Oleh: Dr. H. Suparto Wijoyo*

ESOK masih bisa ditulis tentang ontran-ontran laku koruptif yang melibatkan kepala daerah di tlatah Malang Raya, hingga Jatim dilabeli darurat rasuah. Namun 12 Oktober 2018 ini, hari ini sempatkanlah bersenandung sedikit bahagia karena Jatim sedang ultah, berusia 73 tahun. Rentang jarak dari 12 Oktober 1945 saat dilantiknya R Soerjo menjadi gubernur sampai Pakde Karwo, tentu menyajikan ragam realitas. Jatim memuaikan diri melalui daya kreasinya yang gempita. Tata kelola birokrasinya inovatif hingga menghadirkan penghargaan yang berderet  ratusan jenisnya selama kepemimpinan Dr H Soekarwo. Pembaca pasti memiliki pandangan yang bersifat persepsional atas suguhan penghargaan yang dihidangkan dengan citarasanya. Tetapi yang jelas  terdapat satu komitmen betapa pemimpin perlu hadir guna melayani dengan filosofi harmoni yang selayaknya dikonstruksi.

Idealitas itu terbangun di antara pemimpin dan rakyat yang bersemangat untuk meningkatkan  martabatnya. Dalam menghadapi situasi melumernya batas-batas antarbangsa,  sejatinya warga diajak bijak oleh Pakde Karwo  untuk bersama-sama siap membuka pintu gerbang kehidupan global. Kesigapan untuk mencapai  masa depan yang lebih baik harus digelorakan dan Pakde Karwo terpanggil melakukan itu agar Jatim ambil bagian secara aktif di panggung  dunia sebagai regional champion. Ini adalah bahasa yang bermakna memotivasi kinerja  yang dicitakan mampu bersaing dan membuka diri sebagai superkoridor. Kata Napolean Bonaparte: pemimpin itu hadir memang untuk memberikan pengharapan, membuka peluang yang diikhtiarkan.

Untuk itulah  para pemimpin  niscaya tidak akan membiarkan rakyatnya tanpa panduan.  Apalagi Pakde Karwo kini selaku Ketum APPSI terpotret mengambil prakarsa untuk mengarungi masa depan sebahasa seperti diungkapkan oleh Peter Senge dan kawan-kawannya dalam buku The Necessary Revolution: “… the future is now”. Ya masa depan itu memang bermula pada hari ini, sekarang ini. Dan tersadari  dengan sungguh-sungguh bahwa pemimpin yang baik mampu mempersiapkan generasi hari esok yang lebih berdaya saing.

Saya memahami kenapa Pakde Karwo pernah  menuliskan percaturan penuh persaingan  dalam pasar dunia  sebagai tantangan yang harus dijawab oleh  Bangsa Indonesia. Pemerintah diliterasi  memberikan solusi, tidak cukup motivasi tetapi juga  fasilitasi  agar warga   terus survive,  bahkan menjadi sang juara. Ajakan Pakde Karwo itu seyogianya menjadi panggilan  meningkatkan kemampuan diri warga Jatim sesulit apa pun. Hal ini mengingatkan saya pada surat-surat yang dibuat tentara Jerman ketika menyerbu Rusia pada masa Perang Dunia II,  yaitu Franz Schneider dan Charles Gullans yang dihimpun dalam buku Last Letters From Stalingrad. Dalam situasi terkepung dan terjebak perangkap yang sangat mengerikan, tentara itu menulis surat: “…of course, I have tried everything to escape from this trap, but there only two ways left: to heaven or to Siberia……”. Kemudian dia lanjutkan: “Waiting is the best thing, because, as I said, the other is useless”.

Benarkah jalan terbaik bagi  para gubernur adalah menunggu seperti sang pasukan itu tanpa kreasi-inovasi dengan meningkatkan daya juangnya di medan “perang” di zaman now? Pakde Karwo  pastilah menjawab tidak. Sebuah jawaban yang rasanya sudah cukup menimbulkan inspirasi untuk mengenali kembali makna substansial yang harus dilakukan seorang pemimpin. Saya pun mengenang  kembali ajaran leluhur yang amat populer tentang Astha Brata (delapan perilaku) seorang pemimpin. Setiap leader (bukan dealer lho) itu harus selalu bertindak: menerangi (laku hambeging candra),  tegas (laku hambeging dahana), percaya diri (laku hambeging kartika), berbelas kasih (laku hambeging kisma), teliti (laku hambeging samirana), menampung (laku hambeging samudra), menginspirasi (laku hambeging surya), dan adil (laku hambeging tirta).

Semua orang punya hak untuk menafsir bagaimana laku kepemimpinan nasional selama ini, adakah “tetenger” Astha Brata itu diugemi atau dinihilkan. Pilpres 2019 merupakan jalan keluar demokrasi yang akan memberikan jawabnya. Hal itu berarti hari esok harus disongsong  penuh semangat dan berkelanjutan dan secara kultural Pakde Karwo memanggul tugas sejarah untuk melaju terdepan. Pasti  pembaca sudah tahu arahnya, mengenai tongkat estafet ataupun pelari cepat  yang layak melanjutkan inovasi Pakde Karwo, dialah yang pada Pilgub 27 Juni 2018 “direkomendasikan” untuk “mbeber kamulyan  dampar kencono” periode mendatang yang tiada lain Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak.  Lantas, Pakde Karwo sendiri hendak ke panggung  yang mana?

Di sisa masa jabatan yang berakhir 12 Februari 2019 nanti, tampak arah yang dipilih dengan gemuruh ruang Pilpres dengan hadirnya Rumah Jowo yang diatributi atas restu Pakde Karwo. Begitulah yang ditebak oleh khalayak dengan dukungan  yang beredar di Medsos. Rumah Jowo sendiri membawa sandingan nama Jokowi-Karwo yang menorehkan niatan yang amat kentara bahwa Pakde Karwo memang berlabuh di pasangan petahana. Meski saya mendengar gumam bahwa itu bisa juga “dilanggamkan” bahwa Rumah Jowo itu Rumah Njogo   Prabowo.

Sikap “penguasa lokal” untuk merepat ke “kamukten saat ini”  tampak seragam dengan agenda para kepala daerah yang menjadi tim pemenangan. Hanya saja apakah memang demikian adanya? Mengapa para kepala daerah rela bercapai ria untuk menjadi tim pemenangan? Tidak adakah ruang geraknya yang memang tersandra ataukah memang “kinerja” mereka sudah sangat kinclong hingga punya banyak waktu  untuk memperpanjang yang telah menjabat.  Potret ini untuk umum dan biarlah sebagai teka-teki terlebih dahulu sampai pada saatnya nanti menjelang 17 April 2019. Meminjam kata-kata Anthony Giddens,  ini adalah bagian dari “kesadaran diri dan perjumpaan sosial” seorang pemimpin untuk ambil bagian dalam kontestasi. Dirgahayu Jatim.

 *Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Unair

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry