Oleh: Dr Rosichin Mansur, SFil, MPd*
KEPALA BPIP, Profesor Yudian rupanya ingin membuat ruang baru melalui pernyataan ‘Agama Musuh Pancasila’. Reaksi pun muncul merebak atas aksi sang profesor. Tak terkecuali para politikus ikut mencecar lantang seakan-akan ‘mengadili’ profesor; ada yang mengatakan pernyataan ‘Agama Musuh Pancasila’ menimbulkan gaduh di tengah publik. Ada pula yang mengatakan pernyataan sang profesor itu salah kaprah. Selain itu ada yang menuding Kepala BPIP itu sengaja mempertentangkan agama dengan Pancasila. Lebih dari itu ada yang mengatakan Kepala BPIP tidak saja telah menghina satu agama, tapi dia telah menghina eksistensi semua agama yang sah di Indonesia.
Berbeda dengan tanggapan pembisnis di pasar tradisional atas aksi profesor. Para pembisnis yang cenderung pragmatisme lebih fokus bergelut pada dunianya yang memberikan kontribusi langsung dan guna positif pada kehidupan praktis rumah tangganya. Mereka memberikan penawaran dan pelayanan dengan ramah, manis dan santun sebagai magnit yang mampu menarik calon pembeli barang bisnisnya dan kepincut membelinya. Pernyataan ‘Agama Musuh Pancasila’ bukan sesuatu yang menarik untuk didialogan, Pancasila sebagai ideologi bangsa dan agama sebagai sistem credo/kepercayaan bukan sesuatu komoditi yang bisa dijual-belikan, dibisniskan.
Lepas dari hal di tersebut, tidak dapat dipungkiri Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan falsafah bangsa kelahirannya dibidani oleh para tokoh bangsa yang agamawan. Sehingga suatu keniscayaan nilai-nilai agama terproyeksikan di dalamnya. Tampak begitu dekat melekat agama dengan Pancasila. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai realita agama bukan musuh Pancasila, bukan sebagai oposisi biner. Tuhan sebagai substansi dalam sila pertama Pancasila menandakan adanya eksistensi agama, karena agama merupakan suatu sistem keyakinan atau kepercayaan terhadap Tuhan (Yang Mutlak), Tuhan yang transenden dan imanen. Bukan Tuhan yang telah mati sebagaimana dislogankan filosof Nietzsche.
Pernyataan sang profesor tidak sepenuhnya salah, melihat realita yang ada dalam kehidupan masyarakat, ada orang atau kelompok orang tertentu yang berpikiran sempit yang mengusung ideologi agama dan belum menerima penuh Pancasila sebagai dasar negara. Kelompok ini pun mencoba ‘membentur-benturkan’ agama dengan Pancasila, dan tak lelah mengibarkan benderanya mencoba untuk menggerogoti eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dan falsafat bangsa. Lebih-lebih andaikata sang profesor merujuk rekomendasi relativisme yang berpandangan tidak ada kebenaran umum (absolut), kebenaran itu sementara, kebenaran ada di tangan individu (subyek); Sehingga bukan suatu kesalahan tesis sang profesor. Demikian pun para penanggap, melihat realita kehidupan masyarakat yang sebagian besar masyarakat baik kelompok orang, organisasi sosial dan organisasi politik tetap memegangi Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa. Sehingga penanggap pun tidak salah mengatakan sang profesor salah kaprah, bikin gaduh. Kedua belah pihak pada hakikatnya berada dalam lingkaran kebenaran. Perbedaan sebuah produk proposisi kedua belah pihak dikarenakan perbedaan pada sudut pandang, kedudukan, situasi kondisi dan lingkungan yang mengelilinginya.
Perbedaan dalam kehidupan masyarakat (plural) merupakan suatu keniscayaan, sunatullah. Masyarakat negeri ini pun tidak bisa mengelaknya, harus bisa menerima, menghormati dan menghargai atas perbedaan yang ada. Perbedaan sebagai sebuah kekayaan, bukan sebagai embrio perselisihan, permusuhan, dan bukan pemicu terjadinya konflik. Demikian pun perbedaan harus dipahami dengan benar, semisal perbedaan proposisi A dengan proposisi E harus dimengerti dengan benar, bila tidak memahaminya dengan benar maka akan menjadi korban penipuan dan pembodohan. Di balik perbedaan atau yang partikular, pada hakikatnya ada kesamaan atau yang universal. Oleh karena itu tidak perlu terbelenggu dalam kebingungan lantaran beranekaragam perbedaan yang muncul. Tetapi bila terpaksa jatuh dalam lubang kebingungan karena dihantui ketikpastian, maka perlu membuka lembaran sejarah, dan atau menanyakan pemilik otoritas (Yang Mutlak) dalam memverifikasi problema yang muncul. Sejarah dan atau firman-firmanNya yang akan memutuskan dan mengakhiri kebingungan dan ketidakpastian. Seperti proposisi agama musuh Pancasila, proposisi itu suatu proposisi yang benar atau proposisi yang salah akan bisa ditentukan dengan melihat sejarah lahirnya Pancasila.
Pernyataan Kepala BPIP yang kontroversial itu bisa jadi merupakan umpan tesis, dan dengan umpan itu BPIP dapat melihat seberapa besar reaksi baik individu, kelompok, organisasi atau institusi yang ada dalam masyarakat terhadap Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan falsafat bangsa. Sehingga BPIP akan mudah memetakan dan memformulasi dalam pembinaan ideologi Pancasila. Pembinaan ideologi Pancasila bagi bangsa Indonesia sebuah keniscyaan. Sehingga masayarakat dapat memahami Pancasila sebagai produk konsensus tertinggi, produk kesepakatan nasional sebagai dasar negara, ideologi dan falsafah bangsa. Produk kesepakatan nasional itu menjadi piranti mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indobesia yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, dan berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu pembinaan ideologi Pancasila haruslah berkesinambungan dan terukur, serta dalam pendekatannya paling tidak meggunakan pendekatan ontologi, epistemolgi dan aksiologi; sehingga individu atau kelompok orang yang memiliki pemikiran sempit bisa akan terbuka dan pada giliarannya menerima Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan falsafah bangsa.
Diksi radikalisme dan ekstremisme dalam pembinaan ideologi Pancasila seyoyanya tidak digunakan, disimpan saja di peti mati. Lebih-lebih tidak bijaksana bilamana diksi itu digunakan untuk memojokan dan atau melabeli mereka yang berpikiran sempit dan mengusung ideologi agama dan belum menerima penuh Pancasila sebagai dasar negara di negeri ini, karena pada hakikatnya pelabelan itu akan kembali pada diri pelabel itu sendiri dalam pandangan mereka. Sehingga dapat menjadi embrio permusuhan dan melahirkan ketegangan antara radikalisme pelabel dan radikalisme yang dilabeli. Bilamana ketegangan-ketegangan terus menerus muncul dalam masayarakat maka kecurigaan-kecurigaan pun muncul, yang pada gilrannya hidup masyarakat jauh dari kedamain dan ketentraman. Sejatinya masyarakat memimpikan hidup tenang, tentram dan damai serta duduk bersama saling menghormati dan menghargai walau dalam perbedaan.
Suasana damai, tenang dan tentram dalam kehidupan masyarakat akan membawa masyarakat jernih/bening dalam berpikir, berpikir tentang kehidupan, berpikir tentang Pancasila serta berpikir tentang agama, yang pada gilirannya menemukan kebenaran yang dipikirkannya. Menemukan kebenaran Pancasila sebagai falsafah bangsa, dan menemukan kebenaran agama sebagai credo atau kepercayaan kepada Yang Mutlak bagi pemeluknya. Filosof muslim Ibnu Rusyd menawarkan pemikiran, kebenaran falsafah dan kebenaran agama itu satu, perbedaan terletak pada lambang-lambangnya. Kebenaran Pancasila dan kebenaran agama itu satu karena hakikatnya turun dari sumber kebenaran yang satu, Yang Maha Benar, Tuhan Yang Maha Esa, dan perbedaan Pancasila dan agama terletak pada lambang-lambang yang ada, yang digunakan dalam Pancasila dan agama. Pemikiran filosof muslim itu mengantarkan kita melihat indahnya pelukan Pancasila dan agama di bumi ibu pertiwi.
*Penulis adalah Dosen Filsafat Fakultas Agama Islam Universitas Islam Malang.