Ulama sufi dari Turki, Syeikh Assayid Prof DR Muhammad Fadhil al-Jailani (cicit dari ulama sufi Syekh Abdul Qadir Jailani), memimpin “Ikrar Mualaf” jamaah wanita (muslimah), Antonia Nolla Apresia S (25), di Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya (MAS), Jumat (10/1).

Oleh: Bakhtiar Syifa Alluthfi, Santri Ma’had ‘Aly Krapyak Yogyakarta

PUASA merupakan Rukun Islam yang kelima. Puasa dapat diartikan sebagai meninggalkan makan, minum, hubungan seksual, dan segala hal yang membatalkannya sejak terbitnya fajar shadiq sampai terbenamnya matahari. Semua umat Islam yang telah baligh, berakal, dan mampu (kuat) diwajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ ۝١٨٣

Yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Dalam ayat di atas sudah jelas dinyatakan bahwa puasa itu wajib dilaksanakan oleh seluruh orang yang beriman. Adapun puasa yang diwajibkan bagi umat islam adalah Puasa Ramadhan. Kita yang mengaku sebagai orang yang beriman sudah semestinya dapat melaksanakan perintah tersebut. Seorang mualaf juga wajib melaksanakan ibadah puasa dikarenakan sudah menjadi bagian dari seorang muslim. Lantas, apa hikmah spiritual yang didapat oleh seorang mualaf ketika melaksanakan ibadah puasa? dan apakah ibadah puasa mepengaruhi keimanan seseorang? Semua pertanyaan tersebut akan kami paparkan dalam penjelasan di bawah ini.

Sejarah Puasa Pertama Kali

Dikutip dari pendapat Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ li Ahkam Al-Qur’an bahwasanya puasa Ramadan pertama kali dilakukan oleh Nabi Nuh AS saat keluar dari bahteranya. Nabi Nuh AS dan para pengikutnya melaksanakan puasa sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas selamat dari bencana banjir besar.

Dalam Tafsir At-Thobari dijelaskan bahwa puasa yang diwajibkan bagi umat manusia adalah puasa tiga hari setiap bulan, kemudian hukum tersebut dinasakh atau dihapus setelah turunnya surat Al-Baqarah ayat 183. (Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wîl Ayi al-Qur’an, juz 3, hal 157-158).

Adapun puasa pada zaman Nabi Muhammad SAW seperti yang dikutip dari NU Online, Sebelum kewajiban puasa Ramadan ditetapkan, umat Islam telah terbiasa berpuasa pada tanggal 10 Muharram atau Hari Asyura. Setelah Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, beliau mendapati bahwa kaum Yahudi juga melaksanakan puasa pada hari tersebut sebagai bentuk rasa syukur atas keselamatan Nabi Musa dan pengikutnya dari kezaliman Firaun. Nabi Muhammad ﷺ kemudian menganjurkan umat Islam untuk turut berpuasa pada hari itu, mengikuti sunnah Nabi Musa.

Pada awalnya, aturan puasa mengharuskan umat Islam menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri mulai dari fajar hingga maghrib. Setelah berbuka, mereka diperbolehkan menikmati makanan dan berhubungan hingga waktu Isya dan tidur. Namun, setelah tidur, mereka tidak diperbolehkan makan atau minum hingga waktu berbuka kembali. Karena aturan ini cukup berat dan banyak yang kesulitan menjalaninya, Allah SWT kemudian menurunkan QS. Al-Baqarah ayat 187. Dalam ayat ini, Allah mengizinkan umat Islam untuk makan, minum, dan berhubungan suami istri sepanjang malam hingga terbit fajar. Perubahan aturan ini disambut dengan kebahagiaan oleh umat Islam sebagai bentuk kasih sayang dan keringanan dari Allah SWT.

Hikmah Puasa Bagi Mualaf

Kata Mualaf secara etimologi berasal dari bahasa Arab, “ألف” (al-lafa), yang berarti “menjinakkan”, “menggabungkan”, atau “mempersatukan”. Mualaf diambil dari ungkapan “مؤلفة قلوبهم” (mu’allafatu qulubuhum), yang berarti “orang-orang yang hatinya dijinakkan”. Dengan demikian, secara bahasa, mualaf dapat diartikan sebagai individu yang hatinya dilunakkan atau dijinakkan agar tertarik pada Islam. Sementara itu, secara terminologi, mualaf merujuk pada orang non-Muslim yang baru memeluk agama Islam.

Adapun seorang mualaf diwajibkan berpuasa sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah SWT. Dengan berpuasa, seseorang yang baru masuk Islam akan merasakan bahwa Islam adalah agama yang indah. Bagaimana tidak, dengan berpuasa seseorang yang mampu secara materi akan merasakan kesusahan yang dirasakan oleh orang miskin. Mulai dari lapar sebab tidak adanya makanan, lelahnya beraktifitas karena kurangnya tenaga, jenuh menahan keinginan untuk liburan dikarenakan kondisi finansial yang kurang memadai, serta berbagai kesusahan – kesusahan lainnya. Hal ini menandakan bahwa Islam itu agama yang merangkul semua golongan, peduli satu sama lain, dan menyatukan dalam lingkaran Ukhuwah Al-Islamiyyah.

Di sisi lain, orang mualaf juga mendapat keringanan tidak perlu menqadha puasanya yang terdahulu semasa belum masuk Islam. Tidak bisa dibayangkan kalau mualaf tersebut masuk Islam pada usia 50 tahun dan harus menqadha seluruh tanggungan puasanya. Imam Nawawi dawuh dalam kitab Ar-Raudhah:

وَأَمَّا الْمَجْنُونُ إِذَا أَفَاقَ، وَالْكَافِرُ إِذَا أَسْلَمَ، فَالْمَذْهَبُ: أَنَّهُمَا كَالصَّبِيِّ الْمُفْطِرِ، فَلَا قَضَاءَ عَلَى الْأَصَحِّ

Artinya: Adapun orang gila ketika telah sembuh dan orang kafir ketika baru telah masuk Islam, maka dalam mazhab ini (syafi’iyyah) dikatakan bahwa keduanya sebagaimana halnya seorang anak yang tidak berpuasa, yakni tidak dibebankan qadha’ menurut qaul ashah. [Rauḍah at-Ṭālibīn, 2/373]

Hal ini tentu akan menambah keimanan mereka terhadap syariat Islam yang tidak memberatkan, justru semakin yakin bahwa syariat Islam adalah syariat yang benar dari Allah SWT terbukti adanya sifat kemurahan Allah dalam syari’at Islam.

Dengan demikian, bukan hal yang tidak mungkin orang yang mualaf akan bepuasa lebih dari sekedar menahan lapar dan dahaga, melainkan juga menahan seluruh anggota tubuh dalam berbuat dosa, serta menyempurnakan puasa dengan hal-hal positif untuk memperoleh makna spiritual puasa. Dalam artian mereka (orang mualaf) bertambah keimanannya dan naik kedalam tingkatan Puasa Khusus. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin:

وأما صوم الخصوص وهو صوم الصالحين فهو كف الجوارح عن الآثام وتمامه بستة أُمُورٍ

Artinya: “Adapun Puasa Khusus adalah puasanya orang-orang shalih yakni telah mampu mencegah seluruh anggota badannya dari melakukan perbuatan dosa dan berusaha menyempurnakan puasanya dengan enam amalan-amalan” [Ihya Ulumiddin, Juz 1, Hal 305]

Imam Ghazali lalu menyebutkan enam perkara atau amalan yang dapat menyempurnakan ibadah puasa, antara lain yaitu: Pertama, Menjaga pandangan dari segala sesuatu yang tercela dan munkar, juga dari sesuatu yang memalingkan perhatian dari mengingat Allah SWT. Kedua, Menjaga lisan dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, memfitnah, perkataan yang kotor dan keji, menghina, serta ungkapan yang dipenuhi kebencian. Ketiga, Menjaga pendengaran dari mendengar sesuatu yang dilarang. Keempat, Menjaga tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan munkar. Juga menjaga perut dari memakan yang syubhat saat berbuka. Kelima, Mencegah makan yang terlalu banyak saat berbuka, meskipun makanan tersebut halal. Hal tersebut supaya perut tidak kekenyangan. Keenam, Tetap memelihara hati setelah berbuka agar tetap khusyu’ kepada Allah SWT melalui sikap Khauf & Rodja (takut & berharap). [Ihya Ulumiddin, Juz 1, Hal 305-307]

Kesimpulannya, ibadah puasa merupakan ibadah yang sarat akan nilai-nilai sosial, tidak hanya ibadah yang sifatnya ukhrowiyah tetapi juga dunyawiyah. Dengan berpuasa, kita bisa lebih bersyukur terhadap rezeki yang telah dilimpahkan Allah SWT. Berpuasa juga bisa meningkatkan iman serta taqwa bila kita sertai dengan niat yang baik dan penuh keikhlasan. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat kepada siapapun yang membacanya. Aamiin.(*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry