Wakil Gubernur Jatim, Emil Dardak didampingi Kepala Kantor Perwakilan BI Jatim, Difi Ahmad Johansyah (kanan) dan Perwakilan Indonesia Japan Business Network (IJB Net), Sunyoto usai melihat salah satu produk hasil karya IKM Jatim Selasa (30/4). DUTA/endang

SURABAYA | duta.co – Bank Indonesia Kantor Wilayah Jawa Timur mempertemukan pelaku usaha kecil menengah (UKM) dengan buyer dari Jepang, Selasa (30/4).

Tujuannya agar para pelaku bisa mengetahui secara langsung potensi pasar di Jepang dan juga standarisasi apa saja yang harus dipenuhi jika ingin menembus pasa Negeri Sakura itu.

Ada 40 pelaku usaha berbagai jenis mulai kerajinan hingga kuliner nusantara dihadirkan. “Supaya para pelaku tahu secara pasti apa yang harus dilakukannya,” ujar Kepala Kantor Wilayah BI Jawa Timur, Difi A Johansyah.

Wakil Gubernur Jawa Timur,  Emil Elestiarto Dardak  berkesempatan melihat langsung pelaku usaha yang hadir di Kantor BI Jalan Indrapura. Emil mengakui Jepang merupakan pasar yang sangat potensial.

Dikatakannya impor Jepang mencapai USD 600 miliar per tahun. “Artinya ini peluang yang sangat besar bagi pelaku industri kecil menengah. Maaf kita harus menyebutnya industri kecil menengah bukan lagi usaha kecil menengah. Kita memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi mitra Jepang,” kata Emil.

Namun peluang besar itu ternyata memiliki tantangan besar untuk bisa menembusnya. Karena Jepang merupakan negara yang sangat konsisten menerapkan kualitas produk.

“Jepang punya TQM (total quality management) yang sangat bagus. Ini yang harus kita perbaiki kalau ingin menembus pasar sana. Kalau sudah bisa menembus, menjaga kepercayaan juga jauh lebih penting karena tak sedikit order berikutnya ditolak gara-gara tidak bisa menjaga kualitas,” tukasnya.

Emil menyebut para pelaku IKM yang menjadi binaan BI Jawa Timur cukup bagus. Emil melihat ada IKM yang sudah matang dan bisa menembus ekspor ke negara-negara yang memang sangat ketat regulasinya.

Tapi ada juga IKM yang masih meraba-raba ingin menembus pasar ekspor dan memiliki potensi yang bagus.

“Dari dua hal ini saya berpikir, daripada para IKM ini berjalan sendiri-sendiri, alangkah baiknya kalau membangun sebuah aliansi. Yang sudah punya customer di luar negeri, diajak untuk membeli produk lain dari sejawatnya dengan merek yang sama namun berbeda jenis produk. Inilah yang kami sebut communal branding,” tukasnya.

Selain cara itu, pemerintah harus punya kanal baru sendiri  dimana produk IKM ini sudah harus dipercaya dan masuknya produk itu ke kanal yang dibentuk pemerintah ini melalui proses kurasi atau penyaringan.

“Sehingga bisa berjalan bersama. Tidak perlu banyak brand, cukup satu dipakai semuanya namun kualitas produk tetap terjaga,” jelasnya.

Emil menyontohkan communal branding yang dilakukannya saat menjabat sebagai Bupati Trenggalek.

Waktu itu, Trenggalek yang dikenal memiliki batik tulis yang cukup berkualitas tidak bisa menembus pasar bukan hanya pasar luar negeri, namun pasar dalam negeri.

Salah satu target Trenggalek waktu itu, batik bisa masuk ke pusat perbelanjaan terutama di Sarinah Jakarta yang dikenal sebagai pusat batik.

“Kalau mau masuk mal produksi harus dalam jumlah banyak. Perajin batik di Trenggalek tidak sanggup membuat dalam jumlah banyak apalagi batik tulis. Akhirnya kami berpikir membuat satu brand yang produknya dibuat perajin batik di Trenggalek. Kami buat brand Terang Galih. Dan sekarang sudah memiliki konter tersendiri di Sarinah Plasa Jakarta,” jelasnya.

Perwakilan Indonesia Japan Business Network (IJB Net), Sunyoto mengatakan untuk bisa menembus pasar Jepang memang tidak mudah.

Poin penting yang harus dipenuhi adalah standar operasional prosedur (SOP) produk harus dipenuhi.

“Jepang ingin proses pembuatan hingga pengemasannya benar-benar disertakan dalam proposal penawarannya. Jangan hanya bagus di pameran namun setelah order tidak berkualitas. Itu tidak akan tahan lama,” ujar Suyonto.

Selain itu, untuk produk berupa makanan, kata Sunyoto, perlu diketahui bahwa Jepang lebih suka jika kerjasama itu dilakukan di awal.

Kolaborasi harus sudah dilakukan dengan Jepang di awal sebelum makanan itu diproduksi. “Jadi Jepang bisa melakukan monitoring dan kontrol produknya,” tukasnya. end

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry