
SURABAYA | duta.co – Sudah berpuluh-puluh tahun, polemik Surat Ijo tak kunjung tuntas. Kini kembali meledak setelah hearing di DPRD Kota Surabaya Rabu (1/10/25) di ruang rapat Komisi B DPRD Surabaya. Dari sini terungkap sejumlah fakta mengejutkan: Bahwa SK Izin Pemakaian Tanah (IPT) yang selama ini dijadikan dasar pungutan, ternyata tidak pernah ditunjukkan secara resmi kepada wakil rakyat.
Bahkan, Komisi B DPRD Surabaya yang memiliki fungsi pengawasan, mengaku, tidak pernah diajak bekerja sama oleh BPKAD (Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah) Surabaya dalam penyusunan maupun pelaksanaan kebijakan tersebut. Padahal, kebijakan itu menyasar puluhan ribu warga.
“Kalau SK-nya saja tidak pernah ditunjukkan, apa dasar Pemkot memungut IPT dari warga? Ini jelas cacat prosedur,” tegas salah satu anggota Komisi B saat hearing berlangsung.
SCWI Anggap Pidana, Warga Jadi Korban
Surabaya Corruption Watch Indonesia (SCWI) yang ikut hadir dalam rapat tersebut, menilai bahwa, praktik pengelolaan Surat Ijo bukan hanya tidak transparan, tetapi juga menindas warga kecil. Fakta di lapangan, banyak warga Surabaya yang mengalami kesulitan saat mengurus berkas-berkas kepemilikan tanah—mulai dari pemecahan, balik nama, hingga sertifikasi.
“Ini sudah masuk ranah pidana. Presiden Prabowo harus turun tangan. Surat Ijo itu sudah berpuluh-puluh tahun. Korbannya orang kecil,” tegas Ketua SCWI Hari Cipto Wiyono SH dengan nada heran.
Menurut Cipto, warga Surabaya – pemegang Surat Ijo – merasa dipersulit karena syarat administrasi sekarang harus melunasi IPT terlebih dahulu. “Ini bentuk pemerasan berkedok aturan. Padahal IPT sendiri dasar hukumnya tidak pernah jelas,” tegasnya.
Lebih jauh, SCWI mendorong proses tindakan pidana terhadap pihak-pihak yang dianggap paling bertanggung jawab. “Walikota Surabaya Eri Cahyadi, BPKAD, dan Bank Jatim harus bertanggung jawab secara hukum. Mereka telah menyalahi aturan, mempersulit warga,” urainya.
Masih menurut Cipto, secara sistematis kebijakan Pemkot Surabaya ini sama dengan memperpanjang penderitaan masyarakat pemegang Surat Ijo. “Ini bukan sekadar maladministrasi, tapi sudah masuk ranah pidana,” ujar SCWI tegas.
Bank Jatim, katanya, diduga ikut memfasilitasi praktik yang menekan warga karena terlibat dalam mekanisme pembayaran IPT, sementara BPKAD dianggap menjalankan pungutan tanpa landasan hukum yang sah. “Komisi B DPRD Surabaya harus segera memanggil Kepala BPN I dan Kepala BPN II, minta keterangannya terkait legalitas tanah Surat Ijo,” sarannya.
Selama ini, kata Cipto, catatan dasar hukum penguasaan tanah Surat Ijo hanya berlandaskan Peraturan Walikota (Perwali). Padahal, sebuah Perwali tidak memiliki kekuatan hukum selevel undang-undang atau peraturan pemerintah untuk menguasai hak rakyat atas tanah. Ini jelas menyalahi hierarki peraturan perundang-undangan.
Maka, SCWI mendesak Pemkot Surabaya jika benar tidak mampu atau tidak mau menuntaskan permasalahan Surat Ijo, maka, masalah ini harus diserahkan kepada Presiden Republik Indonesia. “Presiden Prabowo memiliki hak prerogatif mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres). Jika Pemkot gagal menyelesaikan, maka presiden harus turun tangan demi kepastian hukum dan perlindungan hak warga Surabaya,” lanjutnya.
Titik Balik Perlawanan Warga
Hearing ini menjadi titik balik perjuangan warga pemegang Surat Ijo yang selama puluhan tahun diperlakukan sebagai “penyewa” di atas tanah yang sesungguhnya mereka tempati secara sah.
SCWI menegaskan, ketertutupan SK IPT, merupakan arogansi BPKAD, keterlibatan Bank Jatim juga merupakan lemahnya dasar hukum Perwali, serta diabaikannya DPRD adalah bukti nyata bahwa sistem pengelolaan aset daerah berjalan tanpa kontrol publik.
“Jika tidak segera dibongkar, maka praktik ini hanya akan memperpanjang penderitaan warga Surabaya. Maka, SCWI siap mengawal kasus ini hingga ke ranah hukum, jika Presiden Prabowo tidak segera menuntaskan,” tutupnya. (lif)





































