Tampak sejumlah kiai pesantren menggelar halaqah di PP Tebuireng, Jombang. (FT/detik.com)

SURABAYA | duta.co – Banyak orang heran dan bertanya: Apa yang menjadi hujjah ratusan kiai-kiai pesantren sehingga rela ‘pasang badan’ berpayah-payah mendukung kemenangan Khofifah-Emil di Pilgub Jatim 2018? Apalagi di barisan kiai itu ada sosok KH Suyuthi Toha, mantan Rois Syuriah PCNU Banyuwangi yang dikenal keras soal hukum. Ada KH Afifuddin Muhajir, Pengasuh PP Salafiyah Syafi`iyyah Sukorejo, Situbondo sekaligus Naib Mudir Ma`had Aly yang selama ini ‘kurang berkenan’ masuk di dunia politik. Mengapa?

Pertama, Khofifah ini kader NU yang langka, sulit mencari sosok pemimpin seperti dia. Rekam jejaknya sangat jelas dan sangat bagus. Dia sukses menjadikan organisasi Muslimat sebagai Banom NU terbaik. Ketika menjadi Menteri Sosial RI, dia berhasil menjadikan lembaga ini bermanfaat bagi umat. Padahal, semua tahu, selama ini lembaga tersebut tidak memiliki daya gebrak untuk umat,” demikian disampaikan KH Suyuthi Toha saat mengikuti acara buka puasa bersama dengan pengurus Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN), Minggu (10/6/2018) di Graha Astranawa, Surabaya.

Begitu juga wakilnya, Emil Dardak, menurut Kiai Suyuthi, Emil adalah kader NU yang telah teruji dan cakap menyelesaikan masalah. Emil pernah menjadi Ketua PCI NU Jepang, memiliki segudang pengalaman dalam membantu masalah pemerintahan. Prestasinya memimpin Kabupaten Trenggalek, membuat dia sangat layak mendampingi Bu Khofifah. “Karena itu, dalam pandangan kiai-kiai pesantren, adalah keharusan untuk memenangkan Khofifah-Emil demi masa depan rakyat Jawa Timur,” jelas Kiai Suyuthi sambil menukil sejumlah pendapat ulama salaf.

Kedua, jelas Kiai Suyuthi, baik Khofifah maupun Emil, memiliki daya juang yang luar biasa, memiliki komitmen keummatan yang sangat kuat. Ini membuat kiai-kiai pesantren merasa harus ikut membantu semangat keummatannya. “Kalau Bu Khofifah itu mau enak sendiri, beliau pasti mempertahankan kursi Menteri Sosial RI yang dipercayakan Pak Jokowi. Apalagi, semua tahu, dialah menteri yang nilai kinerjanya sangat bagus di mata presiden. Tetapi, kenyataannya, Bu Khofifah yang notabene arek Suroboyo, merasa terpanggil untuk kita, rakyat Jawa Timur. Adalah naïf kalau kemudian kita diam,” tegasnya.

KH Suyuthi Toha (FT/mky)

Begitu juga Emil, dia berani menjadi Bupati Trenggalek dengan meninggalkan gaji yang jauh lebih besar, sebagai seorang direktur di perusahaan BUMN. Belum lagi perusahaan-perusahaan asing bahkan Bank Dunia telah meliriknya. “Tetapi, komitmenya untuk umat, rakyat begitu besar. Orang-orang seperti inilah yang harus kita dukung di tengah negeri ini krisis kepemimpinan. Saatnya kita mendapatkan pemimpin yang amanah, berintegritas.” tambahnya.

Lalu bagaimana dengan KH Afifuddin Muhajir, Pengasuh PP Salafiyah Syafi`iyyah Sukorejo Situbondo yang selama ini dikenal jauh dari gelanggang politik? Mengapa Kiai Afif, penulis buku ‘Fiqh Tata Negara’ ini mau berdesak-desakan di panggung Pilgub?

“Saya mendengar sendiri, banyak yang bertanya dan mempersoalkan keputusan saya dalam Pilgub Jatim,” demikian awal awal penjelasannya yang terekaman dan tersebar melalui media sosial.

Menurut Kiai Afif, dalam padangan Islam, pemimpin itu merupakan kelanjutan dalam dua hal. Pertama adalah kelanjutan dalam menjaga agama. Kedua mengatur kehidupan dunia. Oleh karena itu, pemimpin bukan hanya bertanggungjawab masalah duniawi, tetapi sekaligus tanggungjawab ukhrowi.

KH Afifuddin Muhajir, (FT/YOUTUBE)

“Bahwa pemimpin itu harus mampu menciptakan kemakmuran, kesejahteraan di bidang ekonomi dan keadilan, itu sudah semestinya. Tetapi tidak cukup itu, pemimpin juga harus bisa diamanati Islam dan NU bagi kaum nahdliyin,” terangnya.

“Nah, orang-orang yang mempersoalkan saya terlibat dalam politik paktis,  karena mereka menganggap bahwa politik itu kotor, politik itu najis. Sementara apa yang saya lakukan, bisa dikatakan sebagai sesuatu yang suci,” tambahnya.

Anggapan politik itu najis, sudah lama terjadi. Sehingga orang sekelas Muhammad Abduh, seorang ulama, pemikir, dan pembaharu Mesir mengatakan dan memohon kepada Allah swt agar dijauhkan dari masalah poiltik. “Sudah barang tentu yang dimaksud Muhammad Abduh adalah politik yang machiavelli, menghalalkan segala cara. Karena itu, politik machiavelli ini harus disudahi,” tegasnya.

Jawa Timur, lanjut Kiai Afif, memiliki keistimewaan dibading provinsi lain. Di sini Nahdlatul Ulama lahir, di sini mayoritas nahdliyin berada. “Di sini pula saya menginginkan pemberdayaan NU dimulai. Karena itu dibutuhkan pemimpin yang bisa mengembalikan NU pada kejayaannya, sekurang-kurangnya memiliki tiga peran penting. Pertama NU sebagai benteng aqidah ahlussunnah wal jamaah, kedua NU sebagai pengawal moral, ketiga NU sebagai penyangga NKRI,” jelasnya.

Dari ketiga misi itu, tegasnya, saya melihat sosok Khofifah Indar Parawansa memiliki kapasitas dan potensi untuk mengembalikan NU kepada kejayaannya. Sekarang ini, NU, sebagaimana kita ketahui, sejak Muktamar 33 Jombang nasibnya tidak sebaik lalu. Memang kita tahu, di tubuh NU itu sering terjadi konflik, akan tetapi, konflik itu selalu bisa diatasi, kalau tidak melalui Munas, ya Muktamar. Akan tetapi Mukmatar 33 NU Jombang bukan menyelesaikan konflik, malah menjadi sumber konflik.

“Dari satu sisi kita harus mencari orang yang bisa memberdayakan NU, memberdayakan rakyat Jawa Timur. Maka, di sisi lain, kita harus menjauhi untuk memilih orang yang selama ini tidak menguntungkan NU. Karena tadi, ada tiga tugas penting NU, pertama sebagai benteng aqidah ahlussunnah wal jamaah, kedua NU sebagai pengawal moral, ketiga NU sebagai penyangga NKRI,” jelasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry