Khotbah merupakan salah satu rangkaian yang wajib dilakukan dalam ibadah Jumat.

Seorang khotib di dalam khotbahnya wajib berpesan berupa nasihat kepada jamaah agar meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Pesan ketakwaan ini di samping satu dari lima rukun khotbah, adalah tujuan pokok dari seluruh rangkaian khotbah itu sendiri. Tujuan pokok khotbah ini perlu diingat oleh para khotib. Hal ini diuraikan Syekh Jalaluddin Al-Mahalli dalam karyanya Kanzur Raghibin atau lebih dikenal Al-Mahalli dengan kutipan berikut ini.

“ Artinya, “(Washiyyat ketakwaan) karena mengikuti sunah. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir RA bahwa Rasulullah SAW selalu mewashiatkan ketakwaan dalam khutbahnya. (Tidak ada ketentuan mengenai redaksinya) terkait bahasa pesan ketakwaan (menurut pendapat yang shahih). Karena tujuan dari washiat ini adalah penyampaian nasihat,” (Lihat Al-Mahalli, Kanzur Raghibin ala Minhajit Thalibin [Hamisy Hasyiyah Qaliyubi wa Umairah], Masyhad Al-Husainy, Kairo, Juz I, Halaman 277).

Perihal etika khotbah, ulama telah banyak sekali menulis uraian seperti dalam bentuk perilaku khotib tidak perlu mengangkat tangan atau menunjuk-tunjuk saat berkhotbah, dianjurkan berpegang pada tongkat, dan tidak terlalu lama atau kelewat sebentar dalam berkhotbah. Bahkan ulama memberikan batasan perihal pilihan kata dan penggunaan kalimat yang dipakai dalam khotbah seperti keterangan Syekh Abu Zakariya Al-Anshori berikut ini.

“Artinya, “(Seorang khotib) dianjurkan (menyampaikan khotbah dengan bahasa yang efektif) bukan bahasa klise, yaitu kata-kata dan makna yang rendah kualitasnya karena tidak membekas di hati. (bahasa yang mudah dipahami) bukan kata-kata asing yang tidak lazim karena tidak bermanfaat bagi kebanyakan hadirin. Sayyidina Ali RA berkata, ‘Bicaralah kepada orang lain dengan bahasa yang mereka pahami. Apakah kalian ingin Allah dan rasul-Nya didustakan (karena salah kalian dalam penyampaian)?’ HR Bukhari. (durasi pertengahan) antara lama dan sebentar,”

 

Rambu-rambu perihal pilihan kata-kata dan penggunaan bahasa ini mesti dipahami dalam kerangka tujuan pokok khotbah (maqashidul khuthbah) seperti disinggung Syekh Jalaluddin Al-Mahalli di atas. Batasan-batasan perihal bahasa dalam khotbah ini menjadi penting agar penyampaian khotbah para khotib justru tidak menjadi kontraproduktif dengan tujuan pokok khotbah.

 

Adapun materi khotbah yang bernada kampanye atau menyuarakan aspirasi politik praktis sebaiknya dihindari karena mimbar khotbah Jumat bukan forum untuk menyampaikan aspirasi politik praktis. Mimbar khotbah adalah forum sakral di mana para jamaah hadir untuk mendengarkan nasihat-nasihat keagamaan, motivasi ketakwaan, bukan aspirasi politik yang sangat profan, penuh intrik, kepalsuan, dan kebohongan.

 

Belum lagi kalau khotib tidak bisa mengendalikan hawa nafsu sehingga penyampaian khotbahnya berisi provokasi, kebencian, berita bohong, unsur SARA, kata-kata kasar, kabar-kabar latah (hasil share sana-sini) yang tidak terverifikasi. Khotbah seperti ini dapat menimbulkan keresahan jamaah, bahkan mengakibatkan jamaah meninggalkan forum Jumat (na‘udzu billah).

Khotbah sarat kepentingan seperti ini yang dikhawatirkan oleh Sayyidina Ali RA karena sebagian jamaah Jumat bisa jadi malah mempertanyakan keluhuran ajaran Islam itu sendiri hanya karena sebagian khotib tidak mematuhi etika khotbah Jumat.

Tidak heran kalau Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa kemunkaran bisa saja terjadi di masjid. Para dai, penceramah, khotib bisa saja terperosok dalam lubang-lubang kemunkaran saat menjalankan tugasnya di masjid. Kemunkaran di dalam masjid ini disinggung Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin berikut syarahnya oleh Sayid Muhammad Az-Zabidi seperti dikutip berikut ini.

Artinya, “Salah satu bentuk kemunkaran di masjid adalah (ucapan shahibul hikayat [tukang cerita/dongeng] dan ceramah para ustaz yang mencampurkan materi bicaranya dengan kebid’ahan) yang tidak dilakukan oleh ulama salaf. (Shahibul hikayat bila berdusta dalam materi yang disampaikan) kepada hadirin (maka ia telah fasik. Pengingkaran terhadapnya adalah sebuah kewajiban) agar materi yang disampaikannya tidak dijadikan pedoman,”

Catatan Imam Al-Ghazali dan Sayid Muhammad Az-Zabidi di atas menarik batas yang pasti dan jelas antara yang ma’ruf dan munkar, antara yang haq dan batil, dan antara yang sakral dan profan. (nur)