
“Tidak dimaksudkan menghakimi, melainkan mengingatkan: NU lahir bukan dari ambisi kekuasaan, tetapi dari keprihatinan dan keikhlasan para ulama.”

Catatan Pinggir ROMADLON SUKARDI
SETIAP organisasi besar selalu diuji,bukan pada saat ia berjaya, melainkan ketika ia diguncang oleh pertanyaan-pertanyaan paling mendasar tentang dirinya sendiri. Menghadapi dinamika PBNU hari ini, harapan besar (nahdliyin) hanya berada di pundak para sesepuh NU. Kabar akan adanya musyawarah lanjutan, Ahad, 21 Desember 2025. Di Pondok Pesantren Lirboyo sangat melegakan. Semoga ada jalan!
Nahdlatul Ulama (NU) — sebagai jam’iyah diniyah ijtima’iyah yang lahir dari rahim keikhlasan ulama dan denyut penderitaan umat — kini berada pada sebuah persimpangan sejarah. Di titik ini, NU tidak hanya diminta menjawab persoalan struktural dan administratif, tetapi juga mempertaruhkan wajah etik, kedalaman hikmah, dan kematangan peradabannya di hadapan jamaah dan zaman.
Catatan pinggir ini ditulis bukan untuk menambah riuh, apalagi memperuncing luka. Ia diniatkan sebagai jeda reflektif: ruang sunyi untuk membaca peristiwa dengan akal sehat, nurani para kiai, dan tanggung jawab sejarah. Sebab konflik di tubuh PBNU hari ini bukan sekadar urusan internal elite, melainkan soal kepercayaan umat, keteladanan kepemimpinan, dan arah masa depan jam’iyah—apakah tetap menjadi rumah kebijaksanaan atau tergelincir menjadi arena perebutan legitimasi.
Ada masa ketika konflik tidak lagi hadir sebagai letupan emosi sesaat, melainkan menjelma menjadi cermin besar peradaban. Konflik internal PBNU hari-hari ini adalah jenis konflik seperti itu: bukan sekadar silang pendapat struktural, tetapi pergulatan nilai, etika kepemimpinan, dan cara kita membaca amanat sejarah Nahdlatul Ulama di abad yang berubah cepat.
Selayang pandang, konflik ini bermula dari ketegangan yang lama terpendam antara Syuriyah dan Tanfidziyah—antara otoritas keilmuan-spiritual dan otoritas manajerial-organisasional. Ketegangan itu menemukan puncaknya pada keputusan pemakzulan Ketua Umum PBNU, disusul penunjukan Penjabat Ketua Umum dan Katib ‘Am. Secara formal mungkin sah menurut tafsir prosedural tertentu, tetapi secara sosiologis dan etis, keputusan itu menyisakan luka kolektif: kegamangan jam’iyah, kebingungan jamaah, dan keguncangan marwah kiai di ruang publik.
Sejumlah masyayikh membaca situasi ini bukan sebagai sekadar konflik personal atau perebutan jabatan, melainkan sebagai gejala zaman—ketika kekuasaan, meski dibungkus dalil dan struktur, berpotensi menjauh dari hikmah. Dari sinilah para Mustasyar dan sesepuh PBNU bergerak. Mereka tidak datang dengan palu vonis, melainkan dengan niat islah dzatil bain.
Pertemuan para Mustasyar dan sesepuh NU di Pondok Pesantren Al Falah Ploso Mojo Kediri (30 November 2025) dan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang (6 Desember 2025) menjadi ikhtiar sunyi namun bermartabat. Di sana berkumpul para kiai sepuh, pengasuh pesantren, dan penjaga sanad keilmuan NU. Nasehat mereka sederhana sekaligus berat: hentikan eskalasi, kembalikan musyawarah, jaga keutuhan jam’iyah, dan selamatkan marwah kiai di hadapan umat.
Ikhtiar itu kemudian akan berlanjut pada undangan Musyawarah Kubra di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri yang insyaAllah akan berlangsung Ahad, 21 Desember 2025. Dengan kop resmi Pondok Pesantren Lirboyo, surat bernomor 058/A/AZMPZL/XII/2025 tertanggal 17 Desember 2025 ditandatangani langsung oleh KH. M. Anwar Manshur dan KH. Abdullah Kafabihi Mahrus. Agenda yang diusung jelas dan luhur: Meneguhkan Keutuhan Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Pesertanya lintas struktur dan lintas benua—dari PBNU, Banom, PWNU, PCNU, hingga PCINU se-dunia, serta para masyayikh dan ashabul ma’ahid.
Namun sejarah sering kali pahit: nasehat para sesepuh tidak selalu sejalan dengan keputusan para pemegang kuasa. Harapan agar kedua kubu melakukan muhasabah, mengakui kekhilafan masing-masing, dan kembali bersatu dalam islah dzatil bain, tidak sepenuhnya diindahkan—terutama oleh kubu Syuriyah PBNU yang tetap melangkah pada jalur konsolidasi sendiri.
Di sisi lain, Rais ‘Aam Syuriyah PBNU melalui Pj Ketua Umum PBNU melakukan safari silaturahmi dan konsolidasi ke sejumlah pesantren utama di Jawa Timur: Surabaya, Ploso, hingga Lirboyo. Secara niat, langkah ini dibaca sebagai ikhtiar menjaga jam’iyah dan sanad kepatuhan kepada kiai sepuh. Namun di mata sebagian warga NU, safari ini justru terbaca ambigu: antara merawat legitimasi atau mengukuhkan posisi.
Ruang-ruang percakapan warga NU pun bergemuruh. Dalam Group WA Menjaga Marwah NU, komentar-komentar mengalir sebagai suara batin jamaah.
Sejumlah gagasan yang disampaikan Gus Dr Muntadim Muttaqwa, MPd yang masih dzurriyah muassis NU Maskumambang Gresik itu, dalam ruang percakapan Menjaga Marwah NU sesungguhnya bukan sekadar daftar pertanyaan teknis, melainkan peta jalan reflektif bagi NU yang sedang berdiri di tikungan sejarah.
Usulan agar silaturahim dilakukan tiga hari sebelum pertemuan Lirboyo, 21 Desember 2025, mengandung makna simbolik sekaligus strategis: memberi ruang jeda, menurunkan tensi, dan membuka kemungkinan islah yang tulus sebelum forum formal mengambil keputusan-keputusan besar.
Pertanyaan pertama yang mengemuka pun bersifat paling mendasar—apakah masih tersedia ruang islah untuk mempertemukan dua kutub yang berhadap-hadapan, ataukah jam’iyah harus menempuh mekanisme struktural lain seperti Muktamar Luar Biasa atau Muktamar reguler, dengan segala konsekuensi siapa pelaksana, kapan dilaksanakan, dan legitimasi apa yang hendak dibangun.
Lebih jauh, rangkaian usulan ini mengajak NU berpikir melampaui konflik sesaat, menuju desain kepemimpinan NU abad ke-2 yang lebih matang dan beradab. Di dalamnya tercakup kebutuhan mendesak akan penataan tata kelola keuangan PBNU agar semakin amanah dan akuntabel, terutama dalam mengelola dana dari luar—baik dari lembaga internasional, pemerintah, BUMN, BUMD, hingga sektor swasta—agar tidak menimbulkan syubhat, konflik kepentingan, atau penyimpangan nilai. Pada saat yang sama, NU ditantang menegaskan kembali mekanisme pengambilan keputusan dalam kerja sama dengan pihak eksternal yang memiliki ideologi berbeda, sebagaimana pelajaran sejarah saat NU berpolitik di era Nasakom: bahwa urusan-urusan prinsipil harus berada dalam kewenangan Syuriyah, sementara Tanfidziyah menjalankan fungsi eksekusi.
Pertanyaan-pertanyaan lain yang mengemuka menyentuh jantung organisasi: apakah struktur hierarkis Mustasyar–Syuriyah–Tanfidziyah masih relevan di abad kedua NU, atau perlu disederhanakan tanpa kehilangan ruh kebijaksanaan ulama; bagaimana mekanisme pemilihan pimpinan PBNU ke depan—tetap dengan kombinasi AHWA dan pemilihan langsung, atau dirumuskan format baru yang lebih adil dan menenteramkan; serta sejauh mana Khittah Nahdliyah dan Qonun Asasi perlu direfresh dan diperkuat agar tidak sekadar menjadi teks normatif, melainkan napas hidup dalam AD-ART NU.
Semua itu bermuara pada satu kesadaran kolektif: perlunya kajian ulang AD-ART secara utuh, kontekstual, dan komprehensif, termasuk penempatan Peraturan Perkumpulan NU sebagai tafsir operasional yang setia pada ruh konstitusi jam’iyah. Rangkaian pemikiran ini, pada akhirnya, adalah undangan terbuka untuk mendigdayakan NU—menjemput abad kedua bukan dengan gegap gempita kekuasaan, melainkan dengan kebijaksanaan, kejernihan visi, dan keberanian berbenah menuju kebangkitan baru.
Lain halnya KH. Drs. M. Syafik Rofi’i, dzurriyah Syaikhona Kholil Bangkalan, dengan getir menyebut konflik ini sudah sedemikian ruwet—hingga nasehat kiai pun seolah tak lagi mempan. Prof KH Imam Suprayogo menghela napas panjang: zaman seperti terbalik, yang sepuh seakan menjadi pemuda, dan yang pemuda merasa paling sesepuh.
Luqman Murtafik Sufri mengingatkan bahaya laten perpecahan: NU jangan sampai terbelah seperti JATMAN dan JATMA—bahkan ia menyebut metafora PBNU WS dan PBNU BA sebagai peringatan keras, bukan doa. Yang lain menyoroti oportunisme, tarik-menarik posisi Katib ‘Am, hingga absennya pernyataan moral yang menenangkan jamaah.
Nada paling menyayat datang dari kekhawatiran menurunnya kepercayaan publik kepada kiai. “Na’udzubillah,” tulis seorang penanggap. Ini bukan soal siapa menang atau kalah, melainkan apakah NU masih menjadi rumah akhlak dan kebijaksanaan di mata umat. Sebab ketika marwah Rais ‘Aam runtuh di ruang publik, yang terluka bukan hanya struktur PBNU, melainkan kepercayaan sosial yang dibangun puluhan tahun.
Catatan pinggir ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi, melainkan mengingatkan: NU lahir bukan dari ambisi kekuasaan, tetapi dari keprihatinan dan keikhlasan para ulama. Jika konflik ini dibiarkan berlarut, NU berisiko kehilangan keunggulan moral yang selama ini menjadi kekuatannya.
Harapannya tetap sama seperti doa para sesepuh di Ploso, Tebuireng, dan Lirboyo: semoga ikhtiar Mustasyar dan masyayikh membuahkan kesadaran kolektif. Kedua kubu berani mengakui salah, saling memaafkan, dan kembali bersatu. Islah dzatil bain bukan tanda kalah, melainkan puncak kedewasaan peradaban. Di situlah NU akan kembali berdiri tegak—bukan sekadar sebagai organisasi besar, tetapi sebagai penuntun zaman. Wallahu A’lamu Bisshawab. (*)





































