“Generasi muda hidup di era digital, di mana komunikasi serba cepat dan cenderung dangkal. Dakwah di media sosial penuh sensasi, bahkan kemarahan. Di sinilah pendekatan humor kiai kampung menjadi relevan bagi anak muda.”
Oleh Abdul Wachid B.S.*

PERNAHKAH Anda mendengar kisah seorang kiai yang memberi ijazah doa kepada santrinya dengan syarat harus dibaca di tempat sepi, tapi justru sang santri membacanya di pasar karena “sepi dari kebaikan”? Atau cerita tentang kiai yang ketika ditanya muridnya soal makna zuhud, malah menjawab dengan kisah tentang kambing yang lepas dari tambatan? Sekilas terdengar jenaka, tapi sesungguhnya sarat hikmah.

Di banyak pelosok desa, kiai-kiai kampung dikenal bukan hanya karena ilmu agamanya, tapi juga karena kemampuan mereka menghidangkan dakwah lewat humor. Di langgar-langgar kecil, di sela-sela tahlilan, pengajian, atau bahkan saat santai di beranda rumah, cerita-cerita penuh tawa kerap muncul. Namun, jangan buru-buru menilai itu sekadar guyonan. Sebab dalam humornya, sering tersembunyi hikmah mendalam; cara lembut menyampaikan kebenaran yang sulit diterima jika disampaikan dengan nada tinggi.

Humor sebagai Medium Dakwah

Tradisi NU tidak asing dengan pendekatan dakwah yang tidak konfrontatif. Kiai-kiai kampung, yang hidup bersama rakyat kecil, paham betul bahwa pesan agama tidak bisa dipaksakan, apalagi jika dibungkus dengan kemarahan atau dogma kaku. Mereka memilih pendekatan yang luwes, mengalir, dan membumi, salah satunya lewat humor.

Humor dalam dakwah bukan berarti menggampangkan ajaran. Sebaliknya, ia menjadi strategi untuk membuka hati sebelum membuka pikiran. Kiai menggunakan cerita lucu untuk melucuti ego audiens, meruntuhkan sekat status sosial, dan menciptakan suasana akrab agar pesan-pesan berat bisa masuk tanpa perlawanan batin.

Warisan Ulama Nusantara

Humor sebagai bagian dari dakwah bukanlah hal baru. Banyak ulama terdahulu menggunakan cerita jenaka sebagai bentuk tadrîj: pendekatan bertahap dalam menyampaikan ilmu. Dalam konteks pesantren, humor bahkan menjadi bagian dari metode pendidikan. Kiai memberikan sindiran lewat kisah lucu agar santri merenung tanpa merasa disalahkan secara langsung.

Bisri Musthofa, misalnya, dalam karya-karyanya seperti Al-Bisyriyyah atau tafsir Al-Ibriz, kerap menyelipkan ungkapan humoris yang kontekstual. Ia tahu bahwa masyarakat awam tidak selalu mampu mencerna nasihat serius. Maka, humor menjadi jembatan emosional dan intelektual yang efektif.

Begitu juga KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), yang dikenal luas karena cara dakwahnya yang santai, kadang lucu, tapi sangat menyentuh. Ia sering berkata: “Kiai itu kalau tidak lucu, berarti belum selesai berguru.” Kalimat itu bukan sekadar candaan, tapi penegasan bahwa hikmah dan kelembutan harus berjalan seiring.

Guyonan Kiai, Sindiran yang Mendidik

Dalam tradisi kiai kampung, guyonan bukan hanya hiburan. Ia bisa menjadi kritik sosial, koreksi keagamaan, hingga peneguhan nilai-nilai tasawuf. Misalnya, ada kisah kiai yang ditanya soal apakah boleh makan di tengah malam, lalu menjawab, “Boleh saja, asal bukan di piring tetangga.” Terdengar lucu, tapi sejatinya itu nasihat soal menjaga hak orang lain dan tahu batas diri.

Atau kisah kiai yang menyarankan jamaahnya untuk rajin shalat tahajud, “Karena itu saatnya kita ngobrol berdua dengan Gusti Allah, tanpa gangguan cicilan.” Kalimat semacam itu lebih mengena di hati ketimbang ceramah retoris panjang lebar yang menghakimi.

Guyonan semacam ini bukan humor kosong. Ia membawa nilai. Seperti konsep al-funûn al-balâghiyyah dalam ilmu balaghah (retorika Arab), pesan disampaikan secara tidak langsung agar lebih halus dan berdampak dalam jangka panjang.

Menertawakan Diri, Merendahkan Ego

Humor para kiai juga sering diarahkan pada diri sendiri; menertawakan kelemahan manusia, termasuk dirinya. Ini adalah bentuk tawadhu’. Ketika seorang kiai bercerita tentang kesalahannya yang lucu, ia sedang menunjukkan bahwa menjadi manusia adalah menerima keterbatasan. Pesan ini sangat penting dalam membangun spiritualitas yang inklusif dan rendah hati.

Dalam dunia yang makin kompetitif dan penuh ujaran kebencian, kiai kampung justru mengajarkan bahwa agama tidak harus dibawa dengan wajah tegang. Bahwa mengajak kebaikan bisa dilakukan dengan cara yang menyenangkan, dan menertawakan diri sendiri adalah bagian dari perjalanan menuju keikhlasan.

Relevansi bagi Generasi Muda

Hari ini, generasi muda hidup di era digital, di mana komunikasi serba cepat dan cenderung dangkal. Banyak dakwah di media sosial yang mengandalkan sensasi, bahkan kemarahan. Di sinilah pendekatan kiai kampung menjadi relevan kembali.

Generasi muda perlu belajar bahwa da’wah bil hikmah (dakwah dengan kebijaksanaan) tidak harus berarti kaku. Kita bisa membuat konten dakwah yang ringan, lucu, tapi tetap bernas. Kita bisa membuat meme Islami, podcast jenaka, atau sketsa humor yang menyentuh tanpa merendahkan.

Kisah-kisah kiai kampung bisa menjadi sumber inspirasi. Mereka bukan hanya pewaris ilmu, tapi juga penjaga keseimbangan antara nalar dan rasa, antara syariat dan budaya. Humor mereka adalah bentuk rahmat, bukan pelecehan terhadap agama.

Jalan Lembut Menuju Kedalaman

Pada akhirnya, humor dalam dakwah adalah jalan lembut menuju kedalaman. Ia menandai kematangan batin dan keluasan wawasan. Hanya orang yang dalam pemahamannya yang mampu menyampaikan hal-hal serius tanpa membuat orang takut. Dan hanya orang yang punya kasih sayang yang bisa membuat orang tertawa sambil menangis, karena menyadari kebenaran yang disampaikan dalam jenaka.

Kita mungkin bisa menghafal dalil dan ayat, tapi belum tentu bisa menyentuh hati orang lain. Kiai kampung mengajarkan bahwa dakwah tidak hanya soal kebenaran, tapi juga tentang cara menyampaikannya. Dan humor adalah salah satu cara terbaik untuk mengetuk pintu jiwa.

Dalam wajah-wajah kiai kampung yang tertawa, sesungguhnya tersimpan rahmat Allah. Mereka mengajarkan bahwa Islam itu ringan, penuh kasih, dan tidak selalu harus dibawa dengan suara keras. Mereka tidak mengancam, tapi merangkul. Tidak menggurui, tapi menemani.

Dan mungkin, itulah sebabnya mengapa guyonan mereka tetap hidup di hati santri dan masyarakat, jauh setelah mereka wafat.

Menutup dengan Senyuman

Jika kita bisa tertawa bersama, kita bisa tumbuh bersama. Jika kita bisa menyampaikan kebenaran dengan cara yang lembut, maka kebenaran itu akan mengakar lebih dalam. Humor para kiai kampung bukan sekadar lelucon, tapi strategi spiritual yang menjadikan dakwah lebih manusiawi dan lebih diterima.

Maka, marilah belajar berdakwah dengan senyuman, sebagaimana para kiai kampung mengajarkan kita: bahwa agama ini, sejatinya, adalah kegembiraan yang mengajak orang untuk pulang: dengan hati yang ringan dan jiwa yang lapang. ***Abdul Wachid B.S. (Penulis adalah penyair, Guru Besar Bahasa dan Sastra Indonesia, dan Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto)

 

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry