KH Iskandar Umar Abdul Latif (Pendiri PP DFP).

SIDOARJO | duta.co – Ribuan santri, ustadz, kiai, habaib bakal tumplek-blek di pelataran Pondok  Pesatren Darul Falah Pusat (DFP), Krian, Sidoarjo, Minggu (15/7/2018). Dijadwalkan Habib Sholeh bin Achmad Al-Aydrus (Malang) menyampaikan taushiyah dalam haul akbar ke-8 Almaghfurlah KH Iskandar Umar Abdul Latif (Pendiri PP DFP) dan haul para masyayikh tersebut.

Haul yang dikemas dengan pengajian umum ini, bakal menggugah kembali semangat puluhan ribu santri dan alumni DFP untuk mengenang sekaligus meneladani gerak juang Almaghfurlah KH Iskandar, kiai besar yang tak mau menunjukkan kebesarannya.

“Luar biasa! Beliau sosok istiqomah, konsisten berjuang di garis kultural. Kini sudah ratusan pondok pesantren Darul Falah berdiri, menyebar di hampir seluruh wilayah Indonesia ,” demikian disampaikan KH Ali Mustawa, Pengasuh Majelis Ahad Pagi (Mahadi) Masjid Al-Ikhlas, Krian, kepada duta.co Sabtu (14/7/2018).

KH Iskandar tidak hanya patut diikuti jalan dakwahnya dan kemandirian pesantrennya, tetapi juga menarik disimak kegigihannya dalam berburu ilmu agama. Dia harus melawan berbagai rintangan dalam dakwahnya, termasuk menghadapi ‘serangan-serangan’ ghaib. Meminjam bahasa almaghfurlah KH Sholeh Qosim (Sepanjang), Kiai Iskandar adalah kiai yang ulet, tak mudah ‘patah’ dengan bantuan pemerintah. Sampai sekarang, PP Darul Falah pantang menerima sokongan pemerintah.

“Bukan apa-apa, kami tahu, bahwa masalah yang harus diatasi pemerintah tidak sedikit. Sudah begitu hutang pemerintah juga semakin menumpuk. Atas dasar itu, kami tidak menerima bantuan pemerintah. Artinya, biar bantuan-bantuan itu dimanfaatkan rakyat yang lebih membutuhkan,” demikian salah seorang pengasuh PP DF kepada duta.co suatu ketika.

Delapan tahun sudah, Kiai Iskandar berpulang. Jejak dakwahnya semakin hari semakin terang. Dia bukan darah biru, bukan pula putra kiai besar. Kiai Iskandar adalah putra petani biasa, hampir tak ada yang istimewa dilihat dari sisi nasabnya. Hanya saja, kakeknya yang terkenal kaya raya itu, suka menolong dan dermawan kepada kaum lemah.

KH Iskandar lahir Kamis 10 November 1956. Sedari kecil mendapat pendidikan agama di rumahnya Bendomungal, Krian, Sidoarjo. Kehidupan pesantren yang mandiri, menjadi tantangan tersendiri. Berbekal ketawakalan ia berpacu menimba ilmu ke KH Marzuki (PP Lirboyo).

Tak dihiraukan lagi betapa jauh perbedaan hidup di pesantren, dibanding kehidupan rumah yang serba ada. Makan ala kadarnya di pesantren, ia lakoni dengan tabah. Konon, setiap waktu makan, perut Kiai Iskandar selalu mules, mau muntah karena bertemu ikan asin yang tadinya melihat saja ogah. Tetapi, ia terus bertahan dan bertahan. Walhasil, hanya butuh waktu 15 hari, Kiai Iskandar sudah menghafal kitab al-‘Imrithi, kitab yang membahas llmu grammar bahasa arab karya Syech Syarifuddin Yahya al-‘Imrithi.

Kegigihannya memburu ilmu, membuat Kiai Iskandar nekat pergi ke Makkah Almukarrohmah. Di tanah suci ini, ia tidak langsung bertemu sang guru. Kiai Iskandar sempat terjebak rutinitas teman-temannya dari Indonesia yang sudah lebih dulu mukim di sana sebagai tukang batu, tukang cor. Gajinya memang besar, menggiurkan, tetapi, lama-lama dirasa tidak ada barokah.

Profesi tukang cor dilepas. Ia bergegas menuju pondok pesantren milik Sayyid Ahmad bin Muhammad Alawy Al Maliki Al Hasan di kawasan Rusaifah bagian utara pusat Kota Mekah. Di tempat itu, sejumlah ulama Indonesia belajar.

Tetapi, setelah resmi menjadi santri Abuya, ada yang aneh dari perintah sang guru. Dia harus menghadapi ujian keikhlasan.

Kiai Iskandar tidak diikutkan mengaji, tetapi diutus Abuya membagikan roti kepada fakir miskin Makkah. Sepintas tugas itu ringan, padahal berat untuk dilakukan. Di Indonesia, memang, mudah menemukan orang miskin. Namun di Makkah, itu pekerjaan sulit, yang dijumpai justru rumah mewah dan gadung-gedung menjulang tinggi.

Sekali lagi, atas nama khidmah, hal itu dijalani dengan ikhlas walaupun setelah membagi roti, pengajian yang digelar Abuya berakhir, tinggal ‘waallahu’alam bish-shawab, a-Fatihah’, bubar.

“Keikhlasan beliau yang tinggi, membuat ilmu guru masuk tanpa diduga dan menjadi berkah,” demikian pernah disampaikan KH Ubaidillah Faqih (Langitan, Tuban), karib Kiai Iskandar di Makkah kepada duta.co suat ketika.

Setelah dianggap cukup, ujian kembali datang. Abuya Sayyid Ahmad bin Muhammad Alawy Al Maliki tiba-tiba memerintahkan pulang. Meski hati masih ingin tinggal di Makkah. Tetapi karena perintah, Kiai Iskandar pun kembali ke tanah air. Pesan Abuya tak tanggung-tanggung. Kiai Iskandar diharamkan mukim di Makkah selamanya, kecuali untuk pergi haji. Lho?

Kiai Iskandar lalu menemui Syeikh Yasin Al-Fadany, karena KTP atau iqomah beliau berada dalam tanggungannya. Apa yang terjadi? Sebelum Kiai Iskandar matur, ternyata Syekh Yasin sudah lebih dulu mengisyarahi: “Kau tahu KH Hasyim Asy’ari, KH Faqih Maskumambang, KH Wahab Chasbulloh, KH Ma’shum, KH Baidhowi (Lasem) dan KH Mahfud (Termas). Ikuti jejaknya,” demikian Syeikh Yasin Al-Fadany.

Dengan langkah mantap, KH Iskandar Umar pun mendirikan PP Darul Falah. Kini sudah ratusan cabang Darul Falah berdiri di berbagai wilayah. Di tengah perjuangannya, tiba-tiba, Hari Ahad, tepatnya 19 September 2010, Kiai Iskandar dipanggil Sang Kholiq. Innalillahi wa-inna ilaihi rajiun. Beliau dimakamkan di Kompleks Ponpes Darul Falah Pusat, Dusun Bendomungal, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo. Hari ini, haul ke-8, Semoga seluruh santri mampu mengikuti jejak perjuangannya. Amin. (mky)