SURABAYA | duta.co – Menarik! Membaca tulisan Sujatmiko, eks wartawan Jawa Pos tentang pilihan santri pada Pilpres 2019, sungguh menarik. Sujatmiko menulis secara runtut dialognya dengan para gus, begitu juga alasannya mengapa tidak memilih Jokowi-Ma’ruf. Judul tulisannya juga sederhana: Alasan Sederhana Santri Tak Pilih Jokowi-Ma’ruf.

Disinggung soal kebohongan Jokowi terhadap Mahfud MD, bahkan sampai isi pidato Megawati yang tidak percaya terhadap akhirat. Termasuk kemungkinan Kiai Ma’ruf (andai saja menang) tetapi gagal menjalankan tugas sampai tuntas. Berikut catatannya yang diambil dari sujatmiko.id 26 Desmeber 2018.

Alasan Sederhana Santri Tak Pilih Jokowi-Ma’ruf

SEPEKAN yang  lalu saya bertemu dengan tiga putra pengasuh pondok pesantren di Jatim di salah satu warkop di Taman Bungkul, Surabaya. Pertemuan itu sendiri tak sengaja. Kebetulan sebelumnya pernah sama-sama jadi relawan khofifah waktu di Pilgub 2018.

Kemudian setelah menanyakan kabar masing-masing, akhirnya masuk ke obrolan pilpres 2019. Saya kaget dari obrolan itu, saya pikir setelah jadi relawan Khofifah pada pilgub lalu, mereka otomatis menjadi relawan untuk Jokowi-Ma’ruf.  Ternyata tiga Gus itu (sebutan putra kiai) justru condong ke capres no 2, Prabowo-Sandiaga. ‘’Lho bukankah, Khofifah melalui JKSN mendukung Jokowi-Maruf,’’ tanya saya dengan nada heran.

Salah satu Gus, sebut saja namanya Gus Luqman, putra salah seorang Kiai di Sepanjang mengatakan, kalau Pilgub itu dirinya memang relawan Khofifah untuk memenangkan Jatim 1. Tapi untuk pilpres, sudah beda lagi, karena beberapa alasan. Pertama, kata Gus Luqman, pada waktu memilih cawapres, Jokowi sudah mengecewakan Mahfud MD. ‘’Ya kalau boleh saya bilang, Jokowi sudah berbohong. Meskipun Mahfud mengatakan hanya kaget, tapi saya yakin, beliau itu kecewa berat,’’ ujarnya.

Kedua, lanjut Gus Luqman, penggantinya sebagai calon wakil presiden, ternyata KH Ma’ruf Amin. Beliau itu kan Kiai, usianya juga sudah kepala tujuh, harusnya kan tetap pada maqomnya, sebagai pengayom umat Islam.

‘’Sudah sepantasnya beliau itu sebagai Ketua MUI, representasi umat Islam Indonesia.  Saya menyadari, keberadaan beliau sebagai cawapres itu untuk representasi umat Islam dan representasi warga Nahdliyin. Saya sendiri NU kultural, tapi kalau melihat kiai usia sudah sepuh, ditarik tarik ke panggung politik, saya sedih, gak tego,’’ ujarnya.

Lho, bukankah sebagai seorang santri, harusnya mengikuti apa yang menjadi pilihan kiai, harus samina wa athona. Tanya saya. ‘’Bukankah sebagai santri harus begitu.”

Kali ini yang menjawab Gus Malik,  salah seorang putra kiai  salah satu ponpes di Kabupaten Jember. ‘’Nggak harus pengertian Sami’na wa Atho’na dipahami sesempit itu. Ini kan masalah politik. Meskipun politik itu untuk kebaikan dan keberlangsungan negara berjalan secara demokratis, tapi soal pilihan politik tidak bisa hanya dengan Sami’na Wa Atho’na, banyak pertimbangan, salah satu diantaranya ya itu tadi seperti dijelaskan Gus Luqman,’’ kata Gus Malik.

Lalu Gus Malik, menjelaskan bahwa bolehlah santri pilih capres no 1 dengan alasan kepemimpinan Indonesia lima tahun lagi ada kiainya. ‘’Tapi bagi saya alasannya sederhana tidak memilih nomer satu. Kiai Ma’ruf Amin, terlalu sepuh untuk memikirkan urusan negara yang begitu kompleks. Meskipun hanya wakil presiden. Lagi pula Kok sepertinya tidak ada generasi yang lebih muda untuk jadi wakil presiden di Indonesia. Ini kan seolah-olah Indonesia kekurangan kader pemimpin. Padahal, sebenarnya kalau Pak Mahfud yang dipilih, saya pasti pilih nomer satu,’’ jelasnya.

Selain itu, kata Gus Malik, banyak pengasuh pondok pesantren, terjun ke dunia politik, dengan awal tujuannya juga amar ma’ruf nahi munkar, akhirnya santrinya keleleran. Pondoknya tak terurus dengan baik.

‘’Contohnya abah saya, dia jadi caleg salah satu partai pada tahun 2009, selama masa pencalegan itu, santrinya keleleran. Saya terpaksa gantikan abah, memang tidak masalah. Tapi kan santri lebih sreg kalau yang ngajar ngaji itu abah saya. Untungnya abah saya batal jadi caleg. Beliau juga kapok, ndak mau lagi ditawari orang orang partai. Hak Kiai Ma’ruf untuk jadi cawapres. Lalu hak saya juga kan ndak memilih beliau. Saya hanya merasa, kalau nanti bener jadi  wapres, tiba-tiba di tengah jalan beliau terganggu kesehatannya. Nah, saya yang milih beliau, jadi salah juga. Karena yang dipilih tidak bisa sepenuhnya bekerja dengan baik menjadi wapres. Ya makanya saya tidak memilih beliau,’’ katanya panjang lebar.

Kemudian Gus Farid dari Kediri yang sejak awal pembicaraan terlihat diam saja, akhirnya angkat bicara. Menurut dia, selain alasannya sama dengan dua gus tersebut, dia punya alasan lain. Yakni, faktor PDIP. Wah, pikir saya ini makin menarik. Memangnya kenapa dengan PDIP.

‘’Sampeyan pernah dengar waktu Megawati pidato awal tahun lalu. Megawati mengatakan orang yang percaya pada hari akhir itu disebut peramal masa depan,’’ katanya.

Lalu saya teringat ucapan Megawati pada pidato di acara Ultah PDIP ke 44 pada Januari 2017. Kemudian saya mengatakan. ‘’Lho, bukankah dari partainya sudah meminta maaf atas pidato itu. Dan sudah selesai, kan. Itu kekhilafan. Sebagai manusia kan wajar khilaf itu,’’ kata saya.

‘’Sama, saya juga memaafkan, karena khilaf beliau. Sebagai seorang muslim saya memaafkan. Tapi kita kan tahu, bagaimana sosok seperti itu memandang Islam, apalagi beliau itu pemimpin tokoh panutan. Kan ndak pantas bicara seperti itu. Meskipun beliau sendiri beragama Islam,’’ kata Malik.

Gus Malik lalu melanjutkan, bahwa Jokowi itu orang baik, dia muslim, tapi karena membuat kecewa dan itu disaksikan banyak orang di tanah air, baginya itu bukan tipe pemimpin pilihan. ‘’Saya sendiri sampai saat ini belum menentukan pilihan, apakah mau memilih Prabowo. Karena kan masih bulan April. Tapi saya sudah pastikan bahwa saya tidak memilih Jokowi, karena alasan-alasan tadi,’’ katanya.

Lalu Gus Malik menceritakan kisah ahli hadist Imam Bukhari. Ketika mencari seorang ulama perawi (periwayat) hadits di sebuah kota. Ulama itu memiliki seekor kuda. Suatu ketika ulama tersebut membawa ember sambil mendatangi kudanya. Lalu ulama itu menyuruh kudanya berdiri, sambil menyodorkan ember yang dibawanya. Kuda itu berdiri menuju ulama tersebut. Kemudian, Imam Bukhari bertanya pada ulama itu, apakah ember itu berisi makanan, sehingga kuda itu menuruti perintah. Ulama itu mengatakan tidak ada ada, ulama itu hanya membohongi kudanya, dengan ember kosong.

Akhirnya Imam Bukhari pergi pamit. Beliau tidak mau meriwayatkan hadits dari ulama itu, alasannya ulama tersebut membohongi kudanya.

‘’Nah, sebagai santri saya melihat makna dari cerita itu, dari kisah yang ada pada proses pemilihan cawapres itu. Saya kira santri lainnya, yang tidak memilih Jokowi punya alasan tersendiri,’’ kata Gus Malik.

Kemudian saya mencoba memberikan ulasan terkait Jokowi yang sudah sukses dalam pembangunan insfrastruktur, dan juga terkait penetapan hari santri, justru di masa Jokowi sebagai presiden. Mereka pun memberikan banyak alasan, yang ujung-ujungnya tetap tidak tidak akan memilih Jokowi-Maruf.

Soal hari santri, mereka hanya bilang apakah kalau sudah ada hari santri itu kemudian wajib memilih kembali. Hari santri untuk para santri. Lalu apa pengaruhnya bagi santri. ‘’Ya saya sebagai santri terima kasih, Jokowi sudah menetapkan hari santri. Tapi apakah kalau sudah menetapkan hari santri, harus milih Jokowi, kan tidak begitu. Lagi pula tidak banyak puya efek yang luas bagi para santri kebanyakan,’’ katanya.

Kemudian saya tanya pada Gus Luqman, kenapa kok memilih pasangan Prabowo-Sandiaga, bukankah sepak terjang mereka belum kelihatan. Gus Luqman mengatakan, bahwa sebagai calon pemimpin, Prabowo memiliki sosok pemimpin Indonesia yang dibutuhkan di masa depan.

‘’Gaya bicaranya tegas, ya orang militer harus begitu. Penampilannya tidak mengecewakan untuk jadi Presiden Indonesia. Pokoknya harus ada perubahan lebih baik untuk pilpres 2019, ganti presiden. Kalau pada pesantren , ya beliau kan juga silaturahmi ke pesantren. Selama ini saya lihat begitu,,’’ katanya menutup perbincangan. (*)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry