
“Peter Heisig, berusaha menampilkan sains informasi dari berbagai perspektif.”
Oleh Rosdiansyah
SEABAD silam, informasi yang tersimpan rapi dalam bagian dokumentasi kantor, perpustakaan, gudang atau tempat-tempat tertentu pelan-pelan mulai bergerak. Ia bukan lagi benda mati yang cuma mendekam dalam ruangan.
Seiring dengan upaya pengklasifikasian, penataan sekaligus perapian, pelan-pelan informasi menjadi data penting untuk rujukan. Baik rujukan kebijakan maupun referensi riset, keduanya membutuhkan informasi solid. Para saintis ilmu informasi tentu mengetahui kaitab erat antara informasi dan perkembangan teknologi yang bermanfaat untuk mengelola data dan pengetahuan.
Itulah awal perkembangan riset sains informasi. Hasil riset yang kelak berguna bukan saja untuk kalangan atau komunitas tertentu, melainkan juga berfaedah bagi masyarakat secara luas.
Contohnya, keberadaan perpustakaan umum yang bisa diakses mudah oleh khalayak, pada gilirannya mampu membangkitkan gairah mengetahui informasi masa lalu, mendorong keingintahuan terhadap masa silam. Warga masyarakat yang telah menguasai informasi dengan baik, mampu memilah informasi sekaligus memilih informasi, maka ia tak mudah terjerumus ke dalam kebohongan, hoax atau penipuan.
Kehadiran internet, media sosial lalu Artificial Intelligence (AI) telah menjadikan sains informasi bukan sekadar menyerap atau menyebarkan, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana membangkitkan perspektif kritis dan reflektif terhadap situasi saat ini. Bayangkan saja, banyak konten media sosial yang lebih heboh dari hasil investigasi media massa. Muncul pertanyaan, jika sumber informasi dari media sosial dan media massa itu sama, lalu kenapa konten media sosial dan media massa bisa berbeda? Mereka yang kritis akan segera tahu bagaimana akun-akun dalam media sosial itu mengemas konten yang acap heboh dibanding konten media massa. Sumber sama, konten bisa berbeda.
Editor buku ini, Peter Heisig, berusaha menampilkan sains informasi dari berbagai perspektif. Terdapat 21 artikel penting mengupas sains informasi. Diawali uraian dari Carlos Alberto Avila Araujo, gurubesar sains informasi dari Universitas Minas Gerais, Brazil. Menurutnya, sains informasi mengalami konsolidasi secara keilmuan pada dekade ’60an. Dilegitimasi oleh munculnya beragam asosiasi, kelompo periset, jurnal dan mereka yang mulai khusus mempelajari sains ini.
Meskipun, sebelum menjadi sebuah disiplin tersendiri. Upaya untuk ke arah sana bisa dilacak sampai pada tahun 1895 ketika pertama kali digelar konferensi internasional tentang bibliografi di Brussels. Salah-satu hasil konferensi ini adalah terbentuknya International Institute of Bibliography (IIB).
Sejak itu konsep dokumen dan konsep informasi menjadi bahan kajian. Dokumen dimaknai sebagai artefak manusia yang tersimpan dalam berbagai media. Bisa buku, majalah, koran, film, rekaman fonografi, manuskrip, dan sebagainya.
Sedangkan konsep informasi sendiri tertuju pada sesuatu yang secara dimensional bisa diidentifikasi. Meski, ujar Araujo, informasi juga mencakup pergeseran, perubahan, transfer, perpindahan, bahkan juga melibatkan perubahan kondisi kognitif manusia. Begitu kompleks kajian sains informasi ini, kata Matthew Kelly, CEO dari Library Management Australia. Menurutnya, informasi adalah data dalam sebuah sistem pengetahuan yang dipahami bisa memberi makna kepada hubungan bentuk tertentu yang berpengaruh terhadap komunikasi dan interpretasi manusia.
Ala kulli hal, mendefinisikan informasi memang bisa berujung perdebatan diantara para pakar. Tapi, hasil perdebatan tentang apa itu informasi tentu saja bisa memperkaya khazanah untuk masyarakat. Yang jelas, menguasai informasi dengan benar dan baik, tentu bermanfaat untuk hubungan antar manusia.*