Oleh: Husain Latuconsina*
INDONESIA adalah negara tropis yang secara geografis terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dengan iktiofauna khas perairan tawar, serta dua Samudra (Hindia dan Pasifik) dengan iktiofauna lautan yang khas. Fakta ini mendukung tingginya biodiversitas ikan di Indonesia. Indonesia dengan luas 1,905 juta km2 (0,37 % dari luas bumi), ditemukan sebanyak 4.743 spesies ikan, atau sekitar 13,5% dari jumlah spesies ikan yang ada di dunia.
Berdasarkan data yang dirilis Froese & Pauly dalam www.fishbase.org, sampai dengan periode Februari 2020 tercatat sebanyak 4.782 spesies ikan, dari 277 famili dalam 46 ordo, meliputi 1.243 spesies ikan perairan tawar, 3.621 spesies ikan perairan laut, 2.083 spesies ikan berasosiasi dengan terumbu karang, 109 spesies ikan pelagis, dan 316 spesies ikan laut dalam. Sebanyak 260 spesies ikan target utama penangkapan di alam liar, dan 692 spesies ikan komersial.
Tingginya biodiversitas ikan di Indonesia karena sebagian besar habitat khas ikan di muka bumi dapat dijumpai di Indonesia, seperti perairan umum (danau, sungai, rawa, kawasan karst), perairan payau (estuari) dengan habitat spesifiknya seperti hutan mangrove, perairan laut yang meliputi perairan neritik dengan habitat spesifiknya yaitu padang lamun dan terumbu karang, perairan oseanik dengan berbagai migratory species sampai perairan laut dalam yang dihuni ikan-ikan khas dan unik. Semua habitat ini dijumpai spesies ikan-ikan yang khas dan telah beradaptasi serta berevolusi selama ribuan tahun untuk dapat bertahan hidup dan berkembang serta membentuk spesies baru (spesiasi).
Fakta tingginya biodiversitas ikan di Indonesia justru berbanding terbalik dengan fakta minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap ikan dengan segala aspek kehidupannya. Penelitian eksploratif yang sistematis dan masif untuk mengungkap keberadaan spesies baru masih jauh dari harapan, karena minimnya ahli taksonomi ikan dan besarnya dana yang dibutuhkan. Selain itu, riset dan pengembangan ikan asli Indonesia masih belum menjadi skala prioritas dalam pembangunan sektor perikanan di tanah air. Konsekuensinya, masih terbatasnya jumlah spesies ikan asli (native species) yang telah dikuasai ilmu dan teknologi pembenihannya, sehingga produksi ikan Indonesia lebih didominasi dan sangat bergantung pada stok ikan di alam liar.
Berdasarkan data yang dirilis oleh www.fishbase.org sebanyak 232 spesies ikan asli Indonesia mengalami keterancaman di alam liar, ancaman yang umum terjadi di Indonesia meliputi: i) eksploitasi berlebihan, ii) penggunaan alat tangkap destruktif dan tidak selektif, iii) introduksi spesies asing yang berpotensi invasif, iv) pencemaran perairan, dan v) dampak pemanasan global dan perubahan iklim.
Pertama: Eksploitasi berlebihan terhadap spesies ikan konsumsi bernilai komersial penting yang secara ekologi menempati trofik level tertinggi pada rantai makanan. Awalnya akan memengaruhi jumlah dan kualitasnya dengan tertangkapnya ikan-ikan muda, sehingga menghambat pertumbuhan dan rekrutmen ke dalam populasi yang akan dieksploitasi. Jika eksploitasi tanpa terkendali, maka akan berdampak pada perubahan komposisi dan sturktur komunitas ikan, spesies target akan hilang dan digantikan spesies lain dengan trofik level lebih rendah, yang secara ekonomi bernilai komersial rendah. Fenomena ini menunjukkan bawa eksploitasi sumberdaya hayati ikan secara berlebihan di alam liar akan merugikan secara ekologi dan berdampak lanjutan pada kerugian secara ekonomi.
Kedua: maraknya penggunaan alat tangkap merusak yang tidak selektif, yang merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya. Indonesia memiliki beragam jenis ikan dan beragam jenis alat tangkap, konsekuensinya satu jenis alat tangkap dapat menangkap beragam jenis ikan, dan satu jenis ikan dapat ditangkap oleh beragam jenis alat tangkap menejadi suatu keniscayaan. Dampaknya adalah tingginya hasil tangkapan sampingan (bycatch) yang tidak termanfaatakan (discard), yang dalam jumlah besar akan mengganggu keseimbangan rantai makanan di alam liar. Alat tangkap destruktif yang umum digunakan masyarakat nelayan seperti cantrang, pukat harimau (trawl), dan juga penggunaan bom dan bius untuk menangkap ikan-ikan karang beserta alat tangkap merusak lainnya yang bukan saja mengancam sumberdaya ikan, namun juga berpotensi merusak habitat ikan.
