“Nah, ketidaksempurnaan kejahatan itu, membuat mereka yang terlibat kudeta konstitusi ini, ingin menyempurnakan kejahatannya. Mereka merapat ke Mahkamah Konstitusi.”

Oleh : Zulkifli S Ekomei

PERINGATAN 63 tahun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kemarin, dihadiri berbagai organisasi seperti KOMenwa, Front Nasional Pancasila, Pemuda Panca Marga, FKPPI, Pemuda Demokrat Indonesia 1947, ANINDO, GBN, Majelis Permusyawaratan Bumiputra Indonesia.

Tampak pula para tokoh seperti Letjen TNI Mar (Purn) Suharto, Laksda TNI (Purn) Dr Suryo Wiranto SH, MH Brigjen TNI (Purn) Harsanto Adi, Ki Burhan Rosjidi, Edwin Sukowati, Prof Anthony Budiawan.

Pesan pentingnya, jelas. Para tokoh peduli negeri ini, seakan memberi sinyal kuat adanya keinginan sebagian besar anak bangsa, agar UUD 1945 segera diberlakukan lagi dalam sistem berbangsa dan bernegara.

Seperti kita tahu, MPR periode 1999-2004 telah melakukan ‘kudeta’ konstitusi terhadap UUD 1945, dengan melakukan — yang mereka sebut perubahan — sebanyak 4 kali pada periode 1999 – 2002. Kata ‘perubahan’ sengaja mereka pakai untuk berlindung pada pasal 37 UUD 1945. Padahal, menurut pakar hukum Prof Dr Kaelan, MS, UUD 1945 sekarang ini bukan sekedar diubah atau diamandemen, melainkan sudah diganti dengan UU Reformasi 2002.

Masih menurut Prof Kaelan saat menghadiri FGD ‘Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Mengembalikan Kedaulatan Rakyat’ di Kantor DPD RI Provinsi DIY, Kamis (23/6/2022), dengan tegas mengatakan, bahwa, negeri ini sudah kehilangan pijakan. Karena UUD 1945 sudah diganti dengan UU Reformasi 2002. Cita-cita luhur para pejuang dan pendiri negeri ini, sudah dihilangkan.

Hebatnya lagi, acara FGD ‘Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Mengembalikan Kedaulatan Rakyat’ ini, dihadiri langsung oleh Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Pimpinan sebuah lembaga tinggi negara dalam sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.

Saat itu, Prof Kaelan, mengatakan, bahwa, dalam kajian hukum konstitusi dikenal dua prosedur perubahan UUD. Pertama, perubahan yang telah diatur dalam UUD itu sendiri atau yang dikenal dengan istilah “verfassung anderung”. Kedua, perubahan melalui prosedur di luar ketentuan yang sudah diatur dalam UUD tersebut atau yang dikenal dengan istilah “verfassung wandelung”.

Sedangkan dalam hubungan dengan teknik perubahan konstitusi, dikenal dua teknik yang digunakan dalam mengubah konstitusi, yaitu perubahan atau penggantian secara menyeluruh (renew), serta perubahan dengan melakukan penambahan atau dikenal dengan istilah amandemen.

Ada pepatah yang mengatakan, bahwa, tidak ada kejahatan yang sempurna. Sepandai-pandai tupai melompat, toh akhirnya jatuh ke tanah juga. Pepatah ini berlaku pada MPR 1999 – 2004, mereka tidak sempurna dalam melakukan kejahatannya. Akhirnya terbongkar juga.

Misalnya, mereka memakai pasal 37 untuk melindungi kejahatannya (mengganti UUD 1945) sehingga menimbulkan kesan, bahwa, mereka bukan mengganti, tapi mengubah. Tetapi pasal 3 UUD 1945 yang tertulis jelas: “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara”, tidak dipakai sehingga MPR sejatinya TIDAK pernah menetapkan UUD NRI 1945 atau UUD’45 Palsu atau dengan kata lain UUD NRI 1945 sejatinya TIDAK punya landasan hukum untuk diberlakukan.

Dengan demikian, telah terjadi dualisme konstitusi di negara kita sekarang ini, yaitu konstitusi yang didirikan pada tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945 ini ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diperkuat dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan secara “dejure” tidak pernah dicabut. Tetapi pada prakteknya, UUD NRI 2002 atau UUD’45 palsu secara “defacto” diberlakukan tanpa ada produk hukum yang menetapkan. Kejahatan konstitusi ini kian terbuka.

Nah, ketidaksempurnaan kejahatan itu, membuat mereka yang terlibat kudeta konstitusi ini, ingin menyempurnakan kejahatannya. Mereka yang dulu terlibat di dalam Panitia Ad Hoc 1 (PAH 1) MPR periode 1999 – 2004 meski MPR sudah berganti periode, secara otomatis PAH sudah bubar, tapi mereka masih berkumpul dalam suatu organisasi untuk melanjutkan aksi jahatnya. Misalnya dengan baru-baru menghadap ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ini jelas menimbulkan dugaan, bahwa, mereka berupaya mencari bantuan dana (duit) guna membiayai operasinya. Karena gerakan pergantian konstitusi itu, tidak gratis, ada bandar (oligarki) yang berkepentingan.

Akibat dari kejahatan konstitusi yang mereka lakukan, ada ratusan undang-undang turunan yang sangat merugikan rakyat, hingga kemudian rakyat kehilangan kedaulatannya. Ini karena dirampas paksa oleh partai-partai dan oligarki. Kini, rakyat yang telah dirampas kedaulatannya mulai sadar, dan harus segera sadar, lalu bersatu merebut kembali kedaulatannya dari tangan konglomerat busuk dan politisi busuk. Bersatu melawan musuh bersama, jika tidak ingin terjadi kepunahan.

Hal lain yang harus kita (rakyat) sadari adalah skenario global. Kalau sebagai pemilik kedaulatan, kita diam, tidak melawan, maka, menjadi benar bahwa tahun 2034 Indonesia benar-benar tamat, sebagaimana digambarkan dalam novel technothiller karya PW Singer berjudul “Ghost Fleet”. Naudzubillah!

Kenapa Bisa Punah?

Karena bangsa ini sudah lama kehilangan ‘kompas’ dalam perjalanan menjadi negara bangsa. Semenjak UUD 2002 hasil amandemen diberlakukan, bangsa ini makin tak tentu arahnya. Ibarat kapal besar kehilangan haluan, jalannya terombang-ambing, lalu menabrak karang besar dan jadi jarahan para perompak.

Itulah sebabnya, sebagai rakyat biasa, saya cancut taliwondo menggugat UUD 2022, masuk ke ranah hukum (Pengadilan Negeri). Dan, apabila gugatan saya tentang UUD 2002 gagal (kini dalam proses kasasi), maka harus tetap ada yang berjuang di dalam parlemen. Kita tidak boleh berhenti, demi masa depan negeri.

Gugatan untuk pengkudeta isi UUD 45 itu, sah secara hokum. Ini bisa dilakukan semua orang sebagai WNI, karena semua warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum. Gugatan tentunya punya legal standing karena dijamin oleh UUD’45, baik yang asli maupun yang palsu.

Tetapi, sekarang modus lain dalam merampas hak rakyat, juga perlu kita hadapi. Misalnya, hak sebagai warga negara telah dirampas oleh UU yang diskriminatif, khususnya Pasal 222, UU No.7 tahun 2017 yang memberi persyaratan presidential threshold 20% bagi WNI untuk bisa menjadi kandidat presiden. Ini modus oligarki mencengkeram NKRI.

Lihatlah! Pasal 222, UU No.7 tahun 2017 jelas overlapping atau melanggar Pasal 6A, Ayat 2, UUD NRI 1945 yg menyebutkan bahwa pasangan Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, tidak ada embel-embel persyaratan presidential threshold 20%. Presidential threshold tidak ada dalam Konstitusi UUD 1945. Presidential threshold itu hasil kesepakatan politik atau hasil rekayasa petinggi partai politik besar lewat kader-kadernya di DPR. Dan itu berbiaya tinggi, disponsori oligarki.

Presidential Threshold jelas melanggar HAK rakyat dan MENGKUDETA kedaulatan tertinggi rakyat Indonesia yang dijamin Konstitusi UUD 1945. Presidential threshold yang ada pada pasal 222, UU PEMILU No.7, tahun 2017, jelas diskriminatif. Ironisnya, MK sekarang ikut-ikutan menjadi pagar pengaman oligarki.

Meminjam istilah Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, MK bukan lagi sebagai “the guardian of the constitution” penjaga tegaknya demokrasi, tetapi berubah menjadi “the guardian of oligarchy” penjaga tegaknya oligarki. “Ini adalah sebuah tragedi dalam sejarah konstitusi dan perjalanan politik bangsa kita,” demikian Yusril.

Bebaskan Diri Sendiri

Jadi, hari ini, kalau kita berharap pada Mahkamah Konstitusi, hanya menimbulkan kekecewaan. Bangsa ini, sendirian melawan oligarki. Che Guevara bilang; “Sesungguhnya Pembebas Rakyat itu, tidak ada, Rakyatlah yang harus membebaskan dirinya sendiri”.

Senada dengan Che Guevara, sejak 4 abad yang lalu, John Locke di Inggris telah menggaungkan: Rakyat memiliki hak untuk turun, melawan pemimpin yang mengkhianati janjinya. Baik eksekutif maupun legislatif. Pendapat John Locke ini diadopsi oleh hukum internasional sebagai dasar untuk mengakui sahnya people power.

Rakyat harus berjuang kembali memperjuangkan kedaulatan dan melepaskan diri dari belenggu penjajahan gaya baru. Jebakan hutang, infrastruktur gila-gilaan, proyek OBOR telah mencengkeram negeri ini. Kita tinggal menunggu waktu. Bisa saja seperti Srilanka. Jebakan hutang telah menjadikan Srilanka mengurai kehancuran, puncaknya adalah paceklik bahan bakar energi.  Mengapa kita tidak berkaca dari kasus Srilangka? Bukankah Djibouti itu lebih dulu kehilangan kedaulatan, karena jebakan hutang China.

Nah, di bulan Juli, bulan Dekrit ini, sudah waktunya rakyat bangkit melakukan koreksi dan mendesak presiden agar mengeluarkan Dekrit kembali pada konstitusi dasar yang selama kurun 20 tahun ini dipalsukan. Kembalilah ke UUD 45 yang asli. Atau harus menunggu people power, turun ke jalan untuk menyatakan mosi tidak percaya kepada hakim MK dan Pemerintah? Waallahu’alam. Semoga kita tidak terlambat menyadari. Mari Bung Rebut Kembali!

*#RebutKembaliKedaulatanRakyat*

*#KembalikanMPRsbgLembagaTertinggi*

*#TolakUUD45Palsu*

*dr Zulkifli S Ekomei adalah seorang dokter yang aktif dalam advokasi masyarakat dan kebangsaan serta penggugat UUD palsu.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry