Oleh Junaidi Khab*

 

Keinginan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk mengubah Pancasila dengan negara dengan sistem khilafah merupakan salah satu tantangan berat bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbagai upaya pun dilakukan oleh pihak HTI guna mengegolkan pengibaran bendera yang menurut mereka sangat tepat untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia. Fenomena demikian sudah menjadi rahasia umum di lingkungan masyarakat Indonesia. Secara ideologi, HTI sudah jelas-jelas sangat membahayakan Pancasila dan NKRI. Namun, eksistensinya di Indonesia masih bisa bertahan cukup eksis dan ambivalen di lingkungan masyarakat.

Belakangan ini, isu HTI yang mulai mengibarkan benderanya sudah mendapat sorotan dari berbagai publik. Media dan tokoh masyarakat pun juga ikut jengah dengan aktivitas HTI yang secara ideologis mengancam keutuhan NKRI. Sementara dari pihak pemerintah tidak begitu ada respon yang serius dalam menyikapi gerakan HTI tersebut. Satu hal yang sangat aneh memang, pemerintah terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga pada atributnya, dengan gila melenyapkannya. Tetapi, dalam halnya HTI, pemerintah dan aparat penegak hukum di Indonesia masih lemah. Jika diperhatikan secara saksama, HTI memang dibiarkan dan dipelihara di indonesia.

Mengacu pada politik masa masa pemerintahan Soeharto, kita bisa menjadikan suatu cermin yang sekiranya ini bisa dijadikan dugaan tentang keberadaan HTI di Indonesia yang masih bisa bergerak cukup masif. Salim Haji Said (2016:110) menceritakan bahwa pada masanya, Soeharto membentuk Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Secara tidak langsung memberikan gerak bagi lawan politik dari kalangan umat Islam. Tetapi, Soeharto beralasan bahwa dengan keberadaan ICMI, dia sebenarnya mengandangi kalangan radikal dan pemerintahannya bisa dengan mudah untuk mengontrol gerakan mereka. Karen ICMI sebagai gerakan perkumpulan politik, Soeharto menempatkan BJ Habibie sebagai kontrolnya.

Jika HTI keberadaannya memang mengancam eksistensi NKRI dan Pancasila sebagaimana anggapan pemerintah dan masyarakat umum terhadap PKI, maka HTI seharusnya sudah dilarang dan dibubarkan. Selain ajaran-ajaran HTI menjadi kontroversi bagi kalangan muslim lainnya di Indonesia, gerakannya pun terliaht ada sebuah paradoks dari ajaran (syariat) Islam. Dalam beberapa pendapatnya di media-media menunjukkan bahwa gerakan keislaman-syariat HTI perlu dipertanyakan kembali.

Paradoks Gerakan HTI

Dalam ajaran agama Islam, kita sebagai umat muslim diharuskan melakukan dakwah untuk mengajak masyarakat ke jalan yang lebih baik: memerintah pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Berbeda dengan HTI dengan misinya yang ingin menegakkan sistem khilafah atau pemerintahan – yang menurutnya layak – untuk dijadikan sebagai sebuah negara, khususnya Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam.

Di dalam QS. ‘Abasa ayat 1-4 dijelaskan: “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena datang kepadanya seseorang yang buta. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya. Atau ia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat padanya?”.

Sebagaimana dijelaskan oleh Tariq Ramadan (2015) ayat ini turun saat umat Islam dalam keadaan terhimpit, yaitu ketika Nabi Muhammad Saw. melakukan diplomasi dengan seorang penguasa untuk menjaga keharmonisan dengan umat Islam. Pada saat Nabi Muhammad berdiskusi dengan penguasa tersebut, datang seorang yang buta meminta sebuah ajaran tentang agama Islam. Mungkin sebuah diplomasi dianggap penting demi menjaga umatnya, Nabi Muhmmad mengabaikan lelaki buat yang minta disampaikan tentang ajaran Islam. Hingga Nabi Muhammad – sebagaimana digambarkan dalam surah ‘Abasa – berpaling dan bermuka masam. Dengan kata lain, ayat tersebut mengingatkan kepada Nabi Muhammad bahwa menyampaikan ajaran Islam lebih penting daripada mengurusi persoalan pemerintahan: diplomasi.

Tetapi, dalam beberapa pendapat lain, orang yang bermuka masam itu bukan Nabi Muhammad Saw. Tafsiran dalam surah ‘Abasa ini memang terjadi kontroversi. Namun, bagaimana pun juga, antara mendahulukan diplomasi pemerintahan (sebagaimana tergambar dalam surah ‘Abasa) dan menyampaikan tentang ajaran Islam bagi umat manusia, lebih diutamakan menyampaikan ajaran Islam. Dalam hal ini, HTI secara hukum Islam jika memang ingin mendirikan negara dengan sistem khilafah tidak memenuhi panggilan utama dalam ajaran Islam.

Kita perlu memertanyakan antara sibuk mendirikan negara menggunakan sistem khilafah dengan urgensitas melaksanakan ajaran syariat Islam seperti: menyantuni anak yatim, bersedekah bagi mereka yang tidak mampu, membantu masyarakat muslim yang tertindas, dan bersedia melakukan kebaikan tanpa pamrih. Jika kita lihat, HTI secara lahiriah memang mendengungkan syariat Islam, namun substansi pengamalan keislamannya masih perlu kita pertanyakan lebih dalam lagi. Kita jarang melihat peserta HTI yang terlibat dalam berbagai gerakan sosial, membantu masyarakat secara suka rela tanpa mengharap mereka masuk ke HTI, atau berderma dengan ikhlas tanpa memersuasi mereka untuk masuk HTI.

Sebagaimana kita perhatikan, segala aktivitas HTI: baik pengaderan, aksi sosial (jika ada) pada intinya ingin mengajak untuk menjadi anggota HTI dan mendukung misinya mendirikan negara dengan sistem khilafah di Indonesia. Untuk menjalankan atau mendakwahkan syariat Islam, sebenarnya kita tidak usah menunggu memiliki negara dengan sistem apa pun. Ibarat mau bersedekah, masih nunggu memiliki harta menggunung. Itu mimpi orang-orang yang berbuat baik yang tidak bisa bangun dari tidurnya. HTI mau dibubarkan atau tidak, itu tugas dan tanggung jawab pemerintah. Namun jika HTI tidak dibubarkan, berarti ada manuver politik terselubung di dalamnya.

 

* Penulis adalah Akademisi asal Sumenep, lulusan UIN Sunan Ampel Surabaya. Sekarang Bergiat di Komunitas Rudal Yogyakarta.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry