“Namun sayangnya semangat itu nampaknya terbawa secara mendalam hingga hari ini.”
Oleh: Yusuf Amrozi
TADI malam (4 September 2024) di Hall Auditorium UIN Sunan Ampel Surabaya, saya mendapat surprise bisa bertemu dan bersalaman dengan salah satu pendiri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Bahkan berdasarkan yang disampaikannya, beliau satu-satunya muasis PMII yang masih hidup. Beliau adalah KH. Moensif Nahrowi.
Sebagaimana diketahui PMII didirikan oleh sejumlah pemuda dan mahasiswa yang berlatar Nahdlatul Ulama. Mereka itu adalah M. Chalid Mawardi (Jakarta), M. Said Budairy (Jakarta), Hilman Badrudinsyah (Bandung), Ismail Maky (Yogyakarta), Moensif Nahrowi (Yogyakarta), Nuril Huda (Surakarta), Laily Mansur (Surakarta), Abdul Wahab Jaelani (Semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), M. Calid Narbuko (Malang), serta beberapa nama lain.
Mereka bersidang di salah satu ruangan di Taman Pendidikan Khodijah (Sebuah yayasan pendidikan milik Muslimat NU di Wonokromo, Surabaya) yang kemudian mendeklarasikan organisasi tersebut pada 17 April 1960, sebagai wadah perjuangan mahasiswa Nahdlatul Ulama.
Kiai Munsif ke UIN Sunan Ampel dalam rangka menghadiri undangan dari sahabat sahabat Pengurus Komisariat PMII Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Cabang Surabaya yang sedang dilantik atau dikukuhkan kepengurusan baru. Hadir pada acara ini sesepuh dan alumni PMII IAINSA/UINSA, para dosen dan pimpinan serta tentu saja yang berbahagia para pengurus yang dilantik, serta para kader PMII UINSA.
Kiai Munsif bercerita bahwa diera yang sudah berubah ini, pola pengkaderan PMII juga harusnya mempertimbangkan perubahan zaman. Namun demikian, ada yang tidak boleh berubah yaitu terkait dengan pola hubungan antara PMII dengan Nahdlatul Ulama pada setiap level tingkatan kepengurusan. Makna dari hal itu adalah bahwa PMII tidak boleh Indipenden dengan NU.
Kiai yang sekarang tinggal di Singosari Malang ini menjelaskan bahwa pada tahun 1991 ada Kongres PMII di Murnajati Malang yang memutuskan bahwa PMII Independen dengan NU. Karena saat itu situasi politik nasional di era kepemimpinan Presiden Soeharto memprioritaskan aspek stabilitas. Salah satu dampaknya adalah pihak-pihak yang dirasa mengganggu stabilitas perlu diupayakan langkah langkah untuk menjaga stabilitas demi pembangunan nasional. Maka kemudian belakangan jika ada pihak yang kritis maka dianggab opisisi.
Beliau menyampaikan bahwa sebenarnya langkah yang dipilih untuk bersikap independen itu hanyalah siyasah atau strategi taktis saja. Artinya manakala ada hal-hal lain yang diluar kendali, atau jika sampai pada NU dibubarkan oleh pemerintah, maka secara legal organisatoris PMII tidak ikut bubar.
Namun sayangnya semangat itu nampaknya terbawa secara mendalam hingga hari ini, sehingga nampak PMII secara organisasi terasa benar-benar independen dan tidak boleh terkooptasi oleh Nahdlatu Ulama.
Walau sudah berumur 80an, beliau masih jelas suara dengan intonasi orasi yang tegas dan runtut. Masih jelas memori atau kenangan akan sejarah masa lalunya bersama PMII. Dengan memakai jas almamater PMII beliau menyampaikan cerita masa lalu serta asa yang diharapkan terhadap kepemimpinan PMII saat ini.
Beliau masih sering diundang oleh jajaran struktur kepengurusan PMII. Tidak hanya diundang Pengurus Cabang, atau Pengurus Koordinator Cabang PMII. Diundang Pengurus Rayon pun andai waktunya bisa, beliau siap hadir. “Bahkan jas almamater yang saya pakai ini adalah pemberian salah satu Rayon di PMII Unej Jember”, paparnya dengan mantab.
Memang sehari hari beliau sudah mengenakan tongkat untuk membantu berjalan. Suatu kewajaran diusia beliau yang sudah hampir kepala 9.
Beliau berharap dapat bertemu dengan Ketua Umum PB PMII yang baru terpilih untuk bisa mengemukakan gagasan dan masukan pemikiran, utamanya untuk mengembalikan hubungan PMII dengan NU. Sebagai informasi saja bahwa Muktamar NU tahun 2015 di Jombang telah memutuskan dan menegaskan bahwa PMII adalah badan otonom NU. Untuk selanjutnya memberikan kesempatan kepada PMII melalui Kongres untuk memutuskan status Banom ini secara legal formal. Tetapi nampaknya dari Kongres PMII pasca tahun 2015 itu, hal itu masih belum ada keputusan formal untuk mau menerima tawaran ‘kembali’ secara formal ke orang tua (NU).
Kegiatan malam resepsi pelantikan PK PMII UINSA ini berlangsung meriah dengan diselingi dengan kegiatan atraksi seni hingga musikalisasi puisi. Sesepuh yang hadir adalah Prof. Dr. HM. Ridlwan Nasir, MA, serta Prof. Dr. KH. Ali Mashan Moesa, M.Si. Sedangkan dosen alumni PMII dan pimpinan UINSA yang hadir diantaranya Wakil Rektor III Prof. Dr, Abdul Muhid, M.SI, Dr. M Syaeful Bahar, Dr. Ali Mustofa, Dr. Koirul Umami, Dr. Yusuf Amrozi, dan Dr. Ilyas Rolis.(*)