SURABAYA | duta.co – Awalnya, mengucapkan kalimat syahadat pada 1985, hanya sebatas formalitas yang dilakukan I Wayan Titib Sulaksana untuk bisa menikahi Ony Maharani. Pasalnya, Ony Maharani maupun keluarganya hanya mau menerima Wayan Titib kalau menikah secara Islam. Dan, pria kelahiran Bali, 10 Agustus 1956 itu, memenuhi syarat tersebut. “Ya, nurut saja. Mengucap syahadat, tapi ya gitu, belum sepenuhnya berserah,” ujar Wayan Titib kepada duta.co tepat 1 Ramadan 1442 Hijriyah atau Selasa (13/4/2021).

Kehidupan spiritual Wayan amat garing. Dia tak peduli agama. Baik agama Hindu yang dianut sebelumnya maupun agama Islam. Ony Maharani tak bisa memaksa Wayan Titib. Ony hanya bisa berdoa agar Allah swt membuka pintu batin suaminya untuk mau melaksanakan ajaran agama Islam secara kaffah.

Batin yang kosong. Begitulah pengakuan Wayan Titib, sebelum dia benar-benar belajar Islam. Dia kerap dilanda kegalauan. Hampa.Dunia yang ia kejar lewat karir sebagai advokat dan dosen di Unair, tak memberinya kepuasan.

Wayan Titib mengaku hanya menjalankan rutinitas. Berangkat kerja, mengajar, dan pulang. Satu hal yang selalu membuat Wayan Titib terusik, nuraninya tak bisa diam manakala ada ketidakadilan dan penindasan kaum papa.

Hasrat Wayan Titib terdorong mencari pelarian dan pelampiasan. Tak jarang, ia membunuh sepi dengan menikmati gemerlap dunia malam. Wayan Titib menikmati kehidupan kelewat bebas. Dia sering menghabiskan malam di diskotek dan pub.

“Saya melakukan semuanya di dunia malam. Kecuali judi, saya tak suka,” ucap dia.

Kehidupan semu telah memabukkan Wayan Titib. Dia larut tanpa pernah tahu ujung waktunya. Wayan Titib melakoni kehidupan kelam tersebut delapan tahun, mulai 1985 sampai 1993.

Kendati sudah menyandang status Islam, Wayan Titib tidak menunaikan salat lima waktu. Jika terpaksa, ia ikut Salat Id. Pun puasa Ramadan. Hanya karena sungkan, kalau Ramadan ia makan sembunyi-sembunyi.

Tahun 1993, ada yang ‘aneh’ dirasakan Wayan Titib. Tiba-tiba ia merasakan kesyahduan, keteduhan, tatkala  mendengar suara Sahan, pembantunya.

Ceritanya, selepas salat subuh, Sahan selalu mengaji. Tartil. Tajwidnya bernas. Nadanya renyah. Pria asal Bojonegoro itu juga piawai melantunkan kalimat-kalimat talbiyah, layaknya seorang qori.

“Saya tak tahu apa artinya. Tapi saat dia (Sahan) ngaji, saya merasakan getaran dalam hati,” tutur Wayan.

Sejak itu, tiap pagi, Wayan Titib punya kesibukan baru. Bangun pagi-pagi, lalu mengambil duduk di dekat pintu kamar Sahan. Mendengarkan suara Sahan.

Wayan Titib lantas meminta Sahan mengajari anak sulungnya, Aditya Nugraha. Sahan tak keberatan. Sahan telaten ngajari Aditya. Tentang cara melaksanakan salat dan membaca buku Iqra sebagai tahap permulaan membaca Alquran. Sahan kerap memberi nasihat bijak kepada Aditya.

Suatu sore, Aditya sedang nonton asyik televisi. Gak mau diganggu, Aditya tak hiraukan azan maghrib. Sahan lalu mengajak Aditya ke masjid. Aditya menolak.

Ulah Aditya tersebut diketahui Wayan Titib. Seketika, ia minta Aditya mematikan televisi. Tapi, Aditya menolak.  Wayan Titib mendekati Aditya. Dengan wajah memerah, ia memerintahkan anaknya itu segera ke masjid.

Aditya kesal. Meski menyerah dengan mematikan televisi, ia tetap saja tak mau pergi ke masjid. Aditya memilih duduk sambil memeluk bantal.

Wayan Titib geram. Dia lantas mengambil sapu di dekat pintu dapur. Wayan Titib mengancam. “Salat apa enggak!” Wayan mengacungkan sapu. Aditya kaget, lalu berontak. “Kok saya tok disuruh salat, Bapak sendiri kan nggak pernah salat?”

Wayan Titib terdiam. Jawaban anaknya tersebut membuat batinnya sempoyongan. Dia lalu ngeloyor pergi ke kamar tidur dan menguncinya. Di dalam kamar, Wayan Titib tertunduk. Dia benar-benar merasa terpukul.  Wayan Titib menangis sesunggukan. Dia amat malu dengan kejadian yang baru dialami.

“Saya sedih, betapa tak berharganya diri saya waktu itu,” tutur Wayan Titib.

Wayan Titib menyadari arti keteladanan. Segala ucapan dan tindak tanduk orang pasti akan dilihat, ditiru. Jika memang menyuruh anak salat, orang tua wajib melakukannya.

Beberapa hari ia merenung. Hingga menemukan jawaban: tak ada kata terlambat. Dia harus berIslam lagi. Bersyahadat lagi. Wayan Titib berupaya melupakan kejadian itu. Saat mengajar di Unair, dia curhat sahabatnya, Hj Sundari Kabat, dosen FH Unair. Sundari adalah istri Prof Dr H Kabat, dr SpP(K), Guru Besar bidang ilmu pulmonology dan kedokteran respirasi Unair yang kini sudah almarhum.

Kembali Islam

Lewat bantuan Sundari, Wayan Titib bersyahadat lagi di Masjid Al-Falah Surabaya, awal Mei 1993. Bertepatan awal puasa Ramadan. Kali pertama menunaikan salat pasca bersyahadat lagi, saat ia masih tinggal di Kawasan Kenjeran. Di sana, ada Masjid Al-Islah. Meski pernah salat, Wayan Titib tak ingat gerakan takbir, ruku, sujud, dan seterusnya. Pun bacaan salat.

Tepat di depan masjid ia berhenti. Dia melihat orang tua datang lalu menuju tempat wudu. Wayan mengikutinya. Ia mengambil posisi sejajar. Gerakannya sengaja diperlambat sembari matanya melirik orang tua itu. Mulai cuci tangan, berkumur, membasuh muka dan tangan, hingga membasuh kepala, telinga, dan kaki.

Usai berwudu, Wayan Titib masih mengikuti orang tua itu. Kali ini, orang tua berhenti, lalu mengambil shaf di tengah. Dia menunaikan salat. Wayan Titib mengambil posisi di belakang. Ia baru tahu jika sebelum salat wajib, disunahkan salat tahiyatul masjid dua rakaat. Wayan Titib lalu ikut salat subuh berjamaah.

Khitan Usia 39 Tahun

Ada kisah lucu yang ia ceritakan, setelah ber-Islam, Wayan Titib pernah dibuat nervous. Kenapa? Saat itu, sekitar tahun 1995, H Kabat pernah menegur dia. Katanya kalau sudah ber-Islam harus dikhitan. Wayan Titib tersentak.

“Saya kan paling takut suntik. Dokter Kabat memaksa harus khitan. Kalau tidak khitan salat saya tidak sah. Saya nurut saja,” ucap Wayan yang saat dikhitan berusia 39 tahun sambal tersenyum.

Ditentang Keluarga

Ikhwal diketahuinya Wayan Titib telah menjadi muslim, saat keluarganya datang dari Bali, 1995. Kebetulan pas hari Jumat, di mana kebiasaan dia menjalankan solat Jumat. Ia berpamit ke masjid saat mereka tengah asyik mengobrol. Sontak hal itu membuat keluarganya kaget, dan tak bisa berkata-kata. Mereka pamit pulang ke Bali.

Sang ayah, I Komang Tjau, paling keras menentang dia. Komang marah besar saat tahu Wayan Titib menasbihkan diri sebagai muslim. Komang awalnya tak mempersalahkan Wayan Titib menikah secara Islam.

Seperti halnya dia yang menikahi Soekarni binti Sastrowardojo (ibu Wayan Titib) secara Islam, namun Komang tetap penganut Hindu. Menikah hanya masalah administratif. Dan, agama adalah urusan keyakinan. Hanya Tuhan dan manusia yang tahu.

Sehari setelah kejadian itu, pagi-pagi, Wayan Titib ditelepon Komang Tjau. Komang meminta Wayan Titib segera menemuinya di Bali. Pembicaraan diakhiri .Wayan Titib terdiam sejenak. Dia lantas menceritakan soal ayahnya kepada istrinya. Ony membesarkan hatinya.

Tak lama, Wayan Titib bertolak ke Pulau Dewata bareng istrinya. Dengan harapan bisa menyelesaikan dengan baik. Tidak ada lagi permusuhan.

Wayan Titib menghadap sang ayah. “Ini pilihan hidup saya,” ucap dia.

“Kenapa?” Kamu pewaris keluarga,” tegas Komang.

“Apa yang salah. Wong ayah juga menikah secara Islam. Soal warisan, saya tidak ambil sedikit pun. Saya ikhlas diberikan kepada keluarga yang membutuhkan. Biarkan saya menikmati kehidupan secara muslim,” balas Wayan Titib.

Apa yang dibayangkan Komang bisa meluluhkan hati Wayan Titib tak terwujud. Komang hanya bisa pasrah. Wayan Titib bersyukur. Semuanya menjadi jelas. Luapan hatinya sudah tercurahkan.

Kisah I Wayan Titib Sulaksana ini menjadi gambaran bahwa hidayah bisa didapatkan siapa saja dan di mana saja. Sekarang tinggal manusianya untuk berbuat lebih baik dan beribadah kepada-Nya. (Enoch Kurniawan)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry