Tampak sejumlah umat islam menggelar Upacara Bendera di Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya. (DUTA.CO/SOVIE)

Sebagian orang mengatakan hormat bendera syirik, menyekutukan Allah. Tidak ada yang boleh diagungkan kecuali Allah. Sementara burung gepeng Garuda Pancasila, dianggap berhala. Benarkah hormat bendera syirik? Garuda itu berhala?

DI INTERNET masih mudah dibaca kelompok yang mengafirkan bangsa Indonesia karena hormat bendera. Mereka menyebut NKRI kepanjangan Negara Kafir Republik Indonesia. Lima sila dianggap doktrin thaghut berbentuk berhala burung gepeng Garuda Pancasila.

“Sila pertama, ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, maknanya banyak tuhan yang maha esa dan mengakui keberadaan tuhan-tuhan itu, yaitu tuhannya Islam, tuhannya Kristen, tuhannya Hindu, tuhannya Budha, tuhannya Konghucu, dan lain-lain, yang masing-masing tuhan adalah maha esa menurut agama dan kepercayaan masing-masing,” demikian bunyi provokasi yang masih mudah ditemui di dunia maya.

Tidak tanggung-tanggu, mereka, kelompok yang ingin merobohkan bangunan NKRI ini, berani menguti Alquran, tentu, dengan pengertiannya sendiri. Bahkan sejumlah hujjah imam madzhab juga dinukil seenaknya. Karenanya, bagi bangsa Indonesia, perlu memahami benarkah hormat bendera itu haram?

M Mubasysyarum Bih Ridlwan menjelaskan dalam aswajamuda.com, bahwa, bendera itu adalah tanda identitas sebuah negara di masa kini. Dahulu bendera digunakan orang Arab untuk menjadi tanda bagi masing-masing kabilah dan golongan. Setiap golongan menjaga betul kemuliaan benderanya. Setiap kali bendera terangkat, menunjukan keagungan sebuah suku. Sebaliknya, bila bendera tersungkur dan direndahkan, menunjukan kehinaan sebuah kabilah. Dalam istilah arab bendera disebut dengan nama ‘al-Rayah’ atau ‘al-Liwa’. Inilah yang mau dhidupkan HTI akhir-akhir ini.

Dalam peristiwa perang Tabuk, pembawa bendera pasukan muslim adalah sahabat Zaid bin Haritsah. Setelah Zaid gugur, diambil alih oleh sahabat Ja’far bin Abi Thalib. Ia berperang dan berjuang membawa bendera sampai terbunuh. Sepeninggal Ja’far, secara bergantian bendera dipegang oleh Abdullah bin Rawahah, Tsabit bin Aqram al-‘Ajlani dan Khalid bin al-Walid.

Yang paling banyak menarik perhatian para sahabat pada waktu itu adalah perjuangan Ja’far bin Abi Thalib mempertahankan eksistensi bendera sebagai simbol jati diri pasukan muslim. Ketika tangan kanannya terpotong, ia memegang bendera dengan tangan kiri. Saat tangan kirinya juga terpotong, ia mendekap bendera dengan kedua lengannya hingga ia terbunuh.

Melihat perjuangan Ja’far mati-matian menjaga dan memuliakan bendera, Rasulullah sedikitpun tidak mengingkarinya. Bahkan Ja’far didoakan Nabi agar kedua tangannya yang gugur diganti oleh Allah dengan kedua sayap di surga kelak. Karena doa Rasulullah tersebut, para ulama’ menjuluki Ja’far dengan sebutan al-Thayyar (yang terbang).

Bagi orang waras, setiap golongan pasti secara antusias menjaga bendera kebangsaannya, tidak rela apabila identitas bangsanya direndahkan. Bila bendera jatuh, maka secepatnya diangkat untuk menunjukan bahwa terdapat kekuatan besar dalam suatu bangsa yang dapat mengangkat harkat martabat mereka.

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa hormat bendera yang kita saksikan dalam berbagai momen kenegaraan menunjukkan kecintaan kepada negara, tanda kepatuhan dalam satu komando serta semangat merawat dan membela tanah air.

“Makna menghormati bendera yang demikian sedikitpun tidak masuk dalam pengertian menyembah atau menuhankan bendera. Dengan demikian, perlu dipertanyakan kewarasan sekelompok orang yang menganggap bahwa hormat bendera adalah bid’ah atau menyembah kepada selain Allah,” jelasnya mengutip Syaikh Athiyyah Shaqr, Fatawa al-Azhar.

Burung Garuda? Itu juga bukan berhala, tapi lambang Negara. Setiap negara mempunyai simbol yang menjadi kebanggaan. Kita mencium hajar aswad karena Rasulullah saw mencium batu tersebut walaupun sudah 1500 tahun yang lalu. Merah putih itu, meskipun hanya sehelai kain itu menjadi satu simbol kehormatan bangsa. Para kiai perlu mensosialisasikan ini kepada putra putri kita. Agar tidak salah faham.

Sebagian kalangan menganggap bahwa sang garuda sosok berhala, patung sesembahan yang diharamkan untuk dipajang. Burung garuda sebagai lambang negara Indonesia merupakan shuroh muharromah (gambar yang diharamkan) sebab merupakan bentuk gambar makhluk hidup utuh dengan anggota tubuhnya yang pembuatnya dianggap lancang menyerupai tindakan Allah dan akan dituntut meniupkan ruh di akhirat kelak. Sekilas pendapat mereka ini benar. Namun, perlu dikaji secara lebih komprehensif.

Al-Habib Muhammad Lutfi Bin Yahya, suatu ketika, dalam silaturrahim ulama thariqah, TNI dan Polri di Pekalongan, mengatakan “Setiap negara pasti memiliki lambang. Lambang kebesaran bangsa. Jati diri bangsa ada di dalamnya. Rasulullah setiap kali perang melindungi bendera sebagai simbol negaranya agar Jangan sampai jatuh ke tanah. Bahkan Sayyidina Ja’far bin Abu Thalib at-Thayyar melindungi liwa’ al-islam (bendera) sampai kaki dan tangannya putus.

“Jadi garuda bukan berhala, melainkan lambang negara. Sebuah simbol yang menjadi kebangaan bagi bangsa Indonesia. Kita mencium hajar aswad karena Rasulullah SAW mencium batu tersebut meskipun sudah berabad-abad tahun yang lalu dan bibir Rasulullah SAW tidak lagi menempel di hajar aswad. Inilah salah satu contoh dari simbol kebanggaan, simbol kebesaran,” demikian Maulana Habib Luthfi di hadapan Menhan.

Di sisi lain, lambang negara merupakan pemersatu bangsa. Sekiranya semangat kebangsaan dan nasionalisme tidak akan sempurna tanpanya. Dalam konteks keIndonesiaan, lambang yang disepakati seluruh rakyat Indonesia adalah burung garuda. Lambang negara merupakan salah satu media untuk meningkatkan cinta kepada tanah air. Menjaga lambang negara sama halnya menjaga keutuhan dan persatuan bangsa. Di dalamnya terdapat keselamatan nyawa orang banyak. Menjaga lambang negara berarti menyelamatkan nyawa orang banyak.

Melihat fakta bahwa burung garuda sebagai pemersatu dan dapat melindungi bangsa dari perpecahan, alangkah tidak sebandingnya dampak positif dan negatifnya. Jika memakan bangkai atau daging babi saja diperbolehkan saat kondisi dlarurat untuk melindungi nyawa pribadi, bagaimana dengan lambang garuda untuk melindungi nyawa 200 juta jiwa? Terlebih jika kita merujuk lebih dalam lagi di dalam literatur fiqh madzahib arba’ah, bahwa masalah gambar burung garuda ini adalah persoalan khilafiyyah yang tidak patut untuk diinkari. (awj,net)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry