“Keputusan mengubah nomenklatur Wantimpres menjadi DPA dan mengatur jumlah anggota ditentukan Presiden mencerminkan upaya untuk memperkuat kontrol eksekutif.”
Oleh Sultoni Fikri. Peneliti di Nusantara Center for Social Research

DPR RI secara resmi mengesahkan revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), nomenklatur Wantimpres akan diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA), sebagaimana tertuang dalam Pasal 1A RUU Wantimpres. Selain perubahan nomenklatur, RUU ini juga mengandung sejumlah perubahan signifikan terhadap peraturan yang berlaku dalam UU Wantimpres sebelumnya.

Diantara perubahan itu adalah pada jumlah anggota DPA yang kini sepenuhnya ditentukan oleh Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 draf RUU Wantimpres. Sebelumnya, jumlah anggota Wantimpres ditetapkan sebanyak delapan orang. Draf Pasal 7 ayat 1 menyebutkan, “Dewan Pertimbangan Agung terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota dan beberapa orang anggota yang jumlahnya ditetapkan sesuai dengan kebutuhan Presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.”

Yang menjadi kontroversi adalah DPA akan memiliki kedudukan yang sejajar dengan lembaga negara lainnya. Hal ini diatur dalam Pasal 2 draf RUU DPA, yang mengubah ketentuan dalam UU Wantimpres sebelumnya yang menempatkan Wantimpres di bawah presiden. Pasal tersebut menyatakan, “Dewan Pertimbangan Agung adalah lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Revisi ini juga menghapus persyaratan keahlian tertentu untuk menjadi anggota DPA. Terdapat tujuh syarat yang harus dipenuhi oleh calon anggota DPA, namun tidak ada ketentuan yang mengharuskan mereka memiliki keahlian khusus di bidang pemerintahan.

Ketujuh syarat tersebut adalah: bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, warga negara Indonesia, setia kepada Pancasila, memiliki sifat kenegarawanan, sehat jasmani dan rohani, jujur, adil, serta tidak pernah dijatuhi pidana.

Lebih lanjut, draf RUU DPA juga memperbolehkan pimpinan partai politik dan organisasi kemasyarakatan untuk merangkap jabatan sebagai anggota DPA, dengan pengecualian pada beberapa posisi tertentu seperti pejabat negara, pejabat struktural pada instansi pemerintah, dan pejabat lainnya.

Akhirnya, Pasal 9 ayat 4 RUU DPA menetapkan bahwa anggota DPA berstatus sebagai pejabat negara, yang merupakan tambahan dari ketentuan dalam UU Wantimpres sebelumnya. Revisi ini mencerminkan langkah signifikan dalam penataan ulang struktur dan fungsi Dewan Pertimbangan di Indonesia.

Keputusan untuk mengubah nomenklatur Wantimpres menjadi DPA dan mengatur jumlah anggota yang ditentukan oleh Presiden mencerminkan upaya untuk memperkuat kontrol eksekutif. Dalam pandangan politik, keputusan ini menggambarkan dinamika dimana kekuatan eksekutif berupaya mendominasi proses legislasi, sebuah fenomena yang sering terjadi dalam sistem presidensial.

Dengan menetapkan struktur baru untuk DPA dan menentukan anggota-anggotanya sendiri, Presiden dapat mengontrol arah dan fokus dari dewan tersebut sesuai dengan kepentingan administrasi dan agenda kebijakan pemerintahan. Kontrol yang diperluas ini tidak hanya mencakup domain formal dalam proses kebijakan publik, tetapi juga memberikan Presiden lebih banyak kewenangan untuk memengaruhi pembuatan keputusan strategis yang melibatkan penasehatannya.

Perubahan kedudukan DPA agar sejajar dengan lembaga negara lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 draf RUU DPA, merupakan langkah yang mencerminkan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan otoritas dan legitimasi lembaga tersebut. DPA, yang sebelumnya disebut Wantimpres, adalah sebuah lembaga penasehat yang memiliki peran strategis dalam memberikan saran kepada Presiden terkait kebijakan-kebijakan negara.

Perubahan tersebut menunjukkan bahwa struktur hukum tidak hanya terbentuk oleh teks undang-undang semata, tetapi juga oleh dinamika politik yang mengakomodasi kebutuhan untuk memperkuat institusi tertentu dalam menjalankan fungsinya.

Lalu, penghapusan persyaratan keahlian tertentu untuk menjadi anggota DPA mencerminkan perubahan dinamika politik dimana penunjukan anggota lebih dipengaruhi oleh afiliasi politik daripada kompetensi profesional.

Dengan izin bagi pimpinan partai politik dan organisasi kemasyarakatan untuk merangkap sebagai anggota DPA, revisi ini membuka pintu bagi penunjukan individu yang mungkin lebih cenderung setia kepada agenda politik tertentu. Kepentingan politik di atas pertimbangan kompetensi teknis. Ini berpotensi mengubah karakter DPA dari sebuah badan yang berfokus pada ekspertise ke dalam sebuah forum yang lebih politis.

Dengan demikian, penyesuaian ini tidak hanya mencerminkan pergeseran dalam proses penunjukan anggota lembaga negara, tetapi juga mempengaruhi kualitas dan independensi nasihat yang diberikan kepada Presiden.

Dampaknya, bisa menciptakan permasalahan baru dalam mempertahankan integritas dan otonomi DPA sebagai lembaga penasehat yang dapat dipercaya. Oleh karena itu, dalam pandangan realisme hukum, penghapusan persyaratan keahlian ini menyoroti bagaimana kekuatan politik dapat membentuk struktur hukum untuk mencapai tujuan politik tertentu, dengan potensi dampak jangka panjang terhadap sistem demokrasi dan tata kelola pemerintahan.

Penataan ulang struktur dan fungsi DPA mengungkapkan bahwa perubahan hukum sering kali dimanfaatkan sebagai instrumen untuk menyesuaikan diri dengan dinamika politik yang terus berkembang. Revisi ini memperjelas bagaimana kekuatan politik dapat beroperasi di belakang layar untuk membentuk hukum sesuai dengan kepentingan politik mereka.

Dari perspektif realisme hukum, perubahan ini tidak sekadar mengenai aspek teknis, tetapi juga merupakan strategi politik yang bertujuan untuk memperkuat posisi institusional dalam konteks politik yang dinamis. Dengan mengatur ulang struktur dan fungsi DPA, pemerintah atau kekuasaan Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk mengamankan atau memperluas pengaruh mereka melalui institusi ini.**

Keterangan gambar: radioidola.com

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry