Oleh Ahmad Fatoni

 

BANGSA Indonesia kehilangan sosok ulama kharismatik, intelektual, politikus, dan guru bangsa yang rendah hati. KH Hasyim Muzadi meninggalkan kita Kamis Pagi (16/3) sekitar pukul 06.15 WIB. Tokoh yang juga salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu memiliki spesifikasi yang komplit dan jiwa humoris.

Penampilan  ketua PBNU periode 1999-2009 yang bersahaja, bersahabat, dan berbicara santun, itu telah memberikan banyak inspirasi bagi berbagai pihak. Karena itulah Kiai Hasyim mendapat tempat tersendiri di berbagai organisasi massa Islam di tanah air. Sepanjang hidupnya Kiai Hasyim begitu gigih memerjuangkan nilai-nilai Islam, kebangsaan dan kenegaraan.

Di kalangan umat Islam, Kiai kelahiran Tuban Jawa Timur tahun 1944 tersebut juga dikenal dengan ceramahnya yang jenaka, namun kaya akan nilai-nilai kebijaksanaan. Dengan gaya bahasa dan intonasi yang tepat, beliau sampaikan pesan dakwah kepada masyarakat bawah, masyarakat menengah, hingga kalangan istana.

Bahkan saat ceramah Maulid Nabi Muhammad SAW di istana kepresidenan, humor Kiai Hasyim begitu mengalir. Suasana pun menjadi cair. Beliau berceramah mestinya membaca naskah yang ada di tangannya. Tapi pimpinan pesantren Al-Hikam Malang dan Depok itu malah ceramah dengan gaya bebas.

“Saya kadang-kadang berpikir, ini negara non-Muslim, barang yang hilang, kok ketemu semua. Sementera di negara yang mayoritas Islam, barang yang ada, hilang semua,” demikian sindir Pak Hasyim di depan Presiden, wakil presiden, para menteri, dan perwakilan negara-negara sahabat. Semua yang hadir tertawa ngakak. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pun tertawa hingga sesekali membenahi posisi duduk dan jasnya.

Meski dikemas dalam bahasa guyonan, pemikiran Kiai Hasyim sangat orisinil dan visioner. Beliau sering mengatakan, “orang zaman dulu itu, kalau ngomong sesuatu yang berat, bisa dibicarakan dengan cara yang mudah. Sementara orang zaman sekarang, ngomong hal mudah, tapi dibicarakan dengan cara yang sulit dan ruwet. Menurut mereka semakin rumit ngomongnya semakin ilmiah,” begitu sindir Kiai Hasyim tentang perbedaan antara Kiai dan intelektual.

Humor Pak Hasyim bisa meluncur kapan saja, baik saat ngobrol di kalangan terbatas maupun ketika berceramah di depan ribuan jamaah pengajian. Kita bisa tertawa berulang-ulang meski cerita yang sama sudah pernah didengar berkali-kali. Itulah kelebihan humor Kiai Hasyim. Tidak asal mbanyol, melainkan humor yang menyegarkan tanpa harus menyingung siapa pun.

Humor ala Kiai Hasyim tak ubahnya parfum penyegar udara di ruang hidup yang pengap. Kenyataannya, hidup memang memerlukan humor agar udara kehidupan terasa lebih segar. Humor bagaikan jendela bagi sebuah rumah. Lewat jendela, udara bersih akan masuk dan sirkulasi berjalan lancar. Dengan humor pun pikiran menjadi jernih.

Banyak orang memaklumi, Kiai Hasyim dan humor ibarat dua sisi dalam sekeping mata uang. Beliau selalu menyelipkan humor-humor segar dalam setiap pengajiannya yang membikin audiens tertawa atau merenung. Serumit apa pun persoalan atau pertanyaan dari jamaah, selalu dijawab dengan humor bijak.

Betapa Kiai Hasyim mampu “menertawakan” perbedaan pandangan antar umat Islam dan bahkan dengan agama lain sekalipun. “Saya kan sering dicemooh oleh orang Kristen, bagaimana orang Islam ini, wong ibadah kok sandalnya sering hilang,” kata Pak Hasyim. Lantas beliau jawab, “Ya mesti saja (hilang), sebab sandalnya gak dipakai, nah sampean sepatunya dipakai (ke gereja), jadi yang hilang ya bukan sepatunya, tapi sepeda motornya yang hilang…ha-ha-ha.”

Kiai Hasyim memang dikenal pintar menciptakan humor. Sewaktu diundang ceramah di PT Gudang Garam, Kiai Hasyim menyampaikan pengalamannya ketika diundang ke Vatikan, pusat agama Kristen. ”Seorang monsinyur menyindir saya. Kok kiai NU isterinya banyak?” kata Kiai Hasyim Muzadi menirukan sindirian monsiyur itu.

Maksudnya, dalam Islam kok diperbolehkan beristeri lebih dari satu. Padahal dalam ajaran Kristen, monsinyur dan pastur dilarang menikah. Monsinyur adalah gelar dalam agama Kristen yang levelnya lebih tinggi daripada pastur.

Mendapat pertanyaan monsinyur itu Kiai Hasyim langsung berpikir, ”Wah ini mulai masuk dapur kita.” Kiai Hasyim menuturkan bahwa monsinyur itu minta agar Kiai Hasyim tidak emosi. Itu berarti harus dijawab dengan humor yang cerdas.

”Saya jawab, ya itu kan untuk menampung wanita yang ditolak pastur. Tiap ada penolakan kan harus ada penampungan. Kalau tak ada penampungan kan terjadi pengangguran,” jelas Kiai Hasyim yang disambut ger para karyawan PT Garam.

”Kalau pengangguran tenaga kerja masih lumayan, tapi kalau pengangguran cinta kan bahaya,” kata Kiai Hasyim lagi. Dengan logika itu, menurut Kiai Hasyim, ternyata para pastur itu mengakui kebenaran ajaran agama Islam.

Cara Kiai Hasyim Muzadi yang humoris memang menjadi ciri khasnya, terutama setiap ingin menyampaikan kritik. Kritik beliau yang dikemas secara jenaka rupanya membuat orang yang dikritik tidak merasa sakit, namun justru dapat menerima saran yang lucu itu.

Kiai Hasyim pernah pula bercerita saat sepanggung dengan Pak Din Syamsudin (Ketua Umum PP Muhammadiyah waktu itu) tentang seorang temannya yang bertitel doktor, namun bisa seketika turun drastis tingkat keilmuannya. Tutur Kiai Hasyim, “Saya punya teman doktor, wah kalau di universitas dia ditakuti karena ‘killer’, tapi kalau pulang dimarahi istrinya bisa bodoh mendadak.” Ungkap Kiai Hasyim, “Ilmu yang di otak itu akan goncang ketika ada goncangan dalam hati seseorang.”

Lanjut Kiai Hasyim sembari melirik ke Pak Din, “Pak Din ini hebat Ketua Muhammadiyah, tapi di hadapan anak mertua, tunggu dulu.” Seloroh Kiai Hasyim tersebut kontan disambut tawa para hadirin.

Membincang humor-humor yang pernah dilontarkan Kiai Hasyim seperti tidak ada habisnya. Yang pasti, guyonan ala Kiai Hasyim sarat makna, kritis dan cerdas, jauh dari kesan “vulgar” seperti sejumlah pelawak di Indonesia yang terkesan asal mbanyol.

Kini rasa kehilangan terhadap sosok ulama humoris yang ngemong (melayani) umat dan bangsa ini, yakni Kiai Hasyim Muzadi, begitu membekas. Petuah dan nasihat-nasihatnya masih terngiang-ngiang di telinga, tidak hanya di kalangan Nahdhatul Ulama, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia. Selamat jalan Kiai Hasyim, semoga husnul khatimah. Amin.

 

Penulis adalah Alumni Pondok Modern Gontor, Dosen Pendidikan Bahasa Arab UMM

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry