan guru besar adiknya, Prof Siti Marwiyah, SH, MH. Pengukuhan itu dilakukan di Gedung F kampus Universitas Dr Soetomo (Unitomo), Sabtu (16/8/2023).
Beberapa guru besar dari Unitomo dan kampus lain juga nampak hadir di pengukuhan Rektor Unitomo itu. Juga hadir Dirjen Pendidikan Tinggi, Prof Nizam.
Prof Mahfud memberikan nasehat untuk adiknya itu. Dikatakannya, memeroleh gelar guru besar itu tidak sulit, asal ada kemauan. Termasuk guru besar dalam bidang hukum.
“Yang terpenting bukan ilmunya. Karena kalau ilmu walau tidak jadi guru besar sudah bisa mengakses. Mahasiswa buka internet sudah bisa akses ilmu,” katanya.
Dikatakan Prof Mahfud, yang sulit saat ini adalah membangun integritas moral terutama kejujuran, keberanian dan ketegasan dalam penegakan hukum.
“Kita ini memiliki banyak sarjana hukum tapi masalah hukum jadi penyakit besar di Indonesia,” ungkapnya
Ditegaskannya, jika penegakan hukum di Indonesia dilakukan dengan baik dan benar, maka 50 persen masalah bangsa ini akan selesai.
“Ekonomi, infrastruktur, dan semuanya akan bagus kalau penegakan hukumnya bagus. Itu yang kini sedang kita benahi,” tandasnya.
Hal utama dalam penegakan hukum itu adalah kepastian hukum bagi dunia usaha, investor dan pebisnis. Saat ini kata Prof Mahfud, Indonesia jatuh dalam penilaian dunia karena gagal melakukan pemberantasan korupsi dan tidak ada kepastian hukum.
Yang kedua adalah perlindungan hukum bagi masyarakat yang di bawah. Sehingga tidak ada kekisruhan di masyarakat.
“Saya tekankan jangan memburu jabatan. Kalau memburu, mengejar pasti akan melakukan cara-cara yang kotor. Terima jabatan sebagai amanah. Karena kalau amanah akan didampingi hingga sukses. Selamat untuk adikku,” tukasnya.
Legislative Review untuk Pulihkan Hak Pilih Rakyat
Sementara itu, dalam orasinya seusai dikukuhkan, Iyat, panggilan akrab Siti Marwiyah menyampaikan pandangan tentang perlunya legislative review, khususnya ketentuan perundangan yang mengatur tentang Presidential Threshold (PT).
Yaitu ambang batas suara yang harus diperoleh partai politik dalam suatu gelaran pemilu untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, sebagaimana diatur dalam pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Menurut Iyat, ketentuan ini mencederai kedaulatan rakyat serta melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Dan karenanya harus dihapus demi pulihnya hak rakyat dalam memilih putra putri terbaik bangsa untuk memimpin negeri ini.
“Karena ini mimbar akademik, maka pandangan yang saya sampaikan ini tentu juga adalah sebuah pandangan akademik, bukan pandangan politik yang praktis dan pragmatis,” ujar Iyat.
Saran ini, tambah Iyat, saya tujukan bagi para anggota DPR hasil pemilu 2024 mendatang. “Lakukan segera legislative review agar bisa digunakan sebagai pedoman untuk penyelenggaraan pemilu 2029 nanti. Hilangkan semua aturan yang bisa menyebabkan hak warga negara tercederai dan demokrasi kita juga jadi makin sehat,” pungkasnya. ril/end