Ketiga: Pencemaran perairan ditenggarai menjadi salah satu penyebab penurunan biodiversitas ikan di Indonesia secara tidak langsung, dimana limbah panas seperti air pendingin turbin dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berpotensi menurunkan kelimpahan dan biodiversitas ikan yang tidak tahan terhadap peningkatan suhu perairan, karena secara alamiah ikan adalah hewan berdarah dingin. Pencemaran limbah organik menyebabkan pengayaan hara dan ledakan mikroalga yang dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut dan dapat mematikan ikan secara masal. Limbah industri dan rumah tangga berupa logam berat dan mikro serta nano plastik mengancam kehidupan ikan karena terakumulasi dalam tubuhnya sehingga menganggu metabolisme, fisologi dan meyebabkan kematian. Dalam skala tertentu akan terakumulasi melalui proses biakumulasi dan biomagnifikasi sampai pada manusia yang menempati urutan teratas rantai makanan.
Keempat: Introduksi spesies asing yang berpotensi invasif kini telah menjadi salah satu penyebab utama penurunan biodiversitas ikan di perairan umum (sungai dan danau). Sebanyak 20 spesies asing dari luar Indonesia yang sudah diintorduksi dan berpotensi invasif. Introduksi ikan konsumsi dengan alasan diversifikasi komoditas perikanan unggul dengan tujuan ekonomi, namun mengabaikan tujuan ekologi, sehingga mengancam biodiveritas ikan asli di alam liar, karena spesies asing menjadi pemangsa atau kompetitor bagi ikan lokal dan turut menyebarkan parasit dan penyakit.
Minimnya informasi ilmiah terkait ikan-ikan asli yang endemik, dan kekurangtahuan stakeholder perikanan terhadap keberadaan ikan-ikan introduksi (alien species), menjadi pendorong meningkatnya populasi ikan asing di alam liar yang menginvasi perairan umum karena keberadaannya didukung program berlabel “restoking” seperti ikan nila, mas, lele dumbo dan lainnya, padahal yang dilakukan termasuk kategori “introduksi”. Seharusnya program “restoking” diprioritaskan pada ikan-ikan asli yang endemik dan telah terancam punah keberadaannya pada habitat aslinya di alam liar.
Kelima: Dampak pemanasan global yang tidak terhindarkan telah memicu perubahan iklim dan diperkirakan memengaruhi populasi ikan pada semua tahap kehidupan, termasuk struktur komunitas, dan fungsi ekosistem akibat peningkatan suhu perairan. Pemanasan global dengan berbagai dampak ekologisnya tidak akan terbendung di masa mendatang, sehingga diprediksikan menimbulkan krisis biodiversitas ikan yang sangat menghawatirkan.
Untuk mengantisipasi dan menghindari krisis biodiversitas ikan di Indonesia, maka diperlukan beberapa strategi yang perlu diimplementasikan, yaitu: Pertama; rehabilitasi stok dan habitat ikan yang telah terdegradasi, untuk menghindari penurunan stok ikan di alam liar akibat eksploitasi berlebihan.
Kedua; pengembangan alat tangkap ramah lingkungan dan ramah terhadap sumberdaya ikan, untuk menghindari tertangkapnya ikan yang secara biologi belum layak tangkap dan secara ekonomi bernilai jual rendah. Strategi ini diharapkan memberikan kesempatan bagi ikan untuk pemijahan dan mendukung proses rekrutmen ikan-ikan muda ke dalam populasi yang siap dieksploitasi, sekaligus mengindari kerusakan lingkungan akibat pengoperasian alat tangkap.
Ketiga; pengembangan dan pengeloaan kawasan konservasi perairan secara efektif dengan sistem zonasi, akan mampu meningkatkan produksi anakan ikan, dan mencegah kerusakan habitat serta membantu upaya pemulihan stok ikan di alam liar dari penangkapan yang tidak terkendali, sehingga mendukung bertambahnya jumlah, besaran ukuran, dan biomassa ikan yang dieksploitasi.
Keempat: memperkenalkan ikan-ikan asli Indonesia kepada masyarakat dalam berbagai strategi baik pada pendidikan formal maupun non formal, termasuk mempromosikan unyuk mengonsumsi ikan-ikan lokal agar ada upaya pengusaan teknologi pembenihan dan pengembangan budidaya dalam skala masal. Kelima; pengendalian spesies asing invasif secara fisik, kimia dan biologis untuk dapat mengendalikan populasinya di alam liar. Strategi ini diharapkan dapat mengurangi kompetisi pemanfaatan ruang, makanan dan sumberdaya dengan ikan-ikan lokal.
*Penulis adalah Dosen Departemen Biologi, FMIPA – Universitas Islam Malang dan Anggota Masyarakat Iktiologi Indonesia (MII) dan Masyarakat Biodiversitas Indonesia (MBI)