Suasana Kegiatan Tafkirul Afkar yang dihidupkan kembali oleh aktivis muda NU Jatim di Kantor PWNU Jatim, Selasa (9/5) malam. (FT/DUTA.CO/SUUD)

Kegiatan Tafkirul Afkar dihidupkan kembali oleh aktivis muda NU Jatim. Kegiatan ini diawali dengan membongkar embrio Hizbut Tahrir, di mana HT (Indonesia) baru saja ‘dikartu merah’ oleh pemerintah. Berikut Laporan Fatih Suud, wartawan Duta Masyarakat.

SURABAYA | duta.co – Aktivis muda NU lintas Banom dan Lembaga internal PWNU Jatim menggelar cangkruk pikir (Cangkir) mengangkat berbagai tema aktual seputar ke-NU-an, ke-Indonesian-an,  pendidikan, sosial, kebudayaan dan lain-lain yang dikemas secara ilmiah, kontekstual, solutif dan menyenangkan tanpa ada tendensi atau agenda apapun selain untuk kemaslahatan NU dan bangsa.

Kegiatan Tafkirul Afkar yang dihidupkan kembali oleh aktivis muda NU Jatim di Kantor PWNU Jatim, Selasa (9/5) malam itu sengaja mengambil tema Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Undercover menghadirkan dua narasumber yang sangat berkompeten, yaitu Dr Aunurrofiq Al Amin MAg (mantan tokoh HTI Jatim) dan Dr  Imam Ghozali Said MA (Dekan Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya).

Menurut Dr Aunurrofiq, HTI mudah tumbuh dan berkembang di Indonesia karena mereka pandai melakukan kamuflase dan adaptasi dalam mempromosikan dan mempertahankan ide tentang pendirian khilafah. Bahkan HTI tak segan menghalalkan apa yang pernah diharamkan, asal bisa mempercepat tujuan mendirikan khilafah di dunia khususnya di Indonesia.

“Dulu demo itu dilarang oleh HTI tapi karena (sekarang) dianggap sarana yang bisa mempercepat jualan ide ke masyarakat dan pemerintah sehingga mereka menghalalkan cukup mengganti istilah demo dengan longmarch, unjuk rasa atau masirah,” terang mantan dedengkot HTI di Kampus Unair Surabaya ini.

HTI, lanjut Aunurrofiq juga tak segan menggunakan strategi menyerap tradisi yang berkembang di masyarakat khususnya di kalangan nahdliyin seperti tahlilan, yasinan dan istighotsah serta ujaran tokoh NU. “Mereka juga memakai sebutan kiai untuk tokohnya, gunakan jargon Islam Rahmatan Lil Alamin, mendirikan pesantren dan gunakan pakaian ala santri,” bebernya.

Dalam pengumpulan massa, HTI juga kerap memanipulasi tujuan aksi supaya tak mudah diketahui orang lain. “Terbukti khan, pada aksi di Masjid Akbar Surabaya beberapa waktu lalu, ternyata sebagian massa tak tahu kalau diajak mendukung aksi HTI karena mereka pada awalnya hanya diajak ziarah walisongo ke Sunan Ampel lalu mampir sebentar ke Masjid Akbar Surabaya,” ungkap keluarga besar Ponpes Tambakberas Jombang ini.

HTI juga cerdik menunggangi isu-isu yang berkembang di Indonesia dengan memainkan logika. Terbaru, kata Aunurrofiq mereka sukses mendompleng Pilkada Jakarta dengan dakwah anti-kekerasan padahal Hizbut Tahrir di Syria juga ikut berperang. “Contoh lainnya, orang yang melanggar undang-undang itu sama dengan orang yang anti-undang-undang. Padahal realitasnya berbeda,” dalih Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Sementara itu narasumber lainnya, Dr KH Imam Ghozali Said menegaskan bahwa HT adalah organisasi atau gerakan Islam yang paling gagal di dunia. Pasalnya, mereka gagal mewujudkan konsep khilafah di berbagai belahan dunia sehingga mereka tak memiliki contoh riil yang bisa ditiru dan sudah teruji.

HT berdiri sejak tahun 1952 di Palestina didirikan oleh Taqiuddin An Nabhani cucu dari Syech Yusuf An Nabhani di Palestina sebagai bentuk reaksi ketidakberdayaan atas kondisi bangsa Palestina terhadap upaya migrasi kaum Yahudi dari berbagai belahan dunia ke Palestina yang dimulai sejak tahun 1917.

“Migrasi Yahudi itu tertuang dalam Perjanjian Platford Inggris paska Turkey kalah perang melawan Sekutu dan Palestina dijadikan Mandatory Goverment di bawah Inggris,” terang Kiai Ghozali.

Sebelum mendirikan HT, Taqiuddin pernah bergabung dengan Ikhwanul Muslimin (IM) yang didirikan oleh Hasan Al Bana pada Tahun 1928. Namun dia kecewa khilafah di Palestina dibubarkan pada Tahun 1948 bersamaan dengan pendirian negara Israel di Palestina. Ironisnya, Ikhwanul Muslimin justru mendukung nasionalisme.

“Makanya pada tahun 1952, Taqiuddin mendirikan Hizbut Tahrir dengan target 20 tahun mampu memiliki khilafah di Palestina dan 50 tahun khilafah ke seluruh dunia. Tapi realistasnya gagal total, bahkan HT kalah dengan wahabi yang bisa mendirikan negara di Saudi Arabia, Ikhwanul Muslimin di Jordania atau Syiah melakukan revolusi tahun 1979 berhasil mengusai Iran,” beber Kiai Ghozali.

Ketika mengenyam pendidikan di Sudan, pemangku Ponpes Al Ghozali ini juga pernah berinteraksi langsung dengan tokoh-tokoh HT di jazirah Arab yang sekarang mengakui konsep khilafah HT sulit diwujudkan di era modern seperti sekarang. “Sudah tahu HT itu gerakan Islam yang gagal total, bahkan di berbagai negara malah dibubarkan dan dilarang keras tapi di Indonesia kok malah dibiarkan,” kelakar pria asli Madura ini.

Metode dakwah HT secara prinsip itu ada dua. Pertama, Tahdiful Ummah (mencerdaskan masyarakat) dengan cara dialog dan debat yang cirinya selalu menyalahkan orang luar Islam. Kedua, Tafaúl Maál Ummah (membantu masyarakat). “Saya pernah diajak debat dua kali, pertama di Asrama Haji Sukolilo Surabaya dan kedua di Wisma Bahagia Ketintang dengan Sidiq Al Jawi. Mereka itu cerdik dan culas, ketika kalah argumen dan dalil justru pernyataan saya dipotong seolah pendapat mereka yang paling benar, lalu disebarkan,” kenang Kiai Ghozali Said.

Ditegaskan KH Imam Ghozali Said, masalah khilafah sebenarnya persoalan ijtihadi (ikuti perkembangan jaman). Sebab rasulullah tidak pernah secara tegas menganjurkan sistem khilafah. Bahkan sistem kepemimpinan tunggal hanya berlangsung sekitar 30 tahun, yaitu di masa rasulullah 10 tahun dan khulafaur  rasyidin 20 tahun.

Sedangkan di masa Bani Umayyah yang berlangsung selama 90 tahun, lanjut Kiai Ghozali tidak sepenuhnya kepemimpinan tunggal. Alasannya, pusat kepemimpinan islam terbagi dua, yaitu di Baghdad (Iraq) dan Cordoba (Spanyol). “Di masa Bani Umayyah khilafah di Baghdad membawahi Maroko dan Mesir. Sedangkan di Cordoba membawahi kerajaan-kerajaan kecil berdasarkan etnis (suku),” ungkapnya.

Pertimbangan lainnya, Hadits Nabi yang dijadikan dasar HTI mendirikan sistem khilafah, yaitu “Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat tanpa memiliki hujah. Dan siapa saja yang mati sedang di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia mati seperti kematian Jahiliyah” merupakan Hadits Ahad sehingga tak bisa dijadikan Tauhid (keyakinan).

“Artinya kalau orang Islam tak mendirikan atau berbaiat pada khilafah itu tidak membatalkan keislaman seseorang. Namun HTI beranggapan ada tidak ada khilafah harus ada karena mereka menggunakan qiyas maál farid dalil Aqimus Sholat (Mendirikan Sholat) sehingga berdosa kalau tidak ada orang Islam yang mendirikan sholat. Dalam fiqh masuk bahasan ushulul hukum,” beber Kiai Ghozali.

Di tambahkan Kiai Ghozali, paska keruntuhan khilafah Usmani (Otoman) tahun 1924 merupakan era ijtihad untuk menemukan sistem kepemimpinan di masing-masing negara (bangsa) dengan mengedepankan bagaimana orang ibadah, muamalah dan pidana bagi orang Islam bisa diterapkan.

Terlambat Justru Membawa Berkah

Dikisahkan Dr KH Imam Ghozali Said MA, setelah Mesir merdeka pada Tahun 1922, sistem kekhalifahan di Turki era Kamal Attartuk dibubarkan pada Tahun 1924. Setahun setelah itu tepatnya pada Tahun 1925, Raja Fuad I penguasa Mesir menggelar Kongres Khilafah mengundang organisasi islam dari berbagai belahan dunia termasuk dari Jawi (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand).

Perwakilan dari Indonesia yang hadir diantaranya H Umar Said Cokroaminoto (Muhammadiyah), dari Sarikat Islam (SI) dan tradisional diwakili KH Wahab Hasbullah (NU belum lahir). Sayangnya, Mbah Wahab terlambat sebab ketika sampai di Mesir kongresnya sudah bubar. “Data ini saya temukan ketika saya belajar di Mesir. Kalau HTI bilang NU ikut mendukung kongres khilafah itu tidak benar sebab saat itu NU belum lahir dan Mbah Wahab terlambat,” beber Kiai Ghozali disambut gelak tawa hadirin.

Hasil kongres khilafah, lanjut Kiai Ghozali tidak menghasilkan apa-apa. Pasalnya, masing-masing utusan ingin menjadi khilafah sendiri-sendiri. Misalnya, Abdul Aziz ingin mendirikan khilafah di Arab Saudi. Syech Ali Abdur Rasyid dari Mesir sendiri khawatir kalau yang jadi khilafah adalah Raja Fuad I karena mudah dikendalikan Inggris. “Karena tak mendukung Raja Fuad I, Syech Ali Abdur Rasyid kemudian dicopot dari jabatan hakim,”  terangnya.

Utusan Jawi juga tidak sepakat karena selama ini mereka berjuang di daerahnya masing-masing dalam menegakkan syariat Islam tanpa mendapat bantuan dari khilafah. Sepulang dari Mesir, KH Wahab Hasbullah intensif  diskusi (debat) dengan Dr Soetomo (Budi Utomo, Ir Luthfi (Medan) maupun A Hasan (Persis) terkait model negara jika Indonesia merdeka.

“Makanya pada pembahasan Piagam Jakarta, utusan NU Wahid Hasyim ngotot memasukkan 7 kata (dengan menjalankan syariat agama Islam bagi pemeluknya) pada sila pertama Pancasila. Namun, atas saran Hadratus Syech KH Hasyim Asyári 7 kata itu akhirnya dihapus sehingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa,” ungkapnya.

Pada pemilu pertama di Indonesia tahun 1954, partai-partai Islam yang jumlah kursinya kalah di parlemen berusaha mengubah UUD 1945 menjadi konstituante. Namun pemerintah kemudian mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang isinya memerintahkan kembali pada UUD 1945. Secara de fakto dan de jure Indonesia adalah negara Islam karena UU yang diterapkan menggunakan sistem Islam seperti UU Perkawinan maupun kompilasi hukum Islam.

“Jangan dirikan negara yang sudah Islam karena akan berhadapan dengan NU maupun Muhammadiyah dan ormas Islam lain di Indonesia. Dalam konteks modern, khilafah yang anti Nation State (negara kebangsaan) itu sulit terwujud karena ada lembaga internasional seperti PBB. Justru keberadaan OKI, IDB itu lebih realistis untuk solidaritas membantu negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim,” pinta KH Imam Ghozali Said.

Ajak HTI Rujuk Ilal Haq Ala Minhajin Nubuwah

Setelah secara politis pemerintah membubarkan HTI, Kiai Ghozali juga menyerukan kepada seluruh elemen bangsa supaya tidak membenci bahkan memusuhi HTI. Pasalnya, syahadat HTI itu sama dengan mayoritas muslim di Indonesia. “Hizbut Tahrir adalah organisasi transnasional yang tak mau mengakui nation state karena dianggap thoghut (setan). Ironisnya, HTI justru ingin dirikan negara dalam negara sehingga ini jelas bertentangan konstitusi di Indonesia,” jelasnya.

Di Indonesia, kata Kiai Ghozali, HTI berkembang dengan pesat karena dikampanyekan negara ideal walupun tak ada contohnya sehingga orang mudah terbuai dengn konsep normatif. Padahal realitasnya tak ada di dunia yang menggunakan sistem khilafah ala HTI. “Hizbut Tahrir itu gerakan Islam di dunia yang paling gagal, sehingga tak layak untuk ditiru,” tegasnya

Ia juga mengapresiasi upaya pemerintah membubarkan HTI yang secara politis sudah dilaksanakan, tinggal menunggu putusan hukum pengadilan karena mengacu pada UU No.17 tahun 2013 tentang Ormas. Tujuan pembubaran adalah shock theraphy mau memberi pelajaran supaya HTI kembali pada pangkuan ibu pertiwi.

“Kami ajak HTI supaya Rujuk Ilal Haq Ala Minhajin Nubuwah untuk membangun NKRI bersama-sama. HTI itu sebenarnya tidak banyak berbeda dengan ormas Islam di Indonesia kecuali dalam konsep negara kebangsaan sebab HTI anti negara kebangsaan,” ungkapnya.

Upaya penyadaran dapat dilakukan melalui dialog tak usah pakai kekerasan sebab organisasi HTI sudah bagus asal mereka mau menghentikan sistem khilafah sehingga bisa sama dengan ormas Islam lainnya. “Kalau bagi anggota HTI yang masih awan bisa diajak dialog untuk penyadaran. Tapi untuk tokoh-tokohnya biarlah mereka merenung melakukan kontemplasi,” kata kiai Ghozali.

HT selalu mengalami kegagalan karena tidak memiliki tokoh atau sengaja disembunyikan sebagai bagian dari strategi perjuangan dakwah. Pimpinan HTI hanya dikenal dengan istilah juru bicara. “Tapi saya tahu siapa pemimpin sebenarnya karena sering diajak debat. Kalau di Jordania dulu bernama Abu Rusta. Sedangkan di Indonesia itu pemimpinnya orang Bogor yang nama pesantrennya sama dengan pesantren saya, dia juga dari kalangan nahdliyin namanya KH Abdullah Bin Nuh,” imbuhnya.

Senada, Dr Aunurrofiq menyatakan HTI tidak sesuai dengan NKRI namun cara dakwah mereka bagus sehingga tak perlu dimusuhi. HTI sejatinya organisasi politik yang ingin menegakkan khilafah yaitu sistem politik untuk seluruh dunia sehingga mereka tak mengakui negara kebangsaan (nation state) termasuk Indonesia dianggap thoghut.

“Saya dulu belajar di kampus Unair banyak bergaul dengan orang-orang HTI sehingga jadi terpengaruh. Namun setelah meneruskan kuliah ke UIN Sunan Ampel sehingga makin tahu dan paham kalau HTI itu melenceng sehingga kemudian saya keluar dari HTI,” dalih salah satu dosen di UIN Sunan Ampel ini.

Untuk menghambat organisasi yang melenceng berkembang di PTN, Aunurrofiq menyarankan supaya kampus menyelenggarakan gerakan atau kegiatan yang sifatnya jamaah seperti tahlilan, istighosah atau diskusi supaya mahasiswa tak mudah terseret. “Pengalaman saya dulu di PTN jarang ada kegiatan jamaah, sehingga mahasiswa mudah terpengaruh karena tidak memiliki pembanding,” bebernya.

Strategi HTI mempengaruhi mahasiswa PTN dilakukan secara sistematis, massif dan terstruktur. Bahkan saat ada mahasiswa baru, mentor diupayakan berasal dari anggota HTI agar memudahkan memasukkan ide dan konsep khilafah ke mahasiswa baru.

“Masjid kampus adalah sentral pergerakan sehingga wajib dikuasai dan mewaspadai gerakan lain yang memanfaatkan sarana masjid kampus. Makanya saya dulu sampai pernah bertengkar karena ingin mengusai masjid sehingga diusir oleh rektorat,” kenang dosen nyentrik ini. (*)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry