PIONER. Pabrik pupuk PG yang menjadi pioner pupuk majemuk di Indonesia. Foto : much shopii

GRESIK | duta.co – PT Petrokimia Gresik (PG), perusahaan Solusi Agroindustri, Anggota Holding Pupuk Indonesia, merupakan pioneer pupuk majemuk di tanah air yag menjadi produsen NPK terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi mencapai 2,7 juta ton/tahun. Meski demikian, PG tidak berpuas diri dan terus menghadirkan terobosan untuk meningkatkan daya saing NPK.

Terobosan baru di bidang pupuk majemuk yakni mengubah limbah batu bara atau Fly Ash-Bottom Ash (FABA) menjadi bahan baku pengisi atau filler pupuk NPK, menggantikan clay. Melalui inovasi ini, perusahaan mampu menghemat hingga Rp7,4 miliar yang diperoleh dari penurunan biaya pengelolaan limbah serta pembelian clay.

“Dari hasil uji coba, pemanfaatan FABA sebagai pengganti clay dalam pembuatan pupuk NPK masih dalam batasan Standar Nasional Indonesia (SNI). Hasil pengaplikasian pupuknya pada tanaman padi juga memiliki kualitas yang sama baiknya dengan pupuk NPK tanpa FABA,” tandas Direktur Utama (Dirut) PG, Dwi Satriyo Annurogo dalam siaran persnya, Selasa (4/10/22).

Di latarbelakangi status FABA yang tidak lagi masuk dalam golongan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor22 Tahun 2021, sehingga PG melihat perubahan status ini sebagai peluang untuk substitusi bahan baku NPK.

Bahan baku pembuatan pupuk NPK sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua. Yaitu bahan baku utama (main material) yang membawa unsur haraseperti Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K) dan Sulfur (S), serta bahan baku filler yang berfungsi sebagai bahan pelengkap sekaligus perekat untuk semua bahan baku agar menghasilkan produk granul yang sempurna.

Pada umumnya, bahan baku filler  pada pupuk NPK menggunakan white clay  yang biasanya diperoleh dari tambang bahan baku semen. Dengan memanfaatkan FABA yang sudah tersedia, Petrokimia Gresik tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk pembelian clay.

Selain itu, pemanfaatan FABA sebagai pengganti bahan baku filler NPK juga mampu menekan biaya pengelolaan limbah FABA dari yang sebelumnya mencapai Rp 269 juta/bulan menjadi nol rupiah atau turun 100 persen.

Dampak positif lain yaitu meningkatkan kualitas lingkungan karena limbah dapat termanfaatkan dengan optimal (zero waste), mengurangi nilai risiko gangguan kesehatan dan keselamatan, serta kenyamanan dalam bekerja menjadi lebih baik.

“FABA memiliki karakteristik dan kandungan yang sama dengan clay.  Melalui inovasi ini tentu akan semakin meningkatkan competitiveness NPK yang kami produksi,sehingga manfaatnya juga dapat dirasakan oleh petani sebagai konsumen kami,” cetus dia.

Temuan dari PG ini sudah disampaikan pada sejumlah seminar level nasional dan internasional, menjadi dasar dalam pembuatan naskah akademik Balitbangtan Kementerian Pertanian, serta sudah diadopsi oleh Pusri Palembang. “Kami juga sudah mendapatkan surat pencatatan ciptaan atas inovasi ini,” pungkas dia. pii