JAKARTA | duta.co – Lagi-lagi Jawa Timur “dinobatkan” sebagai provinsi terburuk dalam masalah korupsi. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencap Jatim sebagai provinsi dengan rekor korupsi tertinggi, kini Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis data provinsi dengan kasus korupsi kepala daerah terbanyak. Dalam data tersebut, Jawa Timur menduduki peringkat pertama dengan jumlah 14 kepala daerah yang terjerat kasus di KPK.
“Berdasarkan provinsi, tertinggi (jumlah kepala daerah yang terjerat korupsi) Jawa Timur, ada 14 kasus. Disusul yang kedua itu Sumatera Utara, 12 kasus,” kata Peneliti ICW, Egi Primayoga, di kantornya, Jalan Kalibata Timur IV Nomor 6, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (16/12/2018).
Provinsi lain yang masuk 10 besar terbanyak jumlah kasus korupsi dengan tersangka kepala daerah antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua, Riau, Aceh, Banten, dan Kalimantan Timur. Egi menuturkan Data tersebut merupakan hasil pantauan ICW sejak KPK berdiri, dari 2004 hingga 2018. Selama itu juga, sebanyak 104 kepala daerah di seluruh Indonesia tersandung kasus korupsi di KPK.
“Ada 104 kepala daerah yang terjerat kasus oleh KPK,” ujar Egi.
Egi menjelaskan, ratusan kepala daerah yang korupsi itu berasal dari hampir semua partai politik. Dia menambahkan, tahun ini menjadi tahun puncak pengungkapan kasus yang melibatkan kepala daerah di lembaga antirasuah.
“Hampir semua parpol memberi sumbangan koruptor kepala daerah. Kalau dilihat puncaknya itu 2014 ada 14 kasus, 2018 ada 29 kasus,” ujar Egi.
Versi KPK
Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menyebut, Provinsi Jawa Timur merupakan pemecah rekor terbanyak kasus tindak pidana korupsi. Pernyataan itu disampaikan Syarief Hidayat, Direktur Gratifikasi Bidang Pencegahan KPK, saat menghadiri sosialisasi pengendalian gratifikasi bagi pejabat eselon 2 dan 3 di Pendopo Pemkab Jombang, Jatim, Rabu (28/11/18) lalu.
Syarif menjelaskan, berdasarkan data terakhir di KPK, saat ini ada 12 kasus korupsi dari berbagai daerah di Jatim yang menjerat sejumlah pejabat, baik melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) atau lainya. Rata-rata kasus yang menjerat para pejabat daerah di Jatim ini adalah kasus suap.
“Data terakhir Jatim pemegang rekor jumlah yang ditangkap KPK, baik dari sisi Pemkab atau DPRD nya, bahkan sebelumnya di Malang ada 44 anggota DPRD yang ditangkap dan itu pemecah rekor. Kasus terbanyak adalah suap,” ungkap Syarif.
Modus tindak pidana korupsi yang dilakukan para pejabat ini, menurut Syarif terbilang mudah dibaca oleh KPK. Dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), mayoritas dana hasil korupsi dialirkan kepada orang-orang terdekat seperti anak dan istri yang notabene berstatus ibu rumah tangga.
“PPATK punya kriteria, mana yang jelas dan tidak. Rilis terakhir dari PPATK menyebut ibu rumah tangga menjadi penampung uang-uang yang tidak jelas. Jadi seorang pejabat ini terima aliran dana sebesar Rp26,7 miliar, kemudian dia alirkan ke anak dan istrinya, dan modus ini yang terbanyak di Indonesia,” jelasnya.
Lebih lanjut, Syarif Hidayat menjelaskan, bahwa kantong-kantong yang paling banyak memiliki pontensi tindak pidana korupsi adalah di bagian pengadaan barang dan jasa. Kata dia, proses tender sebuah proyek inilah yang cukup rawan terhadap praktek gratifikasi. Yang terjadi adalah banyak vendor yang mendadak datang dan memberikan sejumlah uang kepada Kepala Dinas atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Meski tanpa paksaan, pemberian uang ini masuk katagori Gratifikasi.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif juga mengatakan, modus korupsi saat ini terbanyak berupa pengadaan barang dan jasa, karena sering dilakukan mark up atau menaikkan anggaran.
“Ke depan, diharapkan terdapat Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang mandiri dan profesional,” ujar Laode di Gedung Negara Grahadi di Surabaya, Rabu (7/3/2018) lalu.
Menurut dia, khusus di Jatim telah terlihat secara infrastruktur jauh lebih siap di banding provinsi lain di Indonesia. Terkait pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan KPK, kata dia, terdiri dari serangkaian tindakan mulai koordinasi, supervisi, monitoring, pencegahan, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
“Namun yang selama ini dilihat masyarakat hanya pada ranah penindakan. Salah satu fungsi yang tidak nyaman adalah penindakan, padahal ini hanya 20 persen dari rangkaian pekerjaan KPK,” ucapnya.
Tak Bikin Kapok
Namun Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mengkritik tren vonis dan tuntutan terhadap kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Sanksi pidana terhadap para kepala daerah tersebut dianggap tak memberi efek jera bagi pelaku dan efek cegah bagi kepala daerah lainnya.
“Kami masih kecewa terhadap putusan Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung dan tuntutan KPK yang masih kami anggap sedang,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana di kantornya, Jalan Kalibata Timur IV D, Nomor 6, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (16/12/2018).
Kurnia mengatakan tren vonis pengadilan kepada kepala daerah yang tersangkut perkara korupsi menyentuh rata-rata angka 6 tahun 4 bulan pidana penjara. Bagi ICW, vonis kurungan penjara tersebut masuk level hukuman sedang.
“ICW mengklaim ada 104 kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak KPK berdiri. Tren vonis kepala daerah sepanjang 2004-2018, vonis kepala daerah rata-rata hanya menyentuh 6 tahun 4 bulan dan kami nilai itu putusan dalam taraf sedang,” ujar Kurnia.
ICW menilai tren vonis hukuman sedang kepada kepala koruptor terjadi karena tiga hal yaitu Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), tuntutan jaksa dari KPK dan belum adanya kesamaan pandangan di antra hakim soal hukuman yang layak bagi koruptor.
“Regulasi Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang sangat memungkinkan jadi celah-celah hakim memvonis ringan koruptor. Mayoritas dakwaan KPK menggunakan Pasal 2 dan 3 (Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Nomor 20 Tahun 2001), yang mana pasal itu pasal kerugian uang negara,” ucap Kurnia.
Dalam pasal 3, jelas Kurnia, penyelenggara negara yang terbukti korupsi diancam pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Sementara dalam Pasal 2 yang sering dijadikan alat untuk menjerat masyarakat, ancaman pidana penjaranya lebih tinggi, yaitu minimal 4 tahun.
Masih terkait regulasi, Kurnia menuturkan sanksi untuk tindak suap-menyuap yang termaktub dalam Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diperbaharui menjadi Nomor 20 Tahun 2001 juga mempengaruhi.
“KPK ketika menangani kasus korupsi dengan instrumen operasi tangkap tangan (OTT), menggunakan pasal 5 ayat 1 dan 2. Yang kita sesalkan hukuman bagi pemberi dan penerima sama,” tutur Kurnia.
Dalam Pasal 5 ayat 1 dan 2 diterangkan pelaku suap baik dari unsur masyarakat atau penyelenggara negara terancam pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun.
“Harusnya pihak penyelenggara negara justru yang diperberat,” tegas Kurnia.
Kemudian soal faktor tuntutan jaksa, ICW pun menilai KPK masih menuntut dengan pidana penjara level sedang. Berdasarkan data ICW, tuntutan level sedang oleh KPK terhadap kepala daerah yang korupsi terjadi di 16 dari 84 perkara, yang disidangkan di tingkat pengadilan.
“Dari 84 perkara, hanya 11 yang tuntutannya berat seperti Rita Widyasari dituntut 15 tahun dan Nur Alam 18 tahun,” imbuh Kurnia.
“Ada disparitas tuntutan. Ada kasus yang dimensinya sama, pasal dakwaan sama, nilai kerugian sama, misalnya kasus mantan Bupati Dompu kerugian negara Rp 3,5 miliar, tuntutan 2,5 tahun. Mantan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh, kerugian negara hampir sama Rp 4 miliar, tuntutan Abdullah Puteh 8 tahun,” terang Kurnia.
Terakhir, Kurnia menandaskan rata-rata sanksi pidana penjara yang dijatuhi hakim di Mahkamah Agung (MA) terhadap kepala daerah yang terbukti korupsi selama 7 tahun.
“Dari 84 kasus, 5 divonis ringan. 4 dari 5 perkara yang mendapat vonis ringan tidak diketuai Artidjo. Kita melihat belum ada pandangan yang sama antara hakim-hakim MA dengan Artidjo. Putusan adalah mahkota dari pengadilan dan ICW sangat kecewa melihat putusan sidang kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah,” tandas Kurnia. (det/hud)
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry